BONDAN DAN TUKANG OJEK (XIX)


oleh: Oesman Ratmadja 
 

Bondan meninggalkan mobilnya di parkiran sebuah hotel mewah. Ransel dan sepatunya yang berharga mahalpun di tinggal di bagasi mobil. Bondan yang bersendal jepit, ber celana jeans dan t’shirt, membuat seorang satpam di pintu masuk hotel tercengang. Ia megucek-ngucek matanya. Se pertinya,tak percaya,yang terlihat jelas di depan matanya, Bondan

“Lu nggak mikir lagi ngeliat setan, kan?“ Kata Bondan

“Saya cuma kaget boss. Soalnya….” Sahut Tukijan, yang seperti tak enak karena caranya memandang seperti tidak kenal. Tapi, Bondan tidak tahu, yang nggak enak itu hatinya atawa jeroanannya.

“Nggak nyangka kalo gue cuman besendal jepit? “ Tanya Bondan, ingin memastikan

“Saya memang berprasangka, boss. Tapi, bukan sandal jepitnya yang bikin saya kaget. Saya kaget, karena biasanya, boss cuma nelpon dan saya langsung antar ayam bangkok ke kamar boss “ Sahut satpam bernama Tukijan, yang lantas tergopoh ke pos jaga. Setelah mengambil album pribainya di laci meja, Tukijan segera kembali ke luar. Dia menemui Bondan, yang sudah dikenalnya.

“ Stock terbaru ini, kece banget, boss. Umurnya baru 16 tahun,” kata Tukijan, sambil angkat jempol manis, dan setelah larak lirik, ber usaha memberikan album foto di tangannya

Bondan hanya menanggapi niat Tukijan dengan senyum. Ia lalu memberi isyarat, kalau dirinya sedang tak punya keinginan untuk meli hat album berisi cewek abg yang kece-kece, yang tengah berada di tangan Tukijan.

“ Lihat dulu aja, boss. Saya jamin, aslinya lebih bagus dari fotonya,” Tukijan berusaha me yakinkan

Bondan maklum jika Tukijan berusaha membujuknya. Ia lalu meraih bahu Tukijan, dan mengajaknya ke pos, tempat Tukijan ambil al bum. Tukijan jadi optimis. Ia hanya mikir, bakal seperti biasa. Meski caranya mengagetkan. Biasa nya nelpon, saat ini datang langsung ke sumber nya, Tukijan yakin bakal dapat uang dari bisnis lender yang diam-diam dirintisnya..

Di pos jaga, Tukijan ternganga. Bondan bu kan ambil album di tangannya, malah bilang sam bil nyodorin selembar ratusan ribu rupiah.

“Kali ini, gue cuma mau parkir mobil. To long lu jaga mobil gue. Oke? Naaah, ini ada buat lu. Cukup, kan buat ngopi, ngerokok dan makan siang “

“Sama buat makan besok, juga cukup, boss,” sahut Tukijan, sambil nyamber kertas ber harga berwarna merah dari tangan Bondan.

“Tengkiyu berat, boss,” Tukijan bergegas ngucapin terima kasih sambil bersikap hormat pa da Bondan, dan ia tak mikir buat terus membu juk, karena tanpa kerja, sudah dapat tambahan bu at ngegemukin tubuh isteri dan anak anaknya

“Gue cau dulu,yaa,“kata Bondan yang lan tas bergegas meninggalkan Tukijan sambil tak lu pa melambaikan tangan.

“Siap boss,” kata Tukijan, yang yakin sua ranya tetap terdengar Bondan, meski sudah kelu ar dari pos jaga. Sambil terus senyum, Bondan memandangi sosok Bondan sampai akhirnya le nyap dari pandangan matanya.

“Kalau tiap hari begini, walau cuma dari satu orang, aku berani banget deh, insaf dan bi lang sama koh Mao Ling Seng, gue udeh kapok nawar-nawarin ayam Bangkok,” gumam Tukijan sambil cepet cepet masukin kertas merah ke saku celananya, dan masukin album ke laci mejanya.

*****

DALAM hatinya, tukang ojek ngucap Alhamdulillah Hirabbil Alamin, setelah Bondan yang ia tawarkan dengan isyarat menghampi rinya dan langsung duduk disadel motornya.

“Kemana kita,boss?” Tanya si tukang ojek yang lantas ambil helm yang sejak tadi nangkring di stang kaca spion motor.

“ Jangan panggil gue, boss, dong,” sahut Bondan, yang setelah ambil helm dari si tukang ojek, memprotes si tukang ojek yang dengan sok akrab, memanggil Bondan dengan boss.

“ Harus, boss. Sebab, setiap penumpang yang naik ojek saya, harus saya anggap boss dan untuk itu saya lebih berkenan memanggilnya boss, “ kilah si tukang ojek

“ Tapi gue bukan, boss, bang ?”

“Mau benar boss, kek. Mau bukan, kek, yang penting, di mata saya, penumpang adalah boss. Oh iya, boss belum bilang, nih, mau kema na. Kalau nanti saya ke kiri nggak taunya tujuan boss ke kanan, kan, repot, boss “

“Gue sendiri nggak tau nih, mau ke mana?” Bondan menyahut, asal bersuara. Tanpa maksud lain, sebab dia sendiri memang belum tau mau pergi ke daerah mana

Untung, tukang ojek belum merubah standar motornya. Bondan jadi tidak jatuh bersama motor atau harus menahan keseimbangan agar ti dak terjungkal bersama motor. Soalnya, tukang ojek yang kayaknya belum dapat penumpang, langsung turun. Ia tak hanya mendadak kesal de ngan jawaban Bondan. Tapi, juga, curiga.

Tak salah. Sebab, sebagai pengojek di memang harus waspada. Meski di siang hari, bisa saja penumpangnya yang kini duduk di jok motornya, bukan warga negara tauladan. Tapi, warga negara berjiwa edan, yang demi uang, siap mencari korban dari kalangan pengojek.

 

Bersambung

0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XIX)"