BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXVII)


oleh: Oesman Ratmadja







Sabar kepingin banget ngejelasin semuanya. Agar boss ngerti, paham. Tapi, Bondan malah bergegas naik ke motor. Memberi intruksi yang nggak mungkin bisa ditolak oleh Sabar
“ Cepat lu jalan. Awas lu yaa, sekali lagi nangis di depan umum, kagak bakalan lagi gue mau pakai ojek lu “
Mau nggak mau Sabar harus nahan ke inginan menjelaskan, mengapa ia menangis. Mengapa hari ini ia bisa sampai ke puncak keharuan.
“Hati-hati…Ingat, gue mau bezuk orang melahirkan di rumah sakit, bukan mau jadi pasien rumah sakit. Lu ngerti, kan? “
“Pasti ngerti, boss. Si boss tenang aja. Allah pasti melindungi kita “
Sabar cepat menyahut. Ia segera me luncur. Menyalakan sein bagian kanan. Ia tidak jadi berbelok ke kiri, karena tujuan sudah beru bah arah. Buka ke pangkalan ojek. Tapi, ke ru mah sakit. Membezuk isterinya
Meski Sabar harus membatalkan dua rencana yang sudah disusunnya, ia malah bisa te rus tersenyum. Sepanjang jalan, ia konsentrasi. Ia bawa motor, bawa si boss, bersama kebahagi aannya. Hanya, ia belum menyusun rencana lain, untuk isterinya. Tapi, jika isterinya menanyakan darimana ia dapat uang sebesar setengah juta ru piah, Sabar akan menjawab apa adanya. Seperti air mengalir.
BONDAN mengajak Sabar yang ia tahu sudah tidak sabar, untuk mampir sejenak ke kantin rumah sakit yang berada di lantai dasar. Tapi, ia tidak memaksa Sabar, yang menolak dengan alasan kuatir makanan yang ia bawa dari rumah makan mewah, nantinya malah basi dan akhirnya mubazir, jika tidak segera dinikmati oleh isterinya.
“Yaa, sudah. Lu duluan aja, bang. Nan ti gue nyusul ke atas. Oh iya, dilantai tiga, kamar nomor 313, kan ? “
“Benar sekali boss. Saya duluan dan nunggu di atas saja, ya?”
“Oke, salam buat isteri lu. Gue mau ri lek dulu. Hati-hati “
Bondan melangkah ke kantin. Sabar yang memang sudah tak sabar, melangkah tergo poh, menuju lift. Sabar yang tangannya menjin jing tas plastik warna merah berlogo rumah ma kan mahal, tidak kecewa, ketika sampai di depan lift, ia tak bisa ikut naik karena lift baru saja ber gerak, naik ke atas dengan penumpang full.
Karena Sabar yang memang sudah tidak sabar, tak mau menunggu--meski hanya untuk beberapa saat, hanya berpikir harus cepat sampai ke lantai tiga, Rumah Sakit Mahal Itu Indah. Ia tak ingin nyasar ke lantai lain, karena ruang bersalin hanya di lantai tiga. Selebihnya, adalah lantai untuk ruang rawat inap pasien non bersalin. Ia bergegas menyusuri tangga
Sabar yang baru saja menyusuri anak tangga rumah sakit, meski jelas terengah engah, sama sekali tak merasa lelah. Begitu sampai ke lantai tiga, langsung bergegas menuju ruang rawat nomor 313.
Ariyani, isterinya, memang sangat kelihatan tak sabar menunggu kedatangan Sabar. Begitu melihat suaminya masuk ke ruangan, Ari yani tak memperhatikan nafas Sabar yang terse ngal dan tas plastik yang dibawa suaminya. Setelah menjawab salam, mencium tangan sua minya, Ariyani yang kuatir suaminya tak mampu membayar biaya rumah sakit, langsung menge luh.
Sabar terpaksa lebih ingin mendengar kan keluhan isterinya timbang segera menyodor kan tas plastik dan merogoh amplop setengah ju ta rupiah yang niatnya akan langsung diserahkan ke isteri nya.
Meski begitu, Sabar sama sekali tak tahu apa yang sebenarnya dikeluhkan Ariyani. Saat isterinya mengeluh, Sabar memang sengaja berpaling, tapi tersenyum sambil menahan hasrat tertawa. Ia sengaja melakukan hal itu, agar isterinya tidak tahu kalau datangnya tak sebatas membezuk. Tapi juga membawa solusi yang paling jitu.
Solusi yang membebaskan mereka dari beban berat mencari biaya rumah sakit
“ Masih ada keluhan yang ingin kamu sampaikan?” Tanya Sabar


Bersambung...

0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XXVII)"