oleh: Oesman Ratmadja
Sabar merasakan, bimbang dan ragunya sudah hilang. Rasa malunya pun
lenyap. Sabar sudah bisa tenang. Ia sudah bisa bersikap rilek,
santai. Seperti si boss yang sejak tadi duduk dan saat ini Sabar ada
di hadapannya
Ah,
indahnya. Baru kali ini, Sabar masuk dan menikmati suasana rumah
makan mewah. Tak lama lagi, ia yang sudah dipersilahkan pesan makanan
paling enak, akan menikmati makanan yang harganya mahal. Malah,
isterinya yang sedang dirawat di sebuah rumah sakit, juga akan
kebagian menikmati makanan enak yang harganya mahal.
“ Yaa, Allah. Terima kasih. Hari ini, hamba dapat banyak rezeki
dan dapat penumpang yang baik hati karena kasih dan sayangMU padaku.
HambaMu ini bersyukur padaMU yaa ALLAH, “
Bondan memang tak tahu, suara apa yang bergemerisik di dalam hati
Sabar, si tukang ojek. Tapi, ia melihat dan tahu, ada air mata yang
mengalir di pelupuk mata si tukang ojek. Dan, tak hanya itu. Dalam
hitungan detik, Bondan malah mendengar suara sesenggukan
“ Bang…,” kata Bondan dengan sikap yang tetap saja santai. “
Gue tuh ngajak si abang makan. Bukan nyuruh si abang sesenggukan. Gue
ngajak dan nyuruh abang pilih makanan yang abang suka, kenapa malah
nangis? Kan, gue udeh bilang, soal siapa yang bayar, bukan urusan
bang Sabar. Tapi, urusan gue “
“ Saya ngerti, boss,” kata Sabar, yang sebenarnya kepingin
tidak menangis dan segera nyetop sesenggukannya, malah makin
sesenggukan
“ Cuma, saya nggak bisa menahan rasa haru. Saya benar-benar
nggak nyangka, hari ini Tuhan melimpahkan begitu banyak karunia.
Dapat rezeki banyak dan ketemu sama anak muda, yang hatinya baik dan
bijak “
“ Bang…bang…,” Bondan terpaksa meminta bang Sabar menuruti
kemauannya. Bukan mau tegas, tapi Bondan, tak ingin ikut-ikutan
menangis. Terlebih, sedang di restoran, dan tujuan utamanya masuk ke
restoran mahal, bukan mau nangis sesenggukan. Tapi, mau makan.
“ Sekarang, tolong si abang jangan sesenggukan gitu. Anak si
abang di rumah sakit, boleh nangis lantaran masih bayi. Di sini,
abang jangan cengeng. Lagipula, saya mau makan, bang. Kalau si abang
nangis, gimana saya bisa makan? Masa’ saya asyik makan si abang
malah asyik nangis? Nggak lucu, bang. Sekarang aja, nih, saya sudah
tidak tahan lagi, bang, kepingin nangis,” kata Bondan
Suaranya memang tegas dan sangat jelas, tapi hatinya malah jauh
lebih lemah dari kata-kata dan sikap tegasnya.Buktinya, Bondan malah
ikutan
nangis.
“Huhuhuhuhuhuhuhuhuhuhu, semua ini gara-gara elu, bang. Gue
ngajak makan, mestinya lu senyum dan bukan malah nangis. Tapi, lanta
ran lu nangis, gue tuh jadi kepingin ikut nangis, bang. Huhuhuhuhu…“
Suara tangisan Bondan lebih keras dari Sabar. Beberapa pelayan
spontan menoleh, ke meja 13. Meja tamu mereka, yang belum pesan
hidangan tapi sudah pada menangis. Tapi, mereka tak berani mendekat.
Hanya sa ling bisik-bisik. Dan satu sama lain saling tanya sekaligus
saling jawab, dengan bahasa tubuh. Artinya, sama-sama tidak tahu,
mengapa dan sebab apa tamu mereka, belum makan sudah pada nangis.
Bukan berarti mereka harus terus menerus tidak tahu. Toh, akhirnya
mereka memang harus tahu. Setelah tamunya yang duduk di meja nomor
13, mengajukan pesanan, mereka harus segera mengisi dengan berbagai
hidangan, lengkap dengan minuman yang di inginkan.
Sedangkan yang tadi dan sekarang me reka lihat, tak perlu serius
diperhatikan. Itu bu kan urusan manajemen rumah makan. Toh, tak ada
larangan untuk menangis dan cekakakan. Ja di, saat mereka melihat
Bondan dan Sabar yang sudah tidak sesenggukan, menikmati hidangan
dengan lahap sambil sesekali tertawa lebar, tak ada kewajiban bagi
pelayan untuk segera memanggil petugas keamanan.
Nanti, setelah puas dan mereka pergi da ri rumah makan tanpa
bersedia membayar, baru manajemen rumah makan sangat berhak untuk
bersikap dan mengambil tindakan. Bahkan, setegas-tegasnya. Kalau
perlu—jika terbukti ti dak bayar, bisa langsung ngeroyok. Setelah
babak belur, baru mereka giring ke kantor polisi.
Toh, tinggal buat laporan resmi. Bilang saja mereka preman, yang
rakus saat makan tapi setelah kenyang sama sekali tak punya hawa
nafsu untuk segera membayar. Malah mereka maksa minta ongkos buat
pulang. Kan, beres. Paling, korban seratus ribu buat kasih uang
rokok.
Nyatanya? Toh, seperti biasa. Tak ada masalah. Tamunya, bayar.
Malah, petugas di bagian kasir, sempat dua kali tercengang. Per tama,
saat bilang plus pesanan terakhir yang bungkusannya sudah dijinjing
Sabar, totalnya tiga ratus lima puluh ribu rupiah, Bondan malah
langsung komentar
“ Saya kira sampai sejuta. Nggak tahunya cuma tigatus lima
puluh ribu. Nih mbak, uangnya, “ kata Sabar sambil menyodorkan
empat lembar ratusan ribu
Kedua, saat ingin menyerahkan uang kembalian setelah ia menerima
empat ratus ribu rupiah dari tamu yang tadi duduk di meja nomor 13,
ia mendengar jelas, tamunya malah bilang.
“Ambil saja buat mbak. Dan ini, “ katanya kemudian sambil
menyerahkan dua lembar ratusan ribu, “ Bagi buat empat orang teman
mbak. Sebab, tadi mereka melayani deng an baik, dan tak
mentertawakan kami, ketika ka mi asyik menangis ”
Untung, tadi mereka bersikap profesio nal dan proporsional. Jika
gegabah dan sampai menimbulkan kesan tidak mengenakkan pada tamunya,
kan yang mereka peroleh bukan uang tip yang jumlahnya lumayan besar.
Tapi, klaim dari tamu yang duduk di meja nomor 13.
“Alas kakinya memang cuma sandal jepit. Tapi isi kantongnya,
tebalnya selangit , “ kata pelayan berjidat agak nongnong
“ Hebat tuh, orang. Oom Ferdy saja, sekalinya ngasih tip lima
puluh ribu, eh, nyuruh dibagi rata buat berlima. Padahal, tiap
datang, mobil mewahnya selalu beda,” ujar temannya.
“ Yee, uang tip udeh langsung gue se rahin, bukan cepet beresin
malah ngerumpi. Lain kali, gue tahan sampai akhir bulan, baru nyaho,
lu “
Tentu saja Bondan tak tahu, kalau yang tadi ia la kukan,
diperbincangkan dengan serius oleh para pelayan. Entah komentar apa
yang akan diungkapkan Bondan, jika ia tahu dan mendengar langsung,
pribadinya diperbincang kan.Padahal, apa yang dilakukan Bondan,
tanpa pikir pan jang. Tanpa beban, dan tanpa berharap dapat pujian.
Dari siapa pun. Termasuk Tukijan dan teman-temannya, yang kerap
kali ia beri uang tip. Memang, back groundnya beda. Tapi,
kontradiktif atau pun tidak, Bon dan termasuk orang yang suka
memberi. Paling tahu per sis, yaa, mbok Sinem. Meski embel-embelnya
beda, salah satu alasan mbok Sinem betah bekerja di rumah Bondan,
karena ia sering dapat uang tips. Jika sengaja dihitung, jumlahnya
melebihi gaji tetapnya yang per bulan hanya sejuta rupiah.
Bersambung
0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXIII)"
Posting Komentar