BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXXII)









oleh: Oesman Ratmadja 


BONDAN baru masuk setelah memberi kesempatan beberapa orang pembezuk ke luar dari ruang nomor 313, yang telah bertemu dan usai membezuk keluarga mereka. Bondan tak menghiraukan suara tangisan dari seorang perempuan di ruangan itu. Ia konsen,mencari Sabar.
Bondan baru menemukan Sabar setelah sampai di ranjang rawat pasien yang terakhir. Sekarang ia tahu, tangisan yang sejak masuk ruangan sudah ia dengar, berasal dari isteri Sa bar.
Yang nangis, tuh, isterinya? Katanya, yang nangis jejoakan pak Sabar. Tau ah, gelap Emang gue pikirin ?”
Bondan hanya bisa ngomong dalam hati.
Ia tidak kesal, dengan kedua pelayan kantin, yang tadi melaporkan pak Sabar nangis gegeru ngan. Bondan menoleh. Pasien dan pengunjung yang ada, menyambut dengan senyum yang me nurut Bondan sangat diada-ada. Senyum kepaksa. Boleh jadi karena sedang dirundung beban, harus bayar rumah sakit.
Senyum seperti itu, tentu saja membuat Bondan, jadi kikuk Juga bingung, karena tak mungkin mengganggu Sabar yang tengah sibuk membujuk isterinya. Kalau isteri Sabar bermen tal baja. Jika bermental krupuk, pasti malu kare na tertangkap sedang menangis sesenggukan oleh Bondan
Sekarang, malah kamu yang sulit saya bujuk. Tadi, sebelum kamu tahu permasalahannya, berkali-kali kamu suruh saya istighfar. Giliran saya yang minta kamu istighfar, bukan dituruti malah nyubit saya terus. Apa, sih, yang harus saya lakukan agar kamu berhenti menangis.
Apa saya harus mencium kamu di muka umum, agar kamu tidak sesenggukan terus mene rus ?”
Enak saja. Saya tuh sama sekali belum minat minta dicium, bang. Apalagi di depan umum”
Lalu apa yang harus saya lakukan agar kamu kamu berhenti menangis?”
Saya kepingin segera bertemu dengan orang itu. Ingin kenal, ingin berterima kasih dan ingin mengatakan, semoga dia selalu dilindungi dan diberkahi oleh Allah. Tapi, kamu, bukannya segera nyusul malah terus membujuk saya “
Tadi sudah saya bilang, kan, agar kamu bersikap saya “
Bilang agar kamu bersikap sabar saja, susah? “
Lhooo, Sabar itu nama, saya, Ni. Jadi, logis, toh, kalau saya bilang kamu bersikap saya?”
Yang logis itu, kamu segera turun. Temui dan ajak boss kemari. Baru saya nggak menangis lagi, seperti yang sudah saya bilang berkali-kali”
Okee. Janji, yaa, kamu nggak nangis lagi”
Aku janji,” kata isteri Sabar.
Sabar segera memenuhi permintaan isterinya. Ariyani bergegas memutar tubuhnya. Niatnya berbalik, ingin menghadap dan melihat apakah Sabar, suaminya, sudah minggat dengan cepat untuk memenuhi permintaannya atau tetap di tempatnya, tanpa bersiap meninggalkan ruangan. 
Saat itulah, Bondan yang sejak tadi berdiri dan tidak mau mengganggu, tersenyum padanya. Senyum yang tak hanya terlihat indah. Tapi juga tertangkap sangat ramah
Ariyani, jelas gelagapan. Maklum, ia baru saja berhenti menangis. Karena tak tahu harus berbuat apa, ia yang sudah menghadap ke suaminya, spontan mendorong Sabar dan memberi isyarat kepada suaminya.
Sabar langsung menoleh. Kini, Sabar melihat jelas, siapa yang berdiri di depan matanya. Sabar gugup setengah mati. Tapi, Bondan malah biasa saja. Malah, menciptakan suasana yang bi sa membuat Sabar bebas dari beban
Su…sudah lama, boss?”
Yaa, kalau di sini, baru dua hari. Di kantin, lama juga, sih. Kayaknya, mungkin sekitar tidak ada seminggu atau kurang dari tujuh hari “
Si Boss bisa saja. Maunya becanda dan nggak pernah mau kelihatan susah “
Ja..ja..jadi…ini…” Ariyani yang tadi malu, gugup, meski makin kelihatan gugup, berusaha bicara.

Bersambung..........

0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXXII)"