BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXIV)









oleh: Oesman Ratmadja



         BONDAN malah tidak ingin memberi uang sepeserpun, pada seorang pengemis perempuan sekitar tiga puluh lima tahunan, meski ia menggendong bayi dan tangan kanannya menuntun seorang bocah lelaki berusia sekitar enam tahunan.
Hanya, Bondan yang sedang memperhatikan dua rumah yang posisinya saling bersebelahan dan di masing masing pagarnya ada tulisan dikontrakkan, sama sekali tak merasa terganggu. Tapi, ia sempat kesal. Pasalnya, meski ia sudah minta maaf dengan begitu sopan dan sudah mengatakan, “lain kali saja ya, bu,” si pengemis, terus aja memohon agar ia dikasihani dan diberi sedekah.
“ Ibu kan, masih gagah. Masih kuat. Mestinya, ibu kerja. Sebab, mengemis itu, menghina diri sendiri, lho, bu ?” Ucap Bondan yang kemudian menyarankan agar ia mencari kerja, karena di usianya yang masih muda, masih kuat bekerja meski jadi pembantu rumah tangga.
Sabar yang duduk rileks di atas motor yang diparkir di sebuah pohon rindang, tak jauh dari posisi Bondan, hanya bisa memperhatikan dari tempat ia melepas lelah
“ Kerja apa dan di mana, oom. Saya sudah cari kerjaan ke berbagai tempat, tak ada yang mau menerima saya. Meski hanya sebagai pembantu rumah tangga,” sahut si pengemis
“ Oh, yaa” Bondan kaget.
“ Iyaa, oom. Cari kerja itu benar-benar susah,” tegas pengemis perempuan, sambil mene nangkan bayi di gendongannya, yang sengaja dicubit agar menangis dan dia berharap Bondan menjadi iba lantas memberi uang
“Kalau begitu, kerja saja di rumah sa ya. Kebetulan, si mbok Sinem, butuh teman. Nah , ibu mau, kan, ikut dan bekerja di rumah saya ?”
“ Ta..tapi, oom?”
“Soal gaji? Ibu jangan kuatir. Ibu mau minta gaji berapa? Satu juta atau satu juta sete ngah?”
“Itu sebulan, kan, oom. Waah, enakan begini saja om. Sehari kan saya bisa dapat tga ratus ribu rupiah. Lain kali saja deh, oom” sahut si pengemis muda, yang kentara sekali dirinya gugup tapi tanpa sadar memberi alasan mengapa ia akhirnya menolak jadi pembantu rumah tangga
Pengemis perempuan yang sama sekali tak menyangka, jika pria yang dipanggilnya oom, malah mengajak bekerja dengan gaji menggiurkan. Tapi, ia juga kesal, karena yang ia harapkan diberi uang, bukan diminta bekerja, meski gajinya cukup menggiurakan. Bukankah ia lebih biasa menengadahkan tangan, meminta dan dengan begitu tinggal menikmati hasil tanpa harus memeras keringat dan membuang tenaga? Terlebih, penghasilannya jauh lebih besar. Jika sehari rata rata bisa dapat tga ratus ribuan, gaji sebagai pembantu nggak ada apa apanya.
Jika harus bekerja, bukan tak sanggup. Tapi, tak biasa. Dan jika bekerja, berarti ia harus menguras tenaga, merelakan diri diimarahi majikan, dan bukan tidak mungkin, pakai disiksa. Bukankah banyak pembantu yang dianiaya?
Bondan tak sempat menanyakan mengapa pengemis wanita yang pinter nyetel wajah nelangsa, malah menolak tawarannya, setelah mengaku sudah melamar sebagai pembantu ke berbagai tempat, tapi tak kunjung ada yang menerima. Sebab, si pengemis bergegas pergi tanpa permisi. Bocah yang dibawanya, nyaris terpelanting saat ia menuntunnya dengan gerak cepat.
“Kenapa tuh pengemis,boss? Ngambek?” Tanya Sabar, ketika Bondan mengham pirinya.
“Tau? Dia bilang, makanya ngemis lantaran susah cari kerja. Eh, gue ajak kerja di rumah gue, malah langsung ngeloyor. Kayaknya, sih, ngambek “
“Orang males, tuh, yaa, gitu, boss. Diajak kerja bukan senang, malah kesel. Sebab, kerja, kan, mesti pakai tenaga. Mesti siap diomelin. Modalnya, cukup gede. Kalau ngemis, modalnya kan cuma kasiiiihaaaan pak....bu... “
“ Oh, yaa? Terus, gimane, nee? Kalau setengah jam ke depan orangnya nggak datang juga, kita cari ke komplek yang lain, si abang kagak keberatan, kan?”
“ Insya Allah, boss “
“ Insya Allah keberatan apa tidak keberatan “
“ Boss, sampai besok pun saya siap an tar boss ke mana saja. Yang penting, tujuannya cari rumah. Eh, kayaknya, yang punya datang, tuh boss “
Bondan menoleh. Tersenyum, mengangguk dan memperkenalkan diri, dan menyam paikan maksudnya pada pak Waluya.
“ Kayaknya, saya mesti tanya dulu, dik Bondan mau ambil yang mana, nih? Kalau mau yang masih asli, saya bisa langsung antar masuk ke dalam agar dik Bondan bisa lihat-lihat. Kalau mau yang di sebelahnya, kita harus ke rumah bu Mursidin terlebih dahulu “
“Jadi, yang masih asli punya bapak, yang sudah direnovasi dan ditingkat, punya bu Mursidin. Bagaimana kalau saya maunya lihat lebih dahulu rumah bapak. Oh ya, boleh saya tahu, berapa harga per tahunya, pak ?”
“Rumah saya kan masih asli. Masih apa adanya. Listriknya pun hanya 900 watt. Har ga per tahunnya, tentu lebih rendah dari rumah di sebelahnya. Saya tawarkan cuma delapan juta rupiah. Jika dik Bondan naksir rumah bu Mursidin , kata nya, sih, per tahun lima belas juta rupiah “
Pak Waluya membuka gembok rumah nya. Mengajak Bondan masuk ke dalam untuk melihat-lihat. Sadar tetap di atas motornya. Me mandang bungkusan plastik berisi makanan ma hal, untuk isterinya. Ia yakin, boss mengijinkan jika ia ikut melihat-lihat ke dalam. Tapi, Sadar kuatir malah lama. Ia tak ingin, kelamaan di dalam rumah, begitu keluar, motornya sudah raib entah ke mana
“Pastinya, isteri gue nggak mungkin nggak senang Dia pasti tidak nyangka, jika suami nya yang cuma tukang ojek, bisa bawa makanan enak, mahal dan dibungkus dalam kemasan m ewah “
Sadar terus memandang bungkusan yang ia gantung di stang motornya. Ia terus terse nyum. Seperti Bondan, yang juga tersenyum setelah mendengar seloroh pak Waluya, yang menga takan, para tetangga menyangka rumahnya yang sekitar sebulan kosong ada penghuninya
“Pak Waluya bisa saja. Tapi, untung saya tidak takut setan. Sebab, saya pernah jadi setan. Dan ketika saya merasa sebagai setan, saya bisa melihat dengan nyata, lho pak, betapa setan-setan beneran malah pada santai dan berleha-leha “
“Hahahahaha, sekarang, dik Bondan yang bisa saja. Masa’ bisa, sih, setan beneran malah pada santai dan berleha-leha “
“Benar dan nyata, pak.Mereka itu, malah pada malas kerja. Baru kepingin membujuk manusia agar pada mabuk, eh, manusia yang sudah jadi setan, malah mabuk duluan. Baru mau ngebujuk manusia agar korupsi, eh, manusia yang sudah menempatkan setan dalam dirinya, belum dibujuk sudah lebih dahulu korupsi. Jadi, setan merasa nggak ada kerjaan.
Mereka jadi bisa santai dan berleha-leha. Sebab, saat ini, kebanyakan manusia, malah menempatkan setan ke dalam dirinya. Menjadi setan sebelum setan datang untuk membujuknya. Para setan pasti bersyukur, sebab semakin banyak manusia yang jadi setan, semakin ringan tugasnya “
“ Ada benarnya juga, lho, dik Bondan. Sebab, setan yang benar-benar setan, kan, nggak pada hobi mabuk-mabukan. Eh, manusia yang dilarang melakukan perbuatan setan malah gemar mabuk-mabukan. Setan juga nggak hobi korupsi, sebab, setan nggak perlu uang atau rumah mewah.
Tapi, korupsi itu pekerjaan setan. Lalu, mengapa justeru manusia yang gemar melakukan korupsi, yaa ? Jadi, menurut dik Bondan, yang aneh itu, setan atau manusia, yaa ?”
“Waah, kalau menurut saya, lebih baik harus dianggap aneh tapi nyata, pak. Soalnya, kalau kita bilang yang aneh itu manusia, toh, nyatanya manusia itu konkrit dan sesama manusia bisa melihat wujud nyatanya. Tapi, jika yang aneh kita anggap setan, toh, meski kita tak pernah bisa melihat wujudnya, kita juga tak pernah melihat kenyataan tentang setan yang sedang bermabuk-mabukan.


Bersambung

0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXIV)"