BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXIII)









oleh: Oesman Ratmadja

Sabar merasakan, bimbang dan ragunya sudah hilang. Rasa malunya pun lenyap. Sabar sudah bisa tenang. Ia sudah bisa bersikap rilek, santai. Seperti si boss yang sejak tadi duduk dan saat ini Sabar ada di hadapannya
Ah, indahnya. Baru kali ini, Sabar masuk dan menikmati suasana rumah makan mewah. Tak lama lagi, ia yang sudah dipersilahkan pesan makanan paling enak, akan menikmati makanan yang harganya mahal. Malah, isterinya yang sedang dirawat di sebuah rumah sakit, juga akan kebagian menikmati makanan enak yang harganya mahal.
“ Yaa, Allah. Terima kasih. Hari ini, hamba dapat banyak rezeki dan dapat penumpang yang baik hati karena kasih dan sayangMU padaku. HambaMu ini bersyukur padaMU yaa ALLAH, “
Bondan memang tak tahu, suara apa yang bergemerisik di dalam hati Sabar, si tukang ojek. Tapi, ia melihat dan tahu, ada air mata yang mengalir di pelupuk mata si tukang ojek. Dan, tak hanya itu. Dalam hitungan detik, Bondan malah mendengar suara sesenggukan
“ Bang…,” kata Bondan dengan sikap yang tetap saja santai. “ Gue tuh ngajak si abang makan. Bukan nyuruh si abang sesenggukan. Gue ngajak dan nyuruh abang pilih makanan yang abang suka, kenapa malah nangis? Kan, gue udeh bilang, soal siapa yang bayar, bukan urusan bang Sabar. Tapi, urusan gue “
“ Saya ngerti, boss,” kata Sabar, yang sebenarnya kepingin tidak menangis dan segera nyetop sesenggukannya, malah makin sesenggukan
“ Cuma, saya nggak bisa menahan rasa haru. Saya benar-benar nggak nyangka, hari ini Tuhan melimpahkan begitu banyak karunia. Dapat rezeki banyak dan ketemu sama anak muda, yang hatinya baik dan bijak “
“ Bang…bang…,” Bondan terpaksa meminta bang Sabar menuruti kemauannya. Bukan mau tegas, tapi Bondan, tak ingin ikut-ikutan menangis. Terlebih, sedang di restoran, dan tujuan utamanya masuk ke restoran mahal, bukan mau nangis sesenggukan. Tapi, mau makan.
“ Sekarang, tolong si abang jangan sesenggukan gitu. Anak si abang di rumah sakit, boleh nangis lantaran masih bayi. Di sini, abang jangan cengeng. Lagipula, saya mau makan, bang. Kalau si abang nangis, gimana saya bisa makan? Masa’ saya asyik makan si abang malah asyik nangis? Nggak lucu, bang. Sekarang aja, nih, saya sudah tidak tahan lagi, bang, kepingin nangis,” kata Bondan
Suaranya memang tegas dan sangat jelas, tapi hatinya malah jauh lebih lemah dari kata-kata dan sikap tegasnya.Buktinya, Bondan malah
ikutan nangis.
“Huhuhuhuhuhuhuhuhuhuhu, semua ini gara-gara elu, bang. Gue ngajak makan, mestinya lu senyum dan bukan malah nangis. Tapi, lanta ran lu nangis, gue tuh jadi kepingin ikut nangis, bang. Huhuhuhuhu…“
Suara tangisan Bondan lebih keras dari Sabar. Beberapa pelayan spontan menoleh, ke meja 13. Meja tamu mereka, yang belum pesan hidangan tapi sudah pada menangis. Tapi, mereka tak berani mendekat. Hanya sa ling bisik-bisik. Dan satu sama lain saling tanya sekaligus saling jawab, dengan bahasa tubuh. Artinya, sama-sama tidak tahu, mengapa dan sebab apa tamu mereka, belum makan sudah pada nangis.
Bukan berarti mereka harus terus menerus tidak tahu. Toh, akhirnya mereka memang harus tahu. Setelah tamunya yang duduk di meja nomor 13, mengajukan pesanan, mereka harus segera mengisi dengan berbagai hidangan, lengkap dengan minuman yang di inginkan.
Sedangkan yang tadi dan sekarang me reka lihat, tak perlu serius diperhatikan. Itu bu kan urusan manajemen rumah makan. Toh, tak ada larangan untuk menangis dan cekakakan. Ja di, saat mereka melihat Bondan dan Sabar yang sudah tidak sesenggukan, menikmati hidangan dengan lahap sambil sesekali tertawa lebar, tak ada kewajiban bagi pelayan untuk segera memanggil petugas keamanan.
Nanti, setelah puas dan mereka pergi da ri rumah makan tanpa bersedia membayar, baru manajemen rumah makan sangat berhak untuk bersikap dan mengambil tindakan. Bahkan, setegas-tegasnya. Kalau perlu—jika terbukti ti dak bayar, bisa langsung ngeroyok. Setelah babak belur, baru mereka giring ke kantor polisi.
Toh, tinggal buat laporan resmi. Bilang saja mereka preman, yang rakus saat makan tapi setelah kenyang sama sekali tak punya hawa nafsu untuk segera membayar. Malah mereka maksa minta ongkos buat pulang. Kan, beres. Paling, korban seratus ribu buat kasih uang rokok.
Nyatanya? Toh, seperti biasa. Tak ada masalah. Tamunya, bayar. Malah, petugas di bagian kasir, sempat dua kali tercengang. Per tama, saat bilang plus pesanan terakhir yang bungkusannya sudah dijinjing Sabar, totalnya tiga ratus lima puluh ribu rupiah, Bondan malah langsung komentar
“ Saya kira sampai sejuta. Nggak tahunya cuma tigatus lima puluh ribu. Nih mbak, uangnya, “ kata Sabar sambil menyodorkan empat lembar ratusan ribu
Kedua, saat ingin menyerahkan uang kembalian setelah ia menerima empat ratus ribu rupiah dari tamu yang tadi duduk di meja nomor 13, ia mendengar jelas, tamunya malah bilang.
“Ambil saja buat mbak. Dan ini, “ katanya kemudian sambil menyerahkan dua lembar ratusan ribu, “ Bagi buat empat orang teman mbak. Sebab, tadi mereka melayani deng an baik, dan tak mentertawakan kami, ketika ka mi asyik menangis ”
Untung, tadi mereka bersikap profesio nal dan proporsional. Jika gegabah dan sampai menimbulkan kesan tidak mengenakkan pada tamunya, kan yang mereka peroleh bukan uang tip yang jumlahnya lumayan besar. Tapi, klaim dari tamu yang duduk di meja nomor 13.
“Alas kakinya memang cuma sandal jepit. Tapi isi kantongnya, tebalnya selangit , “ kata pelayan berjidat agak nongnong
“ Hebat tuh, orang. Oom Ferdy saja, sekalinya ngasih tip lima puluh ribu, eh, nyuruh dibagi rata buat berlima. Padahal, tiap datang, mobil mewahnya selalu beda,” ujar temannya.
“ Yee, uang tip udeh langsung gue se rahin, bukan cepet beresin malah ngerumpi. Lain kali, gue tahan sampai akhir bulan, baru nyaho, lu “
Tentu saja Bondan tak tahu, kalau yang tadi ia la kukan, diperbincangkan dengan serius oleh para pelayan. Entah komentar apa yang akan diungkapkan Bondan, jika ia tahu dan mendengar langsung, pribadinya diperbincang kan.Padahal, apa yang dilakukan Bondan, tanpa pikir pan jang. Tanpa beban, dan tanpa berharap dapat pujian.
Dari siapa pun. Termasuk Tukijan dan teman-temannya, yang kerap kali ia beri uang tip. Memang, back groundnya beda. Tapi, kontradiktif atau pun tidak, Bon dan termasuk orang yang suka memberi. Paling tahu per sis, yaa, mbok Sinem. Meski embel-embelnya beda, salah satu alasan mbok Sinem betah bekerja di rumah Bondan, karena ia sering dapat uang tips. Jika sengaja dihitung, jumlahnya melebihi gaji tetapnya yang per bulan hanya sejuta rupiah.


Bersambung












0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXIII)"