oleh: Oesman Ratmadja
BONDAN memperhatikan dengan seksama rumah yang ditunjukkan
Sabar. Dengan seksama pula, Bondan menyimak situasi dan kondisi
sekeliling rumah. Setelah yakin tak ada yang luput dari perhatiannya,
Bondan menyimpulkan, kalau posisinya terlalu dekat dengan jalan
utama, yang padat oleh berbagai kendaraan karena jalan utama komplek
perumahan telah dijadikan jalan alternative oleh para pengguna
kendaraan yang akan menuju Jakarta atau sebaliknya.
Bondan tak suka dengan suasana lingkungannya yang menurutnya: pasti
bising.
“Kayaknya gue nggak sreg.Kita cari yang lain aja, “ ujar Bondan
sembari kembali ke mo tor
Sabar nampak agak kecewa. Tapi, sekejap kemudian sudah bisa
bilang,” Siap boss “ dan bergegas untuk kembali membawa Bondan ke
tempat lain. Tentu saja Sabar sadar, ia tak cuma harus sabar.
Terlebih, penumpangnya yang sudah membayar lebih su dah mengingatkan
Sabar sudah ke luar-masuk beberapa komplek perumahan di wilayah
perbatasan Jakar ta – Tangerang. Tapi, sejauh ini, belum juga me
nemukan rumah yang sesuai dengan selera dan pilihan yang diinginkan
Bondan. Ada saja ala san, yang membuat mereka harus segera melon cur
ke tempat lain, untuk mendapatkan rumah yang diinginkan Bondan.
Sabar memang benar-benar harus lebih sabar. Juga tak boleh bingung,
meski ia sudah ke hausan. Pasalnya, penumpangnya saja malah begitu
tenang. Sama sekali tidak terlihat merasa kehausan. Sabar bukan tak
merasa heran. Tapi ju ga merasa tak enak jika ia harus menepi dan
harus mampir ke warung di tepi jalan. Untuk beli air mineral atau
minuman apa saja.
“ Kalau ada rumah makan, langsung mampir, ya, bang. Kayaknya,
perut saya sudah keroncongan, nih “
Tentu saja Sabar sangat bersyukur. Se bab, saat ia sedang berpikir
bagaimana caranya agar bisa mengatasi rasa haus yang sudah sampai di
sela-sela kerongkongan, dan rasa lapar yang membuat perutnya
keroncongan, penumpangnya malah meminta agar Sabar mampir ke rumah
makan.. Terlebih, tak lama berselang, Sabar me lihat rumah makan
bagus. Rumah makan mahal
Sabar benar-benar plong. Ia jadi kepi ngin makan di rumah makan
yang nampak di pelupuk matanya. Rumah makan kelas atas. Ha nya, jika
ia mampir ke rumah makan itu, apakah penumpangnya berkenan mentraktir
?
Sabar berspekulasi. Ia berbelok ke rumah makan mewah yang baru
saja dilihatnya. Bila di anggap oleh penumpangnya tak cocok, toh, ia
si ap meluncur kembali dengan segera untuk mencari rumah makan
lainnya.
Nyatanya, Bondan, penumpangnya, sa ma sekali tak protes. Tapi,
setelah menyerahkan helm ke Sabar, ia ngeloyor dengan begitu saja.
Tanpa permisi, tidak ngajak dan benar-benar tak hanya membiarkan
Sabar. Tapi, juga langsung meninggalkan sang pengojek yang masih
duduk di atas motornya
Tapi, Sabar hanya sempat tertegun sejenak. Setelahnya, ia sadar,
penumpangnya ha nya seorang penumpang ojek yang hanya wajib membayar
tapi tak punya kewajiban untuk me ngajak dan mentraktir tukang ojek
makan. Ter lebih di sebuah retoran mahal, yang pastinya, ha rus punya
uang karena makanan yang dijual, bu kan untuk kalangan pengojek.
Sabar yang sadar siapa dirinya dan mengapa ia ditinggalkan dengan
begitu saja, se gera menstandarkan motornya. Niatnya, satu dan
benar-benar bulat: cari warung tegang, eh, Wa rung Tegal alias
Warteg.
Makan di Warteg, meski tarifnya naik sampai lima belas ribu
perak, Sabar merasa ma sih sanggup bayar. Toh, sudah terima uang. Ka
lau di restoran mahal ? Meski saat ini ia sanggup bayar, meski sampai
seratus ribu rupiah, tentu saja Sabar harus mikir sejuta kali.
Timbang habis seratus ribu untuk sekali makan, lebih baik dan
lebih berani nahan lapar Duitnya, lebih baik buat bekal makan enam
hari di warteg. Untuk itulah, seusai parkir motornya, Sabar bergegas
melangkah. Niatnya, ke Warung Tegal. Tapi baru beberapa langkah,
Sabar malah mendengar suara yang memanggilnya .
“Bang…bang ojek, tunggu”
Sabar menoleh. Ia melihat pelayan rumah makan melangkah bergegas,
mengham dirinya.
“ Ada apa, mas ?”
“Ada apa, ada apa? Gara-gara abang tidak ikut masuk ke dalam,
jadi saya yang harus capek. Sekarang, lebih baik cepat deh, si abang
masuk “ Kata si pelayan restoran yang nampak kesal karena harus
berusah payah memanggil Sabar yang tidak mengikuti Bondan masuk ke
dalam restoran.
Sang pelayan yang merasa kehilangan waktu dan tenaga karena harus
memberikan pelayanan terbaik ke pelanggan atau calon pelanggan,
menyambar tangan Sabar karena dia seperti tak percaya kalau dirinya
ditugaskan memanggil
“ Bilang saja saya mau ke warteg,” sahut Sabar yang karena
kaget karena tangannya diraih, spontan menarik tangannya dengan cepat
Tapi kemudian ia bergegas bersiasat dengan berlagak tidak
menggubris ajakan Bondan. Terlebih Sabar melihat, sang pelayan rumah
makan yang baru saja memintanya masuk ke rumah makan, tidak tulus
dalam melaksanakan tugasnya.
“Si abang jangan norak, dong. Teman si abang tuh mau ngajak
makan enak. Ngapain juga si abang malah mau ke warteg ?”
“ Teman?” Gumam Sabar
Ia lalu menatap sang pelayan
“Abang nggak percaya kalau saya diminta tolong agar segera
memanggil abang? Maka nya, cepat masuk dan tanya langsung ke teman
abang, saya serius apa berbohong?”
Sabar tetap bimbang. Masih antara percaya dan tanda tanya.
Pelayan yang ia lihat kesal, bergegas meninggalkannya. Sabar masih
mena tap sang pelayan yang meninggalkan dirinya de ngan perasaan
tidak percaya. Tapi, akhirnya Sa bar mengikuti langkah sipelayan
restoran.
Ia pun masuk ke rumah makan. Di pintu masuk, Sabar celingukan.
Baru bergegas meng hampiri setelah melihat boss, yang duduk di me ja
nomor 13 melambaikan tangan ke arahnya.
Meski sudah di depan Bondan, Sabar tak langsung narik kursi.
Sabar sebatas sanggup berdiri. Bagaimana pun, Sabar ragu dan juga
merasa tidak enak. Selain karena takut salah untuk yang kedua kali,
saat Bondan masuk sama sekali tak mengajak juga tak menawarkan mau
ikut makan bareng apa sendiri sendiri. Sabar masih belum sanggup
menarik kursi dan duduk bersama Bondan di rumah makan mahal.
“ Hahahaha, sorri. Saya pikir, bang Sabar ngerti. Nggak taunya,
nggak ngerti. Lain kali, walau saya nggak nawarin, ikut masuk aja
bang. Oke ?”
Sabar, malah jadi gemetar. Tak bisa menyahut meski hanya dengan
kata oke. Ia cuma mampu mengangguk. Itu pun anggukan yang lemah.
Anggukan antara kepingin segera duduk , tapi terantuk oleh rasa ragu.
Malu
“Nggak usah mikir panjang, bang. Lebih baik tarik tuh kursi,
silahkan abang duduk se santa-santainya. Terus, abang ambil ini,“
kata Bondan, sambil ngegeser buku menu ke dekat Sabar.
“Pilih sendiri makanan dan minuman yang abang suka,” kata
Bondan kemudian.
“ Jika abang suka dan mau nambah, sampai tiga kali pun,
silahkan. Pokoknya, no problem. Yang penting, si abang kenyang. Oh
iya, tadi di jalan, kan abang bilang, isteri abang di rumah sakit.
Kalau perlu, pesan makanan yang paling enak dan paling mahal. Soal
bayar, jangan abang pikirin. Pokoknya, saya traktir.
Tapi, kalau soal selera dan hasrat abang mau makan sampai
kenyang, saya serahkan uru san itu ke abang. Sebab, perut dan selera
abang, pasti sangat berbeda dengan perut dan selera saya. Oke ?”
“ Te..terima kasih, boss,” kata Sabar
Kayaknya, jika ia tak mendengar lang sung kalimat itu dari anak muda
yang ia panggil boss. Tak melihat sikap boss, yang begitu santai dan
tulus. Ia tak sanggup menggeser kursi. Tak sanggup duduk di depan
boss. Tapi, karena ia langsung melihat dan mendengar, bisa juga ia
menarik kursi. Ia berusaha untuk duduk tanpa ragu, malu, apalagi malu
maluin. Toh, sudah jelas, boss mengajak dan mengijinkan ia untuk
duduk bersamanya
Bersambung
0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXII)"
Posting Komentar