oleh: Oesman Ratmadja
BONDAN baru masuk setelah memberi kesempatan beberapa orang pembezuk ke luar dari ruang nomor 313, yang telah bertemu dan usai membezuk keluarga mereka. Bondan tak menghiraukan suara tangisan dari seorang perempuan di ruangan itu. Ia konsen,mencari Sabar.
Bondan
baru menemukan Sabar setelah sampai di ranjang rawat pasien yang
terakhir. Sekarang ia tahu, tangisan yang sejak masuk ruangan sudah
ia dengar, berasal dari isteri Sa bar.
“ Yang
nangis, tuh, isterinya? Katanya, yang nangis jejoakan pak
Sabar. Tau ah, gelap Emang gue pikirin ?”
Bondan
hanya bisa ngomong dalam hati.
Ia
tidak kesal, dengan kedua pelayan kantin, yang tadi melaporkan pak
Sabar nangis gegeru ngan. Bondan menoleh. Pasien dan
pengunjung yang ada, menyambut dengan senyum yang me nurut Bondan
sangat diada-ada. Senyum kepaksa. Boleh jadi karena sedang dirundung
beban, harus bayar rumah sakit.
Senyum
seperti itu, tentu saja membuat Bondan, jadi kikuk Juga bingung,
karena tak mungkin mengganggu Sabar yang tengah sibuk membujuk
isterinya. Kalau isteri Sabar bermen tal baja. Jika bermental krupuk,
pasti malu kare na tertangkap sedang menangis sesenggukan oleh
Bondan
“Sekarang,
malah kamu yang sulit saya bujuk. Tadi, sebelum kamu tahu
permasalahannya, berkali-kali kamu suruh saya istighfar. Giliran saya yang minta kamu istighfar, bukan dituruti malah nyubit saya
terus. Apa, sih, yang harus saya lakukan agar kamu berhenti menangis.
Apa
saya harus mencium kamu di muka umum, agar kamu tidak sesenggukan
terus mene rus ?”
“ Enak
saja. Saya tuh sama sekali belum minat minta dicium, bang. Apalagi di
depan umum”
“Lalu
apa yang harus saya lakukan agar kamu kamu berhenti menangis?”
“Saya
kepingin segera bertemu dengan orang itu. Ingin kenal, ingin
berterima kasih dan ingin mengatakan, semoga dia selalu dilindungi
dan diberkahi oleh Allah. Tapi, kamu, bukannya segera nyusul malah
terus membujuk saya “
“Tadi
sudah saya bilang, kan, agar kamu bersikap saya “
“ Bilang
agar kamu bersikap sabar saja, susah? “
“Lhooo,
Sabar itu nama, saya, Ni. Jadi, logis, toh, kalau saya bilang kamu
bersikap saya?”
“Yang
logis itu, kamu segera turun. Temui dan ajak boss kemari. Baru saya
nggak menangis lagi, seperti yang sudah saya bilang berkali-kali”
“Okee.
Janji, yaa, kamu nggak nangis lagi”
“Aku
janji,” kata isteri Sabar.
Sabar
segera memenuhi permintaan isterinya. Ariyani bergegas memutar
tubuhnya. Niatnya berbalik, ingin menghadap dan melihat apakah
Sabar, suaminya, sudah minggat dengan cepat untuk memenuhi permintaannya atau tetap di tempatnya,
tanpa bersiap meninggalkan ruangan.
Saat itulah, Bondan yang sejak
tadi berdiri dan tidak mau mengganggu, tersenyum padanya. Senyum
yang tak hanya terlihat indah. Tapi juga tertangkap sangat ramah
Ariyani,
jelas gelagapan. Maklum, ia baru saja berhenti menangis. Karena tak
tahu harus berbuat apa, ia yang sudah menghadap ke suaminya, spontan
mendorong Sabar dan memberi isyarat kepada suaminya.
Sabar
langsung menoleh. Kini, Sabar melihat jelas, siapa yang berdiri di
depan matanya. Sabar gugup setengah mati. Tapi, Bondan malah biasa
saja. Malah, menciptakan suasana yang bi sa membuat Sabar bebas dari
beban
“ Su…sudah
lama, boss?”
“Yaa,
kalau di sini, baru dua hari. Di kantin, lama juga, sih. Kayaknya,
mungkin sekitar tidak ada seminggu atau kurang dari tujuh hari “
“Si
Boss bisa saja. Maunya becanda dan nggak pernah mau kelihatan susah “
“Ja..ja..jadi…ini…”
Ariyani yang tadi malu, gugup, meski makin kelihatan gugup, berusaha bicara.
Bersambung..........
0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXXII)"
Posting Komentar