BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXV)









oleh: Oesman Ratmadja

Di pengadilan, kita juga tak pernah, tuh, melihat jaksa membacakan tuntutan kepada setan. Yang dituntut, pasti manusia. Hakim yang kemudian memvonis, juga tidak menjatuhkan vonis untuk setan. Sebab, wujud nyata terdakwanya tetap manusia “
“Jadi, salah dong, kalau kita bilang mafia kasus, koruptor, maling ayam, mafia pajak, itu setan “
“ Salah sih, tidak, pak. Hanya, jelas sangat keliru. Sebab, yang nyata-nyata melakukan kejahatan pasti manusia, bukan setan. Tapi, manusia selalu mengatakan, penjahat yang sebenarnya manusia telah melakukan perbuatan setan. Untungnya saja, setan tak pernah melaporkan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh manusia terhadap setan kepada Hak Azasi Setan“
“Hahahaha, sekarang bagaimana, apakah setan. Eh, maaf, maksud saya, apakah dik Bondan berkenan mengontrak rumah saya ? Tapi, maaf, lho, barusan saya bilang setan. Habis, sih, dik Bondan bisa saja. Mau transaksi kontrak rumah, setan dibawa-bawa “
Bondan yang sudah melihat situasi rumah kontrakan milik pak Waluya yang menurutnya sangat sederhana, dan cocok dijadikan tempat tinggal karena lokasinya di dalam dan jauh dari jalan raya, tak lagi berpikir panjang lebar. Ia langsung menyatakan berminat dan langsung membayar uang kontrakan untuk dua tahun
“ Langsung dibayar saat ini ?” Tentu saja Pak Waluyo jadi kaget.
“ Sekarang, besok atau lusa, kan sama saja, pak. Saya tetap harus bayar. Jadi, kenapa harus ditunda-tunda ?”
“Terima kasih, dik Bondan. Terima kasih,” pak Waluyo menghitung uang yang diserahkan Bondan untuk membayar harga kontrak rumah.
“Boleh, kan, pak kalau saya langsung minta kunci. Kebetulan, saya kepingin banget istirahat “
“Oh, boleh. Tentu saja boleh. Silahkan, ini kuncinya,” pak Waluya segera menyerahkan kunci rumahnya kepada Bondan, dan segera pamit pulang.
Bondan memanggil tukang ojek agar membawa motornya ke dalam. Sadar ter senyum. Ia yakin, pak Waluya pergi dan membi arkan Bondan di rumahnya, berarti sudah deal. Sadar yakin, sebelum Maghrib, ia sudah bisa sampai di rumah sakit. Menjenguk isterinya, menyerahkan makanan enak dan uang setengah juta rupiah dalam bentuk lima lembar ratusan ribu rupiah.
“Kita istirahat sejenak, yaa, bang. Setelah itu, kita cari mesjid dan langsung pulang. Oh iya, jam berapa abang mau besuk isteri di rumah sakit “
“Sore, kok, boss. Tenang aja, boss. Masih banyak waktu. Saya juga kepingin santai sebentar,“ sahut Sadar, sambil standarkan motornya yang sudah dibawa masuk ke teras rumah tipe 36.
“Abang tau, nggak tadinya gue mau ambil rumah kontrakan yang mana ?”
“Waah, tepatnya saya nggak tau boss.Cuma, karena rumah yang akan dikontrak ada dua, kalau nggak rumah yang ini, pasti yang di sebelah, boss “
“ Gue kepengen banget, bang, ambil yang di sebelah. Cuma, kata pak Waluyo, harga pertahunnya lima belas juta rupiah. Sedangkan yang ini, cuma tujuh juta rupiah. Akhirnya, gue pilih yang ini dong “
“Dananya nggak cukup, ya, boss?”
“Ya, nggak cukup buat bayar rumah sakit”
“Emang, keluarga boss ada yang sakit? Anak atau isteri, boss ?”
“Gue, kan masih jomblo, bang “
“Boss masih jomblo. Kalau begitu, yang sakit, jika bukan orangtua pasti kakak atau adik nya, boss “
“Maksud gue, begini, lho, bang. Gue tuh, kan ngontrak dua tahun. Kalau gue ambil yang disebelah, kan, mesti bayar tiga puluh juta. Nah, kalau yang ini, kan , cuma empat empat belas juta. Jadi, gue tuh ngirit bejuta juta , kan ?”
“Kalau hitungannya begitu, memang benar, bisa ngirit belasan juta, boss. Berarti masih bisa bayar biaya rumah sakit keluarga boss yang lagi dirawat “
“Gue tuh nggak punya keluarga yang lagi dirawat di rumah sakit, bang. Ngaco aja, lu ?”
“Ngaco gimane, boss. Kan, barusan, boss sendiri yang bilang, nggak cukup buat bayar rumah sakit “
“Yang lu bilang, emang nggak salah, bang. Cuma, maksud gue begini. Kalau gue ambil ru mah kontrakan sebelah, berarti gue bayar lebih gede. Kalau yang ini, kan, lebih kecil . Berarti gue bisa irit belasan juta. Naah, maksud gue, duit yang bisa gue irit, yang jumlahnya mau gue pakai buat …enaknya buat apa, ye, bang ?”“
“Buat renovasi kan, bisa, boss. Jadi, nih rumah, walau masih asli, bisa lebih enak dipakai “
“Soal renovasi nggak usah lu pikirin, bang. Itu urusan gue. Gimana kalau gue pakai buat. “
“Beli perabotan, boss. Jadi, perabo an boss, baru semua. Oke, punya, tuh, boss ?”
“Kayaknye, lebih oke kalau gue pa kai buat bayar biaya rumah sakit isteri lu, deh, bang “
Sadar, tercengang. Ia seperti tidak percaya mendengar kalimat yang baru saja terucap dari mulut Bondan. Padahal, sangat jelas tak mungkin tidak terdengar apalagi salah dengar.
“Yee, gimana juga, sih, lu, bang. Apa nggak boleh, kalau gue mau membantu meringankan be ban lu bayar biaya rumah sakit. Tadi, lu bilang isteri lu lagi dirawat, kan ?”
“Be..benar, boss. Cu..cu..Cuma Astagfirul lah Haladziem. Subhanallah Alhamdulillah Hi robbil ‘Alamin.
Boooosss, terima kasih, boss. Terima kasih, Yaa Allah, hari ini, begitu banyak rezeki yang kau limpahkan pada hamba, Tengkyu Allah. Tengkyu ”
Sadar langsung sungkurkan kepalanya, Ia bersujud ke lantai, bersyukur. Tangisnya pecah. Tangis haru, tangis bahagia. Bondan, membuka tas yang tergantung, diikat dipinggangnya. Meng ambil uang. Menghitung. Ia membiarkan Sadar sesenggukan. Baru berhenti setelah Bondan usai menghitung uang dan mengangkat tubuhnya.
“ Bang…tolong terima uang ini, yaa. Tolong gunakan untuk bayar rumah sakit, agar isteri dan anak abang bisa cepat dibawa pulang. Ingat yaa, bang. Gue cuma bisa bantu buat bayar rumah sakit. Bukan buat foya-foya. Gunakan baik-baik, ya, bang “
“Alhamdulillah yaa Allaaah. Engkau memang Maha Suci. Maha Besar. Saat hambamu bingung, kau datangkan boss yang baik hati untuk menolong hamba. Terima kasih banget, boss. Terima kasih “
Bondan tidak menggubris
“Duitnya, tolong cepat diambil, bang. Tolong hitung, saya kasih abang delapan juta. Setelah abang hitung, semisal kurang tolong bilang. Kalau cukup simpan baik-baik. Kalau abang sudah tenang, kita segera cari mesjid. Kita shalat Dhuhur. Abang imam saya mak mum, yaa?”
“Iya, iya, eh, nggak boss. Boss saja yang jadi imamnya. Saya jadi makmumnya. Soalnya, saya lagi terharu. Takut, nanti terus nangis, malah sholat saya jadi nggak konsen “
“Yaa, sudah, abang jangan buang air mata te us. Nanti, kalau habis, kan susah belinya. Percuma punya duit kalau kita nggak punya air mata “
“Saya masih kepingin nangis, boss. Sebab, saya benar-benar bahagia. Saya nggak sangka, sete lah ketemu sama boss, Allah malah memberi saya kemudahan dalam menyelesaikan masalah, “ ujar Sabar sambil terus merapikan uang yang sudah dihitungnya
“Bagaimana, sekarang, sudah bisa apa belum jika kita cari mesjid?”
“Sangat bisa, boss. Uangnya, su dah saya hitung. Jumlahnya cukup. Tidak kurang tidak lebih. Sekali lagi, ijinkan saya mengucapkan terima kasih “
“Yaa, sama-sama. Tapi, gue minta sekali lagi, jangan terus-terusan nangis. Ntar di sangka orang, gue habis ngegebukin si abang la gi“
“Sembarangan. Kalau ada yang berani bilang begitu sama boss, biar saya yang ha jar “
“Belagu lu bang. Mengeringkan air mata saja, lu belum bisa. Gimana bisa ngehajar orang? Makanya, lu stop deh tuh tangisan. Te rus kita ke luar, cari mesjid “
Sabar berusaha untuk menghentikan tangisnya. Setelah dengan susah payah, akirnya, ia berhasil nyetop tangisannya. Sabar lalu ngelap air matanya. Baru ia merasa leluasa dan bisa mengeluarkan motor, dari teras rumah, yang harga kontraknya sudah dibayar Bondan


Bersambung



0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXV)"