BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXVIII)









oleh: Oesman Ratmadja

Isterinya, yang kenal banget sang suami, tercengang.
Soalnya, gaya bicara Sabar sangat beda dengan sebelumnya. Begitu pun sikapnya yang kemarin – bahkan pagi tadi, bingung tapi hari ini sangat ceria, seolah olah sama sekali tak punya masalah. Padahal, rumah sakit adalah sumber masalah dan kini mereka berada di sumber masalah.
Sabar justeru yakin, isterinya tak akan sempat mengungkap suara hati orang susah atau gema hati isteri yang sedang kuatir karena suamina hanya tukang ojek sedang dirinya melahirkan di rumah sakit berbiaya mahal.
Untuk membuktikan apa yang diharapkannya, Sabar menggeser duduknya dan setelah mendekat dan duduk di tepian ranjang, Sabar meraih tissue dan dengan cermat alias sepenuh perhatian, si tukang ojek menghapus air mata di pipi isterinya
Sang isteri bukan hepi lalu mengucapkan terima kasih karena sang suami sangat memperhatikan, malah menganggap suaminya sedang berusaha mengalihkan perhatian agar tak berpikir tentang kesulitan yang sedang dihadapi
Bang…kekuatiran saya serius.Abang jangan anggap ringan soal biaya rumah sakit. Kalau kita nggak bisa bayar, yang pasti disandera bukan abang. Tapi saya, tau ?”
Tenang saja, Allah itu, kan Maha Besar. Maha Memberi Rezeki bagi setiap hambanya. Sekarang, lebih baik kamu nikmati yang abang bawa. Oh, iya, ini makanan enak, lho. Harganya ? Wooow… di luar jangkauan. Dua hari narik ojek, belum tentu bisa abang beli “
Sabar lalu sibuk mengeluarkan bung kusan. Ariyani tak menggubris.
Bang…kita butuh uang buat bayar biaya rumah sakit. Mestinya, dapat duit langsung diirit. Bukan malah beli makanan mahal “
Sabar maklum, isterinya tetap kesal karena tak tahu – tepatnya belum tahu, kalau sang suami sedang berada di puncak kegembiraan. Hanya, Sabar juga jadi kesal. Bukan pada Ariyani. Tapi, kesal pada dirinya sendiri. Sebab, malah memilih merahasiakan kabar yang paling menggembirakan.
Karena hal itu, Sabar jadi terpikir untuk merapatkan hordeng pemisah antara pasien satu dengan yang lain, serapat-rapatnya. Ia tak ingin pasien di sebelah yang juga sedang dibesuk, mengetahui apa yang akan disampaikan ke isterinya. Ia tak peduli pada Ariyani yang kelihatan makin kesal karena Sabar tak memperhatikan keluhan isterinya.
Sabar bergegas mencopot tas pinggang nya.
Sekarang, “ kata Sabar, dengan suara berbisik “Kamu lihat apa yang abang bawa. Setelah itu, tolong jangan mengeluh lagi. Oke ?”
Bang... untuk apa saya bilang oke? Abang kan, tukang ojek. Bukan tukang sulap yang bisa mengubah kertas kumel jadi setumpuk uang berwarna merah“
Sssst..suara kamu jangan keras begitu? Sekarang, begini saja, kamu ambil tas ini, buka, dan lihat isinya, “ kata Sabar.
Ia menyarankan sambil menahan suaranya, agar tak terdengar oleh siapa pun, sebab bisa repot. Terlebih, saat ini ia merasa mendapat kesulitan untuk menjelaskan. Juga tak mudah menenangkan isterinya yang wajar jika terus kuatir.
Setelah itu, Sabar hanya berharap agar isterinya mengerti dan paham dengan apa yang ia inginkan.
Padahal, yang diinginkan, ia bisa seperti Bondan, yang kalau melakukan sesuatu, kesannya sangat biasa saja, seperti halnya air mengalir, tapi hakekatnya, mampu mendobrak apa yang tersembunyi di relung jiwa. Membuatnya terharu, dan kemudian menangis sesenggukan karena apa yang dilakukan Bondang sedemikian sanggup membuatnya terharu, sekaligus membahagiakan dirinya.
Di saat seperti itu, begitu nikmat bersyukur pada Sang Pencipta karena benar-benar merasakan kebesaran, kasih dan sayang NYA. Akankah Ariyani, isterinya, dapat menikmati hal yang sama, seperti yang seharian ini ia rasakan dan nikmati karena tak habis habisnya ia bersyukur kepada Sang Khalik.
Sayangnya, yang diharapkan Sabar sangat beda. Isterinya justeru memekik kencang. Pekikan yang tiba tiba menggema, mengagetkan Sabar
Baaang…”
Sabar spontan menoleh kembali ke sang isteri. Ia jelas melihat, isterinya sama sekali tidak hepi. Ariyani, malah bukan cuma seperti tak percaya. Tapi juga terlihat sangat curiga.
Padahal, matanya melihat begitu jelas tumpukan uang yang tersimpan di tas pinggang kumel, milik Sabar, suaminya, yang sehari hari selalu dibawa dan melekat di pinggangnya

Bersambung

0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXVIII)"