BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXII)









oleh: Oesman Ratmadja


BONDAN memperhatikan dengan seksama rumah yang ditunjukkan Sabar. Dengan seksama pula, Bondan menyimak situasi dan kondisi sekeliling rumah. Setelah yakin tak ada yang luput dari perhatiannya, Bondan menyimpulkan, kalau posisinya terlalu dekat dengan jalan utama, yang padat oleh berbagai kendaraan karena jalan utama komplek perumahan telah dijadikan jalan alternative oleh para pengguna kendaraan yang akan menuju Jakarta atau sebaliknya.
Bondan tak suka dengan suasana lingkungannya yang menurutnya: pasti bising.
“Kayaknya gue nggak sreg.Kita cari yang lain aja, “ ujar Bondan sembari kembali ke mo tor
Sabar nampak agak kecewa. Tapi, sekejap kemudian sudah bisa bilang,” Siap boss “ dan bergegas untuk kembali membawa Bondan ke tempat lain. Tentu saja Sabar sadar, ia tak cuma harus sabar. Terlebih, penumpangnya yang sudah membayar lebih su dah mengingatkan
Sabar sudah ke luar-masuk beberapa komplek perumahan di wilayah perbatasan Jakar ta – Tangerang. Tapi, sejauh ini, belum juga me nemukan rumah yang sesuai dengan selera dan pilihan yang diinginkan Bondan. Ada saja ala san, yang membuat mereka harus segera melon cur ke tempat lain, untuk mendapatkan rumah yang diinginkan Bondan.
Sabar memang benar-benar harus lebih sabar. Juga tak boleh bingung, meski ia sudah ke hausan. Pasalnya, penumpangnya saja malah begitu tenang. Sama sekali tidak terlihat merasa kehausan. Sabar bukan tak merasa heran. Tapi ju ga merasa tak enak jika ia harus menepi dan harus mampir ke warung di tepi jalan. Untuk beli air mineral atau minuman apa saja.
“ Kalau ada rumah makan, langsung mampir, ya, bang. Kayaknya, perut saya sudah keroncongan, nih “
Tentu saja Sabar sangat bersyukur. Se bab, saat ia sedang berpikir bagaimana caranya agar bisa mengatasi rasa haus yang sudah sampai di sela-sela kerongkongan, dan rasa lapar yang membuat perutnya keroncongan, penumpangnya malah meminta agar Sabar mampir ke rumah makan.. Terlebih, tak lama berselang, Sabar me lihat rumah makan bagus. Rumah makan mahal
Sabar benar-benar plong. Ia jadi kepi ngin makan di rumah makan yang nampak di pelupuk matanya. Rumah makan kelas atas. Ha nya, jika ia mampir ke rumah makan itu, apakah penumpangnya berkenan mentraktir ?
Sabar berspekulasi. Ia berbelok ke rumah makan mewah yang baru saja dilihatnya. Bila di anggap oleh penumpangnya tak cocok, toh, ia si ap meluncur kembali dengan segera untuk mencari rumah makan lainnya.
Nyatanya, Bondan, penumpangnya, sa ma sekali tak protes. Tapi, setelah menyerahkan helm ke Sabar, ia ngeloyor dengan begitu saja. Tanpa permisi, tidak ngajak dan benar-benar tak hanya membiarkan Sabar. Tapi, juga langsung meninggalkan sang pengojek yang masih duduk di atas motornya
Tapi, Sabar hanya sempat tertegun sejenak. Setelahnya, ia sadar, penumpangnya ha nya seorang penumpang ojek yang hanya wajib membayar tapi tak punya kewajiban untuk me ngajak dan mentraktir tukang ojek makan. Ter lebih di sebuah retoran mahal, yang pastinya, ha rus punya uang karena makanan yang dijual, bu kan untuk kalangan pengojek.
Sabar yang sadar siapa dirinya dan mengapa ia ditinggalkan dengan begitu saja, se gera menstandarkan motornya. Niatnya, satu dan benar-benar bulat: cari warung tegang, eh, Wa rung Tegal alias Warteg.
Makan di Warteg, meski tarifnya naik sampai lima belas ribu perak, Sabar merasa ma sih sanggup bayar. Toh, sudah terima uang. Ka lau di restoran mahal ? Meski saat ini ia sanggup bayar, meski sampai seratus ribu rupiah, tentu saja Sabar harus mikir sejuta kali.
Timbang habis seratus ribu untuk sekali makan, lebih baik dan lebih berani nahan lapar Duitnya, lebih baik buat bekal makan enam hari di warteg. Untuk itulah, seusai parkir motornya, Sabar bergegas melangkah. Niatnya, ke Warung Tegal. Tapi baru beberapa langkah, Sabar malah mendengar suara yang memanggilnya .
“Bang…bang ojek, tunggu”
Sabar menoleh. Ia melihat pelayan rumah makan melangkah bergegas, mengham dirinya.
“ Ada apa, mas ?”
“Ada apa, ada apa? Gara-gara abang tidak ikut masuk ke dalam, jadi saya yang harus capek. Sekarang, lebih baik cepat deh, si abang masuk “ Kata si pelayan restoran yang nampak kesal karena harus berusah payah memanggil Sabar yang tidak mengikuti Bondan masuk ke dalam restoran.
Sang pelayan yang merasa kehilangan waktu dan tenaga karena harus memberikan pelayanan terbaik ke pelanggan atau calon pelanggan, menyambar tangan Sabar karena dia seperti tak percaya kalau dirinya ditugaskan memanggil
“ Bilang saja saya mau ke warteg,” sahut Sabar yang karena kaget karena tangannya diraih, spontan menarik tangannya dengan cepat
Tapi kemudian ia bergegas bersiasat dengan berlagak tidak menggubris ajakan Bondan. Terlebih Sabar melihat, sang pelayan rumah makan yang baru saja memintanya masuk ke rumah makan, tidak tulus dalam melaksanakan tugasnya.
“Si abang jangan norak, dong. Teman si abang tuh mau ngajak makan enak. Ngapain juga si abang malah mau ke warteg ?”
“ Teman?” Gumam Sabar
Ia lalu menatap sang pelayan
“Abang nggak percaya kalau saya diminta tolong agar segera memanggil abang? Maka nya, cepat masuk dan tanya langsung ke teman abang, saya serius apa berbohong?”
Sabar tetap bimbang. Masih antara percaya dan tanda tanya. Pelayan yang ia lihat kesal, bergegas meninggalkannya. Sabar masih mena tap sang pelayan yang meninggalkan dirinya de ngan perasaan tidak percaya. Tapi, akhirnya Sa bar mengikuti langkah sipelayan restoran.
Ia pun masuk ke rumah makan. Di pintu masuk, Sabar celingukan. Baru bergegas meng hampiri setelah melihat boss, yang duduk di me ja nomor 13 melambaikan tangan ke arahnya.
Meski sudah di depan Bondan, Sabar tak langsung narik kursi. Sabar sebatas sanggup berdiri. Bagaimana pun, Sabar ragu dan juga merasa tidak enak. Selain karena takut salah untuk yang kedua kali, saat Bondan masuk sama sekali tak mengajak juga tak menawarkan mau ikut makan bareng apa sendiri sendiri. Sabar masih belum sanggup menarik kursi dan duduk bersama Bondan di rumah makan mahal.
“ Hahahaha, sorri. Saya pikir, bang Sabar ngerti. Nggak taunya, nggak ngerti. Lain kali, walau saya nggak nawarin, ikut masuk aja bang. Oke ?”
Sabar, malah jadi gemetar. Tak bisa menyahut meski hanya dengan kata oke. Ia cuma mampu mengangguk. Itu pun anggukan yang lemah. Anggukan antara kepingin segera duduk , tapi terantuk oleh rasa ragu. Malu
“Nggak usah mikir panjang, bang. Lebih baik tarik tuh kursi, silahkan abang duduk se santa-santainya. Terus, abang ambil ini,“ kata Bondan, sambil ngegeser buku menu ke dekat Sabar.
“Pilih sendiri makanan dan minuman yang abang suka,” kata Bondan kemudian.
“ Jika abang suka dan mau nambah, sampai tiga kali pun, silahkan. Pokoknya, no problem. Yang penting, si abang kenyang. Oh iya, tadi di jalan, kan abang bilang, isteri abang di rumah sakit. Kalau perlu, pesan makanan yang paling enak dan paling mahal. Soal bayar, jangan abang pikirin. Pokoknya, saya traktir.
Tapi, kalau soal selera dan hasrat abang mau makan sampai kenyang, saya serahkan uru san itu ke abang. Sebab, perut dan selera abang, pasti sangat berbeda dengan perut dan selera saya. Oke ?”
“ Te..terima kasih, boss,” kata Sabar
Kayaknya, jika ia tak mendengar lang sung kalimat itu dari anak muda yang ia panggil boss. Tak melihat sikap boss, yang begitu santai dan tulus. Ia tak sanggup menggeser kursi. Tak sanggup duduk di depan boss. Tapi, karena ia langsung melihat dan mendengar, bisa juga ia menarik kursi. Ia berusaha untuk duduk tanpa ragu, malu, apalagi malu maluin. Toh, sudah jelas, boss mengajak dan mengijinkan ia untuk duduk bersamanya



Bersambung

0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXII)"