oleh: Oesman Ratmadja
Sabar kepingin banget
ngejelasin semuanya. Agar boss ngerti, paham. Tapi, Bondan malah
bergegas naik ke motor. Memberi intruksi yang nggak mungkin bisa
ditolak oleh Sabar
“ Cepat
lu jalan. Awas lu yaa, sekali lagi nangis di depan umum, kagak
bakalan lagi gue mau pakai ojek lu “
Mau nggak
mau Sabar harus nahan ke inginan menjelaskan, mengapa ia menangis. Mengapa hari ini ia bisa sampai ke puncak keharuan.
“Hati-hati…Ingat,
gue mau bezuk orang melahirkan di rumah sakit, bukan mau jadi pasien
rumah sakit. Lu ngerti, kan? “
“Pasti
ngerti, boss. Si boss tenang aja. Allah pasti melindungi kita “
Sabar
cepat menyahut. Ia segera me luncur. Menyalakan sein bagian kanan. Ia
tidak jadi berbelok ke kiri, karena tujuan sudah beru bah arah. Buka
ke pangkalan ojek. Tapi, ke ru mah sakit. Membezuk isterinya
Meski Sabar harus
membatalkan dua rencana yang sudah disusunnya, ia malah bisa te rus
tersenyum. Sepanjang jalan, ia konsentrasi. Ia bawa motor, bawa si
boss, bersama kebahagi aannya. Hanya, ia belum menyusun rencana lain,
untuk isterinya. Tapi, jika isterinya menanyakan darimana ia dapat
uang sebesar setengah juta ru piah, Sabar akan menjawab apa adanya.
Seperti air mengalir.
BONDAN
mengajak Sabar yang ia tahu sudah tidak sabar, untuk mampir
sejenak ke kantin rumah sakit yang berada di lantai dasar. Tapi, ia
tidak memaksa Sabar, yang menolak dengan alasan kuatir makanan yang
ia bawa dari rumah makan mewah, nantinya malah basi dan akhirnya
mubazir, jika tidak segera dinikmati oleh isterinya.
“Yaa,
sudah. Lu duluan aja, bang. Nan ti gue nyusul ke atas. Oh iya,
dilantai tiga, kamar nomor 313, kan ? “
“Benar
sekali boss. Saya duluan dan nunggu di atas saja, ya?”
“Oke,
salam buat isteri lu. Gue mau ri lek dulu. Hati-hati “
Bondan
melangkah ke kantin. Sabar yang memang sudah tak sabar, melangkah
tergo poh, menuju lift. Sabar yang tangannya menjin jing tas plastik
warna merah berlogo rumah ma kan mahal, tidak kecewa, ketika sampai
di depan lift, ia tak bisa ikut naik karena lift baru saja ber gerak,
naik ke atas dengan penumpang full.
Karena Sabar
yang memang sudah tidak sabar, tak mau menunggu--meski hanya untuk
beberapa saat, hanya berpikir harus cepat sampai ke lantai tiga,
Rumah Sakit Mahal Itu Indah. Ia tak ingin nyasar ke lantai
lain, karena ruang bersalin hanya di lantai tiga. Selebihnya, adalah
lantai untuk ruang rawat inap pasien non bersalin. Ia bergegas
menyusuri tangga
Sabar yang
baru saja menyusuri anak tangga rumah sakit, meski jelas terengah
engah, sama sekali tak merasa lelah. Begitu sampai ke lantai tiga,
langsung bergegas menuju ruang rawat nomor 313.
Ariyani,
isterinya, memang sangat kelihatan tak sabar menunggu kedatangan
Sabar. Begitu melihat suaminya masuk ke ruangan, Ari yani tak
memperhatikan nafas Sabar yang terse ngal dan tas plastik yang dibawa
suaminya. Setelah menjawab salam, mencium tangan sua minya, Ariyani
yang kuatir suaminya tak mampu membayar biaya rumah sakit, langsung
menge luh.
Sabar
terpaksa lebih ingin mendengar kan keluhan isterinya timbang segera
menyodor kan tas plastik dan merogoh amplop setengah ju ta rupiah
yang niatnya akan langsung diserahkan ke isteri nya.
Meski
begitu, Sabar sama sekali tak tahu apa yang sebenarnya dikeluhkan
Ariyani. Saat isterinya mengeluh, Sabar memang sengaja berpaling,
tapi tersenyum sambil menahan hasrat tertawa. Ia sengaja melakukan
hal itu, agar isterinya tidak tahu kalau datangnya tak sebatas
membezuk. Tapi juga membawa solusi yang paling jitu.
Solusi
yang membebaskan mereka dari beban berat mencari biaya rumah sakit
“ Masih
ada keluhan yang ingin kamu sampaikan?” Tanya Sabar
Bersambung...
0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXVII)"
Posting Komentar