oleh: Oesman Ratmadja
BONDAN malah tidak ingin memberi uang sepeserpun, pada seorang
pengemis perempuan sekitar tiga puluh lima tahunan, meski ia
menggendong bayi dan tangan kanannya menuntun seorang bocah lelaki
berusia sekitar enam tahunan.
Hanya, Bondan yang sedang memperhatikan dua rumah yang posisinya
saling bersebelahan dan di masing masing pagarnya ada tulisan
dikontrakkan, sama sekali tak merasa terganggu. Tapi, ia sempat
kesal. Pasalnya, meski ia sudah minta maaf dengan begitu sopan dan
sudah mengatakan, “lain kali saja ya, bu,” si pengemis, terus aja
memohon agar ia dikasihani dan diberi sedekah.
“
Ibu kan, masih gagah. Masih kuat. Mestinya, ibu kerja. Sebab,
mengemis itu, menghina diri sendiri, lho, bu ?” Ucap Bondan yang
kemudian menyarankan agar ia mencari kerja, karena di usianya yang
masih muda, masih kuat bekerja meski jadi pembantu rumah tangga.
Sabar yang duduk rileks di atas motor yang diparkir di sebuah pohon
rindang, tak jauh dari posisi Bondan, hanya bisa memperhatikan dari
tempat ia melepas lelah
“
Kerja apa dan di mana, oom. Saya sudah cari kerjaan ke berbagai
tempat, tak ada yang mau menerima saya. Meski hanya sebagai pembantu
rumah tangga,” sahut si pengemis
“ Oh, yaa” Bondan kaget.
“ Iyaa, oom. Cari kerja itu benar-benar susah,” tegas
pengemis perempuan, sambil mene nangkan bayi di gendongannya, yang
sengaja dicubit agar menangis dan dia berharap Bondan menjadi iba
lantas memberi uang
“Kalau begitu, kerja saja di rumah sa ya. Kebetulan, si mbok
Sinem, butuh teman. Nah , ibu mau, kan, ikut dan bekerja di rumah
saya ?”
“ Ta..tapi, oom?”
“Soal gaji? Ibu jangan kuatir. Ibu mau minta gaji berapa? Satu
juta atau satu juta sete ngah?”
“Itu sebulan, kan, oom. Waah, enakan begini saja om. Sehari
kan saya bisa dapat tga ratus ribu rupiah. Lain kali saja deh, oom”
sahut si pengemis muda, yang kentara sekali dirinya gugup tapi tanpa
sadar memberi alasan mengapa ia akhirnya menolak jadi pembantu rumah
tangga
Pengemis perempuan yang sama sekali tak menyangka, jika pria
yang dipanggilnya oom, malah mengajak bekerja dengan gaji
menggiurkan. Tapi, ia juga kesal, karena yang ia harapkan diberi
uang, bukan diminta bekerja, meski gajinya cukup menggiurakan.
Bukankah ia lebih biasa menengadahkan tangan, meminta dan dengan
begitu tinggal menikmati hasil tanpa harus memeras keringat dan
membuang tenaga? Terlebih, penghasilannya jauh lebih besar. Jika
sehari rata rata bisa dapat tga ratus ribuan, gaji sebagai pembantu
nggak ada apa apanya.
Jika harus bekerja, bukan tak sanggup. Tapi, tak biasa. Dan jika
bekerja, berarti ia harus menguras tenaga, merelakan diri diimarahi
majikan, dan bukan tidak mungkin, pakai disiksa. Bukankah banyak
pembantu yang dianiaya?
Bondan tak sempat menanyakan mengapa pengemis wanita yang
pinter nyetel wajah nelangsa, malah menolak tawarannya, setelah
mengaku sudah melamar sebagai pembantu ke berbagai tempat, tapi tak
kunjung ada yang menerima. Sebab, si pengemis bergegas pergi tanpa
permisi. Bocah yang dibawanya, nyaris terpelanting saat ia
menuntunnya dengan gerak cepat.
“Kenapa tuh pengemis,boss? Ngambek?” Tanya Sabar, ketika
Bondan mengham pirinya.
“Tau? Dia bilang, makanya ngemis lantaran susah cari kerja. Eh, gue
ajak kerja di rumah gue, malah langsung ngeloyor. Kayaknya, sih,
ngambek “
“Orang males, tuh, yaa, gitu, boss. Diajak kerja bukan
senang, malah kesel. Sebab, kerja, kan, mesti pakai tenaga. Mesti
siap diomelin. Modalnya, cukup gede. Kalau ngemis, modalnya kan cuma
kasiiiihaaaan pak....bu... “
“ Oh, yaa? Terus, gimane, nee? Kalau setengah jam ke depan
orangnya nggak datang juga, kita cari ke komplek yang lain, si abang
kagak keberatan, kan?”
“
Insya Allah, boss “
“
Insya Allah keberatan apa tidak keberatan “
“
Boss, sampai besok pun saya siap an tar boss ke mana saja. Yang
penting, tujuannya cari rumah. Eh, kayaknya, yang punya datang, tuh
boss “
Bondan menoleh. Tersenyum, mengangguk dan memperkenalkan diri, dan
menyam paikan maksudnya pada pak Waluya.
“
Kayaknya, saya mesti tanya dulu, dik Bondan mau ambil yang mana, nih?
Kalau mau yang masih asli, saya bisa langsung antar masuk ke dalam
agar dik Bondan bisa lihat-lihat. Kalau mau yang di sebelahnya, kita
harus ke rumah bu Mursidin terlebih dahulu “
“Jadi, yang masih asli punya bapak, yang sudah direnovasi dan
ditingkat, punya bu Mursidin. Bagaimana kalau saya maunya lihat lebih
dahulu rumah bapak. Oh ya, boleh saya tahu, berapa harga per tahunya,
pak ?”
“Rumah saya kan masih asli. Masih apa adanya. Listriknya pun
hanya 900 watt. Har ga per tahunnya, tentu lebih rendah dari rumah di
sebelahnya. Saya tawarkan cuma delapan juta rupiah. Jika dik Bondan
naksir rumah bu Mursidin , kata nya, sih, per tahun lima belas juta
rupiah “
Pak
Waluya membuka gembok rumah nya. Mengajak Bondan masuk ke dalam untuk
melihat-lihat. Sadar tetap di atas motornya. Me mandang bungkusan
plastik berisi makanan ma hal, untuk isterinya. Ia yakin, boss
mengijinkan jika ia ikut melihat-lihat ke dalam. Tapi, Sadar kuatir
malah lama. Ia tak ingin, kelamaan di dalam rumah, begitu keluar,
motornya sudah raib entah ke mana
“Pastinya, isteri gue nggak mungkin nggak senang Dia pasti tidak
nyangka, jika suami nya yang cuma tukang ojek, bisa bawa makanan
enak, mahal dan dibungkus dalam kemasan m ewah “
Sadar terus memandang bungkusan yang ia gantung di stang
motornya. Ia terus terse nyum. Seperti Bondan, yang juga tersenyum
setelah mendengar seloroh pak Waluya, yang menga takan, para tetangga
menyangka rumahnya yang sekitar sebulan kosong ada penghuninya
“Pak Waluya bisa saja. Tapi, untung saya tidak takut setan.
Sebab, saya pernah jadi setan. Dan ketika saya merasa sebagai setan,
saya bisa melihat dengan nyata, lho pak, betapa setan-setan beneran
malah pada santai dan berleha-leha “
“Hahahahaha, sekarang, dik Bondan yang bisa saja. Masa’
bisa, sih, setan beneran malah pada santai dan berleha-leha “
“Benar dan nyata, pak.Mereka itu, malah pada malas kerja.
Baru kepingin membujuk manusia agar pada mabuk, eh, manusia yang
sudah jadi setan, malah mabuk duluan. Baru mau ngebujuk manusia agar
korupsi, eh, manusia yang sudah menempatkan setan dalam dirinya,
belum dibujuk sudah lebih dahulu korupsi. Jadi, setan merasa nggak
ada kerjaan.
Mereka jadi bisa santai dan berleha-leha. Sebab, saat ini,
kebanyakan manusia, malah menempatkan setan ke dalam dirinya. Menjadi
setan sebelum setan datang untuk membujuknya. Para setan pasti
bersyukur, sebab semakin banyak manusia yang jadi setan, semakin
ringan tugasnya “
“
Ada benarnya juga, lho, dik Bondan. Sebab, setan yang benar-benar
setan, kan, nggak pada hobi mabuk-mabukan. Eh, manusia yang dilarang
melakukan perbuatan setan malah gemar mabuk-mabukan. Setan juga nggak
hobi korupsi, sebab, setan nggak perlu uang atau rumah mewah.
Tapi, korupsi itu pekerjaan setan. Lalu, mengapa justeru manusia
yang gemar melakukan korupsi, yaa ? Jadi, menurut dik Bondan, yang
aneh itu, setan atau manusia, yaa ?”
“Waah, kalau menurut saya, lebih baik harus dianggap aneh tapi
nyata, pak. Soalnya, kalau kita bilang yang aneh itu manusia, toh,
nyatanya manusia itu konkrit dan sesama manusia bisa melihat wujud
nyatanya. Tapi, jika yang aneh kita anggap setan, toh, meski kita tak
pernah bisa melihat wujudnya, kita juga tak pernah melihat kenyataan
tentang setan yang sedang bermabuk-mabukan.
Bersambung
0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXIV)"
Posting Komentar