BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXVI)









oleh: Oesman Ratmadja



RENCANANYA, begitu sampai di pangkalan ojek, Sabar akan menurunkan si boss. Sekali lagi ia akan mengucapkan terima kasih. Begitu berpisah, Sabar langsung cabut, meluncur ke rumah sakit. Rencana kedua, setelah menye rahkan tas plastik warna merah berlogo rumah makan mahal, ia akan buat surprise. Hanya me nyerahkan uang yang setengah juta rupiah. Jika isterinya menanyakan soal biaya untuk bayar rumah sakit, ia hanya akan bilang:
“Kamu berdoa saja “
Dengan begitu, isterinya jadi harap-harap cemas. Jadi, isterinya akan mikir, dan di saatnya, ia akan bilang, soal rumah sakit sudah beres. Kalau sekarang pulang, tak bakal ada yang meng hadang. Tak akan ada yang berani menyandera
Karena itulah, Sabar menyalakan lampu sein motornya. Niatnya, sebentar lagi, dia harus tepat dan cepat berbelok ke kiri. Begitu masuk ke jalan arteri, ia akan langsung bablas sampai ke Pejompongan. Nantinya, belok ke kanan dan sam pai ke pangkalan.
Belum sampai belokan, boss meminta agar Sabar menepikan motornya. Sabar hanya berpikir senangnya saja. Ia menduga, boss akan turun. Setelah menyerahkan helm terus bilang, karena tak tahan terus menerus keanginan, saya permisi dan memilih naik taksi
Nyatanya? Begitu motor menepi ke pa ling sisi, boss memang turun dari motor. Tapi, yang disampaikan benar-benar di luar perkiraan Sabar
“ Bang…kalau boleh, gue mau ikut ke rumah sakit Gue mau bezuk isteri lu, mau kenalan sama bayi lu yang baru lahir ke dunia dan setelah beres, baru anter gue ke pangkalan. Gimana, setuju ? “
Sulit bagi Sabar untuk menjawab tidak setuju. Tapi, ada yang jauh lebih sulit dari seke dar menjawab hal itu. Makanya, Sabar standar kan motor, cabut kunci dan bergegas ke salah satu pohon rindang yang berjajar di sepanjang ja lan.Jaraknya hanya sekitar lima meter dari mo tornya yang sudah distandarkan.
Sabar terduduk. Kedua kakinya berse lonjor Tubuhnya disandarkan ke batang pohon. Sabar tak menghiraukan celananya yang pasti kotor oleh debu. Ia lantas menatap langit, seseng gukan dan membiarkan air matanya berhambu ran.
Sabar kembali sesenggukan. Kalimat yang baru saja ia dengar, langsung membawa nya ke puncak keharuan. Sabar, benar-benar merasa hari ini menjadi hari yang paling indah dalam hidupnya. Hari yang sangat berbeda dengan ribuan hari yang telah dilaluinya. Ia mengangkat kedua tangan, kedua matanya yang bercucuran air mata, memandang luasnya langit
“Tengkyu Tuhan…Tengkyu..Hamba menikmati limpahan karuniaMu yang begitu besar dan tak terhingga.
Oooh, Engkau memang Maha Besar, yaa Tuhanku. Engkau memang Maha Agung dari segala keagungan yang ada. Engkau begitu baik pada hambamu yang maha lemah ini, Tuhanku. Bagaimana hamba sanggup membalas semua kebaikan yang telah Engkau limpahkan pada hamba.
Tuhanku…ooh, tengkyu hanya kucurahkan pada-MU, Tuhan..
Alhamdulillah Hirabbil Alamin, ya Rabbku “
Bondan, bukan tak melihat apa yang dilakukan Bondan. Ia ternganga, dan dengan kesal ia menghampiri Sabar.
“ Lu itu, ngapain, sih bang. Dari tadi, kayaknya kerjaan lu cuma nangis. Terus, di tempat ramai begini, lu mewek? Kalau memang gue nggak boleh ikut ke rumah sakit, nggak boleh bezuk isteri lu dan kagak lu kasih kesempatan kenal sama bayi, lu, bilang terus terang.
Gue bisa panggil taksi dan pulang sekarang juga, kok. Niih, ambil helm lu kalau nggak percaya gue bisa pulang pakai taksi “
Masalahnya, bukan nggak percaya, coi. Lagipula, apa susahnya si boss langsung pulang pakai taksi. Wong, cari kontrakan pakai mobil sewaan yang anti keterjang angin saja, pasti bisa, kok ?
Cuma, ketulusan lu, itu, boss. Cara lu nolong orang, kok, kagak pernah pakai rencana, sih. Ngalir begitu aja, kayak air? Lu benar-benar kagak ngerti, ya, kalau hari ini, gue benar-benar bahagia. Lu tau nggak, sih, karena lu begitu tulus, Allah langsung kasih gue karunia. Langsung bikin gue terus hepi. Gue tuh nangis bukan kagak setuju sama rencana, lu. Tapi, karena ketulusan lu itu yang bikin gue nggak berenti dari rasa haru.
Gue rela, kok, dikatain orang cengeng. Emangnye, gue pikirin. Gue tuh nggak mungkin nggak nangis, boss. Keharuan demi keharuan, terus nerjang dan datang silih berganti, karena ketulusan lu?
Sabar kepingin banget, suara yang bergema di hatinya diungkap dan didengar anak muda yang ia panggil boss. Tapi, ia nggak sanggup. Nggak bisa. Sebab, ia tahu, ketulusan si boss adalah sejatinya ketulusan. Tidak diiming-imingin apapun. Buktinya, di pangkalan, ketika Sabar curiga, ia malah dibayar setengah juta.
Di rumah makan mahal, nggak ngajak ke dalam dan Sabar mau ke warteg, malah dipanggil pelayan dan nggak cuma bebas pesan makanan. Tapi, malah diomelin kalau nggak pesan makanan enak buat isteriny.
Di rumah kontrakan ? Mestinya, bisa am bil yang lebih bagus dengan harga empat belas ju ta buat dua tahun. Eee, malah ambil yang enam juta dua tahun dan sisanya, malah dikasih ke Sabar agar bisa bayar biaya rumah sakit. Dan barusan ? DI tengah jalan malah bilang mau ikut ke rumah sakit.
“ Bang…lu jangan nangis terus, dong. Gue tuh butuh kepastian. Kalau gue nggak boleh ikut ke rumah sakit, ambil nih helm lu. Sekarang juga, gue mau langsung pulang. Kalau lu ijinin, cepat berangkat. Lu pikir enak diliatin banyak orang ?”
Bondan malah kelihatan kesal. Soalnya Sabar makin asyik sesenggukan. Nggak mau ce pat-cepat ambil helm yang disodorkan Bondan, dan juga nggak kasih jawaban. Bondan menaruh helm di dekat kaki Sabar.
“ Yaa, sudah. Kalau begitu gue langsung pulang saja,” Bondan sudah ambil keputusan dan dia langsung bergerak.
Sabar baru ngeh, baru sadar, kalau Bon dan sudah bergerak. Langkahnya, memang begi tu santai. Tanpa beban. Tanpa kepingin tahu, me ngapa Sabar, yang langsung diajak ke rumah sa kit, malah turun dari motor, bersandar di pohon tepi jalan dan sesenggukan.
“Boooossss ?” Sabar berteriak.
Memanggil Bondan dengan suara yang jelas dide ngar. Ia lakukan itu, bukan takut ditinggalkan. Bukan kuatir Bondan langsung manggil taksi dan pulang ke rumahnya dengan begitu saja. Sabar takut berdosa. Takut mengecewakan si boss yang kebaikannya begitu tulus, tanpa rencana dan bisa dibilang lebih dari air yang mengalir.
Bondan mendengar teriakan Sabar yang memang gilnya. Ia menoleh, melihat Sabar yang berlari, bergegas menghampirinya sambil berte riak.
“ Saya nggak nolak, nggak melarang, saya malah senang. Sekarang juga kita langsung berangkat ke rumah sakit, boss”
Begitu mendekat, Sabar mengangsurkan helm ke Bondan, dan ia duluan ke motor. Menstarter. Siap meluncur. Membawa Bondan. Bukan ke pangkalan. Tapi ke rumah sakit, memenuhi permintaan Bondan.
“ Silahkan, naik, boss,“ Sabar terpaksa berinisiatif menawarkan. Ia takut Bondan batal kan niat karena tak segera naik tapi malah keli hatan kesal
“Lu ikhlas nggak ngajak gue ke rumah sakit ?”
“ Demi Allah, saya ikhlas, boss “
“ Lu nggak usah pakai sumpah segala, deh. Nggak usah niru-niru pejabat, yang berani sumpah tapi malah berani korupsi, yang berani disumpah, tapi lebih berani ngebohongin rakyat. Gue kesal, tau. Bukan sama pejabat. Tapi, sama lu. Di tempat umum, malah mewek sesenggukan. Memangnya, salah, kalau gue bilang mau bezuk isteri lu di rumah sakit ?”

0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXVI)"