oleh: Oesman Ratmadja
7
RENCANANYA,
begitu sampai di pangkalan ojek, Sabar akan menurunkan si boss.
Sekali lagi ia akan mengucapkan terima kasih. Begitu berpisah, Sabar
langsung cabut, meluncur ke rumah sakit. Rencana kedua, setelah menye
rahkan tas plastik warna merah berlogo rumah makan mahal, ia akan
buat surprise. Hanya me nyerahkan uang yang setengah juta rupiah.
Jika isterinya menanyakan soal biaya untuk bayar rumah sakit, ia
hanya akan bilang:
“Kamu berdoa saja “
Dengan begitu, isterinya jadi harap-harap cemas. Jadi, isterinya
akan mikir, dan di saatnya, ia akan bilang, soal rumah sakit sudah
beres. Kalau sekarang pulang, tak bakal ada yang meng hadang. Tak
akan ada yang berani menyandera
Karena itulah, Sabar menyalakan lampu sein motornya. Niatnya,
sebentar lagi, dia harus tepat dan cepat berbelok ke kiri. Begitu
masuk ke jalan arteri, ia akan langsung bablas sampai ke Pejompongan.
Nantinya, belok ke kanan dan sam pai ke pangkalan.
Belum sampai belokan, boss meminta agar Sabar menepikan motornya.
Sabar hanya berpikir senangnya saja. Ia menduga, boss akan turun.
Setelah menyerahkan helm terus bilang, karena tak tahan terus menerus
keanginan, saya permisi dan memilih naik taksi
Nyatanya? Begitu motor menepi ke pa ling sisi, boss memang turun
dari motor. Tapi, yang disampaikan benar-benar di luar perkiraan
Sabar
“
Bang…kalau boleh, gue mau ikut ke rumah sakit Gue mau bezuk isteri
lu, mau kenalan sama bayi lu yang baru lahir ke dunia dan setelah
beres, baru anter gue ke pangkalan. Gimana, setuju ? “
Sulit bagi Sabar untuk menjawab tidak setuju. Tapi, ada yang jauh
lebih sulit dari seke dar menjawab hal itu. Makanya, Sabar standar
kan motor, cabut kunci dan bergegas ke salah satu pohon rindang yang
berjajar di sepanjang ja lan.Jaraknya hanya sekitar lima meter dari
mo tornya yang sudah distandarkan.
Sabar terduduk. Kedua kakinya berse lonjor Tubuhnya disandarkan ke
batang pohon. Sabar tak menghiraukan celananya yang pasti kotor oleh
debu. Ia lantas menatap langit, seseng gukan dan membiarkan air
matanya berhambu ran.
Sabar
kembali sesenggukan. Kalimat yang baru saja ia dengar, langsung
membawa nya ke puncak keharuan. Sabar, benar-benar merasa hari ini
menjadi hari yang paling indah dalam hidupnya. Hari yang sangat
berbeda dengan ribuan hari yang telah dilaluinya. Ia mengangkat kedua
tangan, kedua matanya yang bercucuran air mata, memandang luasnya
langit
“Tengkyu Tuhan…Tengkyu..Hamba menikmati limpahan karuniaMu yang
begitu besar dan tak terhingga.
Oooh, Engkau memang Maha Besar, yaa Tuhanku. Engkau memang Maha
Agung dari segala keagungan yang ada. Engkau begitu baik pada hambamu
yang maha lemah ini, Tuhanku. Bagaimana hamba sanggup membalas semua
kebaikan yang telah Engkau limpahkan pada hamba.
Tuhanku…ooh, tengkyu hanya kucurahkan pada-MU, Tuhan..
Alhamdulillah Hirabbil Alamin, ya Rabbku “
Bondan, bukan tak melihat apa yang dilakukan Bondan. Ia
ternganga, dan dengan kesal ia menghampiri Sabar.
“ Lu itu, ngapain, sih bang. Dari tadi, kayaknya kerjaan lu cuma
nangis. Terus, di tempat ramai begini, lu mewek? Kalau memang gue
nggak boleh ikut ke rumah sakit, nggak boleh bezuk isteri lu dan
kagak lu kasih kesempatan kenal sama bayi, lu, bilang terus terang.
Gue bisa
panggil taksi dan pulang sekarang juga, kok. Niih, ambil helm lu
kalau nggak percaya gue bisa pulang pakai taksi “
Masalahnya, bukan nggak percaya, coi. Lagipula, apa susahnya si
boss langsung pulang pakai taksi. Wong, cari kontrakan pakai mobil
sewaan yang anti keterjang angin saja, pasti bisa, kok ?
Cuma, ketulusan lu, itu, boss. Cara lu nolong orang, kok, kagak
pernah pakai rencana, sih. Ngalir begitu aja, kayak air? Lu
benar-benar kagak ngerti, ya, kalau hari ini, gue benar-benar
bahagia. Lu tau nggak, sih, karena lu begitu tulus, Allah langsung
kasih gue karunia. Langsung bikin gue terus hepi. Gue tuh nangis
bukan kagak setuju sama rencana, lu. Tapi, karena ketulusan lu itu
yang bikin gue nggak berenti dari rasa haru.
Gue rela, kok, dikatain orang cengeng. Emangnye, gue pikirin. Gue
tuh nggak mungkin nggak nangis, boss. Keharuan demi keharuan, terus
nerjang dan datang silih berganti, karena ketulusan lu?
Sabar kepingin banget, suara yang bergema di hatinya diungkap dan
didengar anak muda yang ia panggil boss. Tapi, ia nggak sanggup.
Nggak bisa. Sebab, ia tahu, ketulusan si boss adalah sejatinya
ketulusan. Tidak diiming-imingin apapun. Buktinya, di pangkalan,
ketika Sabar curiga, ia malah dibayar setengah juta.
Di rumah makan mahal, nggak ngajak ke dalam dan Sabar mau ke
warteg, malah dipanggil pelayan dan nggak cuma bebas pesan makanan.
Tapi, malah diomelin kalau nggak pesan makanan enak buat isteriny.
Di rumah
kontrakan ? Mestinya, bisa am bil yang lebih bagus dengan harga empat
belas ju ta buat dua tahun. Eee, malah ambil yang enam juta dua tahun
dan sisanya, malah dikasih ke Sabar agar bisa bayar biaya rumah
sakit. Dan barusan ? DI tengah jalan malah bilang mau ikut ke rumah
sakit.
“ Bang…lu jangan nangis terus, dong. Gue tuh butuh kepastian.
Kalau gue nggak boleh ikut ke rumah sakit, ambil nih helm lu.
Sekarang juga, gue mau langsung pulang. Kalau lu ijinin, cepat
berangkat. Lu pikir enak diliatin banyak orang ?”
Bondan malah kelihatan kesal. Soalnya Sabar makin asyik
sesenggukan. Nggak mau ce pat-cepat ambil helm yang disodorkan
Bondan, dan juga nggak kasih jawaban. Bondan menaruh helm di dekat
kaki Sabar.
“ Yaa, sudah. Kalau begitu gue langsung pulang saja,” Bondan
sudah ambil keputusan dan dia langsung bergerak.
Sabar baru ngeh, baru sadar, kalau Bon dan sudah bergerak.
Langkahnya, memang begi tu santai. Tanpa beban. Tanpa kepingin tahu,
me ngapa Sabar, yang langsung diajak ke rumah sa kit, malah turun
dari motor, bersandar di pohon tepi jalan dan sesenggukan.
“Boooossss ?” Sabar berteriak.
Memanggil Bondan dengan suara yang jelas dide ngar. Ia lakukan itu,
bukan takut ditinggalkan. Bukan kuatir Bondan langsung manggil taksi
dan pulang ke rumahnya dengan begitu saja. Sabar takut berdosa. Takut
mengecewakan si boss yang kebaikannya begitu tulus, tanpa rencana dan
bisa dibilang lebih dari air yang mengalir.
Bondan mendengar teriakan Sabar yang memang gilnya. Ia menoleh,
melihat Sabar yang berlari, bergegas menghampirinya sambil berte
riak.
“ Saya nggak nolak, nggak melarang, saya malah senang. Sekarang
juga kita langsung berangkat ke rumah sakit, boss”
Begitu mendekat, Sabar mengangsurkan helm ke Bondan, dan ia
duluan ke motor. Menstarter. Siap meluncur. Membawa Bondan. Bukan ke
pangkalan. Tapi ke rumah sakit, memenuhi permintaan Bondan.
“ Silahkan, naik, boss,“ Sabar terpaksa berinisiatif
menawarkan. Ia takut Bondan batal kan niat karena tak segera naik
tapi malah keli hatan kesal
“Lu ikhlas nggak ngajak gue ke rumah sakit ?”
“ Demi Allah, saya ikhlas, boss “
“ Lu nggak usah pakai sumpah segala, deh. Nggak usah niru-niru
pejabat, yang berani sumpah tapi malah berani korupsi, yang berani
disumpah, tapi lebih berani ngebohongin rakyat. Gue kesal, tau. Bukan
sama pejabat. Tapi, sama lu. Di tempat umum, malah mewek sesenggukan.
Memangnya, salah, kalau gue bilang mau bezuk isteri lu di rumah sakit
?”
0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXVI)"
Posting Komentar