oleh: Oesman Ratmadja
Di
pengadilan, kita juga tak pernah, tuh, melihat jaksa membacakan
tuntutan kepada setan. Yang dituntut, pasti manusia. Hakim yang
kemudian memvonis, juga tidak menjatuhkan vonis untuk setan. Sebab,
wujud nyata terdakwanya tetap manusia “
“Jadi, salah dong, kalau kita bilang mafia kasus, koruptor, maling
ayam, mafia pajak, itu setan “
“ Salah sih, tidak, pak. Hanya, jelas sangat keliru. Sebab, yang
nyata-nyata melakukan kejahatan pasti manusia, bukan setan. Tapi,
manusia selalu mengatakan, penjahat yang sebenarnya manusia telah
melakukan perbuatan setan. Untungnya saja, setan tak pernah
melaporkan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh manusia terhadap
setan kepada Hak Azasi Setan“
“Hahahaha, sekarang bagaimana, apakah setan. Eh, maaf, maksud saya,
apakah dik Bondan berkenan mengontrak rumah saya ? Tapi, maaf, lho,
barusan saya bilang setan. Habis, sih, dik Bondan bisa saja. Mau
transaksi kontrak rumah, setan dibawa-bawa “
Bondan yang sudah melihat situasi rumah kontrakan milik pak Waluya
yang menurutnya sangat sederhana, dan cocok dijadikan tempat tinggal
karena lokasinya di dalam dan jauh dari jalan raya, tak lagi berpikir
panjang lebar. Ia langsung menyatakan berminat dan langsung membayar
uang kontrakan untuk dua tahun
“ Langsung dibayar saat ini ?” Tentu saja Pak Waluyo
jadi kaget.
“ Sekarang, besok atau lusa, kan sama saja, pak. Saya tetap
harus bayar. Jadi, kenapa harus ditunda-tunda ?”
“Terima kasih, dik Bondan. Terima kasih,” pak Waluyo
menghitung uang yang diserahkan Bondan untuk membayar harga kontrak
rumah.
“Boleh, kan, pak kalau saya langsung minta kunci.
Kebetulan, saya kepingin banget istirahat “
“Oh, boleh. Tentu saja boleh. Silahkan, ini kuncinya,”
pak Waluya segera menyerahkan kunci rumahnya kepada Bondan, dan
segera pamit pulang.
Bondan memanggil tukang ojek agar membawa motornya ke
dalam. Sadar ter senyum. Ia yakin, pak Waluya pergi dan membi arkan
Bondan di rumahnya, berarti sudah deal. Sadar yakin, sebelum Maghrib,
ia sudah bisa sampai di rumah sakit. Menjenguk isterinya, menyerahkan
makanan enak dan uang setengah juta rupiah dalam bentuk lima lembar
ratusan ribu rupiah.
“Kita istirahat sejenak, yaa, bang. Setelah itu, kita
cari mesjid dan langsung pulang. Oh iya, jam berapa abang mau besuk
isteri di rumah sakit “
“Sore, kok, boss. Tenang aja, boss. Masih banyak waktu.
Saya juga kepingin santai sebentar,“ sahut Sadar, sambil standarkan
motornya yang sudah dibawa masuk ke teras rumah tipe 36.
“Abang tau, nggak tadinya gue mau ambil rumah kontrakan yang mana
?”
“Waah, tepatnya saya nggak tau boss.Cuma, karena rumah
yang akan dikontrak ada dua, kalau nggak rumah yang ini, pasti yang
di sebelah, boss “
“ Gue kepengen banget, bang, ambil yang di sebelah. Cuma,
kata pak Waluyo, harga pertahunnya lima belas juta rupiah. Sedangkan
yang ini, cuma tujuh juta rupiah. Akhirnya, gue pilih yang ini dong
“
“Dananya nggak cukup, ya, boss?”
“Ya, nggak cukup buat bayar rumah sakit”
“Emang, keluarga boss ada yang sakit? Anak atau isteri, boss ?”
“Gue, kan masih jomblo, bang “
“Boss masih jomblo. Kalau begitu, yang sakit, jika bukan orangtua
pasti kakak atau adik nya, boss “
“Maksud gue, begini, lho, bang. Gue tuh, kan ngontrak dua tahun.
Kalau gue ambil yang disebelah, kan, mesti bayar tiga puluh juta.
Nah, kalau yang ini, kan , cuma empat empat belas juta. Jadi, gue
tuh ngirit bejuta juta , kan ?”
“Kalau hitungannya begitu, memang benar, bisa ngirit belasan juta,
boss. Berarti masih bisa bayar biaya rumah sakit keluarga boss yang
lagi dirawat “
“Gue tuh nggak punya keluarga yang lagi dirawat di rumah sakit,
bang. Ngaco aja, lu ?”
“Ngaco gimane, boss. Kan, barusan, boss sendiri yang bilang, nggak
cukup buat bayar rumah sakit “
“Yang lu bilang, emang nggak salah, bang. Cuma, maksud gue begini.
Kalau gue ambil ru mah kontrakan sebelah, berarti gue bayar lebih
gede. Kalau yang ini, kan, lebih kecil . Berarti gue bisa irit
belasan juta. Naah, maksud gue, duit yang bisa gue irit, yang
jumlahnya mau gue pakai buat …enaknya buat apa, ye, bang ?”“
“Buat renovasi kan, bisa, boss. Jadi, nih rumah, walau masih asli,
bisa lebih enak dipakai “
“Soal renovasi nggak usah lu pikirin, bang. Itu urusan gue. Gimana
kalau gue pakai buat. “
“Beli perabotan, boss. Jadi, perabo an boss, baru semua. Oke,
punya, tuh, boss ?”
“Kayaknye, lebih oke kalau gue pa kai buat bayar biaya rumah sakit
isteri lu, deh, bang “
Sadar, tercengang. Ia seperti tidak percaya mendengar kalimat yang
baru saja terucap dari mulut Bondan. Padahal, sangat jelas tak
mungkin tidak terdengar apalagi salah dengar.
“Yee, gimana juga, sih, lu, bang. Apa nggak boleh, kalau gue mau
membantu meringankan be ban lu bayar biaya rumah sakit. Tadi, lu
bilang isteri lu lagi dirawat, kan ?”
“Be..benar, boss. Cu..cu..Cuma Astagfirul lah Haladziem.
Subhanallah Alhamdulillah Hi robbil ‘Alamin.
Boooosss, terima kasih, boss. Terima kasih, Yaa Allah, hari ini,
begitu banyak rezeki yang kau limpahkan pada hamba, Tengkyu Allah.
Tengkyu ”
Sadar langsung sungkurkan kepalanya, Ia bersujud ke lantai,
bersyukur. Tangisnya pecah. Tangis haru, tangis bahagia. Bondan,
membuka tas yang tergantung, diikat dipinggangnya. Meng ambil uang.
Menghitung. Ia membiarkan Sadar sesenggukan. Baru berhenti setelah
Bondan usai menghitung uang dan mengangkat tubuhnya.
“
Bang…tolong terima uang ini, yaa. Tolong gunakan untuk bayar rumah
sakit, agar isteri dan anak abang bisa cepat dibawa pulang. Ingat
yaa, bang. Gue cuma bisa bantu buat bayar rumah sakit. Bukan buat
foya-foya. Gunakan baik-baik, ya, bang “
“Alhamdulillah yaa Allaaah. Engkau memang Maha Suci. Maha Besar.
Saat hambamu bingung, kau datangkan boss yang baik hati untuk
menolong hamba. Terima kasih banget, boss. Terima kasih “
Bondan tidak menggubris
“Duitnya, tolong cepat diambil, bang. Tolong hitung, saya kasih
abang delapan juta. Setelah abang hitung, semisal kurang tolong
bilang. Kalau cukup simpan baik-baik. Kalau abang sudah tenang, kita
segera cari mesjid. Kita shalat Dhuhur. Abang imam saya mak mum,
yaa?”
“Iya, iya, eh, nggak boss. Boss saja yang jadi imamnya. Saya jadi
makmumnya. Soalnya, saya lagi terharu. Takut, nanti terus nangis,
malah sholat saya jadi nggak konsen “
“Yaa, sudah, abang jangan buang air mata te us. Nanti, kalau habis,
kan susah belinya. Percuma punya duit kalau kita nggak punya air mata
“
“Saya
masih kepingin nangis, boss. Sebab, saya benar-benar bahagia. Saya
nggak sangka, sete lah ketemu sama boss, Allah malah memberi saya
kemudahan dalam menyelesaikan masalah, “ ujar Sabar sambil terus
merapikan uang yang sudah dihitungnya
“Bagaimana, sekarang, sudah bisa apa belum jika kita cari mesjid?”
“Sangat bisa, boss. Uangnya, su dah saya hitung. Jumlahnya cukup.
Tidak kurang tidak lebih. Sekali lagi, ijinkan saya mengucapkan
terima kasih “
“Yaa, sama-sama. Tapi, gue minta sekali lagi, jangan terus-terusan
nangis. Ntar di sangka orang, gue habis ngegebukin si abang la gi“
“Sembarangan. Kalau ada yang berani bilang begitu sama boss, biar
saya yang ha jar “
“Belagu lu bang. Mengeringkan air mata saja, lu belum bisa. Gimana
bisa ngehajar orang? Makanya, lu stop deh tuh tangisan. Te rus kita
ke luar, cari mesjid “
Sabar berusaha untuk menghentikan tangisnya. Setelah dengan susah
payah, akirnya, ia berhasil nyetop tangisannya. Sabar lalu ngelap air
matanya. Baru ia merasa leluasa dan bisa mengeluarkan motor, dari
teras rumah, yang harga kontraknya sudah dibayar Bondan
Bersambung
0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXV)"
Posting Komentar