oleh: Oesman Ratmadja
Itu
sebabnya, Sabar tak mau langsung menerima bingkisan yang disodorkan
oleh kedua karyawati kantin rumah sakit
“Pak,
saya hanya melaksanakan amanah. Tadi, pak Bondan yang saat ini masih
ngopi di kantin, memanggil kita berdua. Lalu, menanyakan, apakah
bingkisan yang terpajang di kantin sebatas untuk pajangan atau bisa
dibeli. Setelah saya jelaskan bisa dibeli oleh siapa saja, beliau
minta tolong agar kami segera mengantar bingkisan ini ke pak Sabar.
Beliau
hanya bilang, isteri bapak dirawat di ruang nomor 313. Kata pak
Bondan, kalau bapak tanya beliau di mana, saya harus bilang, beliau
masih di kantin dan sedang asyik ngopi“
“ Bang…kenapa
malah bengong seperti itu? Abang nggak lihat, mereka kelihatan capek
karena sudah bawa bingkisan itu sejak dari lantai satu?”
Mestinya,
tanpa diingatkan siapa pun-termasuk isterinya, Sabar bergegas
menerima bingkisan yang memang dipersembahkan untuk Sabar dan
isterinya. Terlebih, sudah dijelaskan pemberinya: pak Bondan. Hanya,
tak seorang pun yang tahu, mengapa, Sabar, malah langsung ke sudut
ruangan dan membuat semua orang di ruang nomor 313, mendadak jadi
terkejut.
Baru
kali ini, mereka – termasuk isterinya, melihat seseorang, yang
diberi hadiah bingkisan untuk isterinya yang melahirkan, malah
menangis. Meraung-raung.
“ Bang…Bang
Sabar, Istighfar, bang. Istighfar!”
Dari
ranjangnya, Ariyani yang tak boleh banyak bergerak, hanya bisa
meminta dan mengingatkan agar suaminya beristighfar.
Kedua
karyawan kantin, yang juga kaget, segera meletakkan bingkisan di
bawah ranjang Ariyani, dan mereka tak berani menghampiri Sabar, yang
sudah di sudut ruangan, berdiri dengan tubuh merapat ke dinding, dan
terus menangis sesenggukan.
Pasien
lain yang juga sedang dibesuk, makin kaget. Hanya tak bisa berbuat
banyak selain memperhatikan bersama tanda tanya yang bersemaam di
hati mereka. Mereka yang tetap tidak beranjak dari tempat
masing-masing, hanya bisa saling pandang. Seolah olah saling
mengataan, mereka melihat secara langsung dan sesuatu itu adalah
keanehan tapi nyata. Kenyataan yang aneh atau keanehan yang nyata
“Pak..apa
kami salah?”
Karyawan
kantin yang tadi membawa bingkisan peralatan bayi, memberanikan diri
untuk bertanya.
Mendengar
pertanyaan, Sabar yang terus menangis bak bocah, menjawab.
“ Kalian
sama sekali tidak salah. Cuma, kalian tidak tahu, isteri saya pun
tidak tahu, kalau hari ini, saya mendapat begitu banyak limpahan
karunia dari Tuhan. Hari ini, saya memang harus menangis dan hanya
bisa menangis. Sebab, sepanjang hidup saya, baru hari ini, Allah
memper temukan saya dengan hambanya yang berhati mulia. Dia itu
orangnya ikhlas, tau.
Saya
tak pernah meminta apa pun, ia juste ru terus memberi. Memberi..dan
lagi-lagi memberi. Dan, bingkisan ini, adalah pemberiannya yang
kesekian kali. Kalian boleh kaget, boleh tercengang dan boleh menuduh
saya gila, karena di tempat ini, saya memang sedang menangis “
“Bang…istighfar, bang. Istighfar. Abang sudah
mengganggu tata tertib di ruang rawat “
“Kamu
tidak usah suruh-suruh saya. Saya tak bisa tidak menangis, Ani. Sejak
tadi, saya terus menangis. Hanya, kamu tidak tahu. Tidak pernah
mengerti dan tidak paham. Saya bawa makanan pemberian, boss, kamu
malah kesal, malah suruh saya kalau dapat duit harus irit. Saya
lihatkan isi tas pinggang, kamu malah curiga sama saya.
Mestinya,
kamu tanya saya dengan cara baik-baik, lalu, kamu beri saya
kesempatan untuk menjelaskan. Tapi, kamu cuma bisa
memperlihatkan rasa takut. Kuatir tidak bisa bayar biaya perawatan
rumah sakit. Padahal, saya sudah bilang, Allah itu Maha Besar, Maha
Memberi Rezeki. Kenapa kamu malah tidak mengerti? Huhuhuhuhuhu....“
“Pak,
maaf…kami harus bertugas. Kami bedua, permisi dulu, yaa ?”
Karyawan
kantin yang membawa bingkisan buah-buahan, membe ranikan diri untuk
menyela tangisan Sabar. Se bab, ia dan temannya tak mungkin bisa
berlama lama di ruang itu. Bagaimana pun, meraka lebih berpikir
harus segera kembali ke kantin untuk bekerja, timbang berlama-lama
dan akibatnya malah kena tegur atasan.
Sabar
yang sejak tadi menghadap ke din ding, menoleh. Sambil terus
menangis, ia mena tap kedua karyawan kantin. Sesaat kemudian, ia
bergegas membuka resleting tas pinggangnya. Mengambil selembar
ratusan ribu rupiah.
Kedua
karyawan kantin rumah sakit, ma kin bingung, karena Sabar yang terus
menangis menyodorkan uang ke mereka. Isteri Sabar, juga heran, karena
suaminya memberi selembar ra tusan ribu rupiah, tapi ia tak berani
mencegah. Dan keheranan, menjalar ke semua orang yang ada dalam ruang
rawat
“Kalian
tidak boleh pergi, kecuali setelah menerima uang ini “
“Ta..tapi..pak
Sabar. Ta..tadi, pak Bondan sudah memberi kami uang tip “
“Iya,
pak. Tolong ijinkan kami kembali melaksanakan tugas “
Sabar
yang masih sesenggukan, mengham piri dua karyawan, yang tak tahu
harus berbuat apa. Keduanya tercengang, karena dengan gerakan cepat,
Sabar yang masih sesenggukan, memasukkan uang di tangannya ke saku
pakaian salah seorang karyawan kantin.
“ Terima
kasih, kalian telah berbuat baik untuk saya. Silahkan kembali bekerja
“
Setelah
saling pandang, keduanya segera meninggalkan ruang nomor 313. Sabar
kembali ke tempat semula. Terus menangis.
“ Bang…saya
sudah ngerti. Saya sudah paham, kenapa abang nangis. Tolong jangan na
ngis lagi, bang. Bu..bapak..semua yang ada di si ni, maafkan saya dan
suami saya, ya ?”
“Iyaa..nggak
apa-apa, bu. Tadi, kita me mang kaget. Sekarang, sudah nggak apa-apa,
kok. Toh, cuma nangis. Terharu, memang mesti nangis. Itu baru logis.
Kalau marah-marah, baru kita pada gerah. Iya, kan, bu ?
Sabar,
baru sadar, kalau ia baru saja bikin onar. Tapi, ia tidak malu buat
minta maaf.
Dua
satpam, yang muncul mendadak, celi ngak-celinguk. Tentu saja
bingung. Mereka baru saja dapat laporan ada yang bikin gaduh,
nyatanya, ruang nomor 313, sangat kondusif. Sejenak, mereka saling
tatap. Setelah itu, dengan cepat dan tanpa pamit, bergegas
meninggalkan ruangan
Bersambung..........
0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXX)"
Posting Komentar