oleh: Oesman Ratmadja
Isterinya,
yang kenal banget sang suami, tercengang.
Soalnya,
gaya bicara Sabar sangat beda dengan sebelumnya. Begitu pun sikapnya
yang kemarin – bahkan pagi tadi, bingung tapi hari ini sangat
ceria, seolah olah sama sekali tak punya masalah. Padahal, rumah
sakit adalah sumber masalah dan kini mereka berada di sumber
masalah.
Sabar
justeru yakin, isterinya tak akan sempat mengungkap suara hati orang
susah atau gema hati isteri yang sedang kuatir karena suamina hanya
tukang ojek sedang dirinya melahirkan di rumah sakit berbiaya mahal.
Untuk
membuktikan apa yang diharapkannya, Sabar menggeser duduknya dan
setelah mendekat dan duduk di tepian ranjang, Sabar meraih tissue dan
dengan cermat alias sepenuh perhatian, si tukang ojek menghapus air
mata di pipi isterinya
Sang
isteri bukan hepi lalu mengucapkan terima kasih karena sang suami
sangat memperhatikan, malah menganggap suaminya sedang berusaha
mengalihkan perhatian agar tak berpikir tentang kesulitan yang sedang
dihadapi
“Bang…kekuatiran saya
serius.Abang jangan anggap ringan soal biaya rumah sakit. Kalau kita
nggak bisa bayar, yang pasti disandera bukan abang. Tapi saya, tau ?”
“
Tenang saja, Allah itu, kan Maha
Besar. Maha Memberi Rezeki bagi setiap hambanya. Sekarang, lebih baik
kamu nikmati yang abang bawa. Oh, iya, ini makanan enak, lho.
Harganya ? Wooow… di luar jangkauan. Dua hari narik ojek, belum
tentu bisa abang beli “
Sabar
lalu sibuk mengeluarkan bung kusan. Ariyani tak menggubris.
“
Bang…kita butuh uang buat
bayar biaya rumah sakit. Mestinya, dapat duit langsung diirit. Bukan
malah beli makanan mahal “
Sabar
maklum, isterinya tetap kesal karena tak tahu – tepatnya belum
tahu, kalau sang suami sedang berada di puncak kegembiraan. Hanya,
Sabar juga jadi kesal. Bukan pada Ariyani. Tapi, kesal pada dirinya
sendiri. Sebab, malah memilih merahasiakan kabar yang paling
menggembirakan.
Karena
hal itu, Sabar jadi terpikir untuk merapatkan hordeng pemisah antara
pasien satu dengan yang lain, serapat-rapatnya. Ia tak ingin pasien
di sebelah yang juga sedang dibesuk, mengetahui apa yang akan
disampaikan ke isterinya. Ia tak peduli pada Ariyani yang kelihatan
makin kesal karena Sabar tak memperhatikan keluhan isterinya.
Sabar
bergegas mencopot tas pinggang nya.
“Sekarang,
“ kata Sabar, dengan suara berbisik “Kamu lihat apa yang abang
bawa. Setelah itu, tolong jangan mengeluh lagi. Oke ?”
“
Bang... untuk apa saya bilang
oke? Abang kan, tukang ojek. Bukan tukang sulap yang bisa mengubah
kertas kumel jadi setumpuk uang berwarna merah“
“Sssst..suara kamu jangan
keras begitu? Sekarang, begini saja, kamu ambil tas ini, buka, dan
lihat isinya, “ kata Sabar.
Ia
menyarankan sambil menahan suaranya, agar tak terdengar oleh siapa
pun, sebab bisa repot. Terlebih, saat ini ia merasa mendapat
kesulitan untuk menjelaskan. Juga tak mudah menenangkan isterinya
yang wajar jika terus kuatir.
Setelah
itu, Sabar hanya berharap agar isterinya mengerti dan paham dengan
apa yang ia inginkan.
Padahal,
yang diinginkan, ia bisa seperti Bondan, yang kalau melakukan
sesuatu, kesannya sangat biasa saja, seperti halnya air mengalir,
tapi hakekatnya, mampu mendobrak apa yang tersembunyi di relung
jiwa. Membuatnya terharu, dan kemudian menangis sesenggukan karena
apa yang dilakukan Bondang sedemikian sanggup membuatnya terharu,
sekaligus membahagiakan dirinya.
Di
saat seperti itu, begitu nikmat bersyukur pada Sang Pencipta karena
benar-benar merasakan kebesaran, kasih dan sayang NYA. Akankah
Ariyani, isterinya, dapat menikmati hal yang sama, seperti yang
seharian ini ia rasakan dan nikmati karena tak habis habisnya ia
bersyukur kepada Sang Khalik.
Sayangnya,
yang diharapkan Sabar sangat beda. Isterinya justeru memekik kencang.
Pekikan yang tiba tiba menggema, mengagetkan Sabar
“
Baaang…”
Sabar
spontan menoleh kembali ke sang isteri. Ia jelas melihat, isterinya
sama sekali tidak hepi. Ariyani, malah bukan cuma seperti tak
percaya. Tapi juga terlihat sangat curiga.
Padahal,
matanya melihat begitu jelas tumpukan uang yang tersimpan di tas
pinggang kumel, milik Sabar, suaminya, yang sehari hari selalu dibawa
dan melekat di pinggangnya
Bersambung
0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXVIII)"
Posting Komentar