oleh:Oesman Ratmadja...
Mbok Sinem tak menyahut.
Ia diam tapi matanya memperhatikan dengan tajam, ke arah putra
majikannya yang ia yakini akan curhat. Dugaan si Mbok sama sekali tak
keliru. Tanpa ragu Bondan bersuara, mengatakan apa yang ingin
diungkapkannya.
“Saya bukan
tak ingin terus menerus jadi pemabuk mbok. Sebab, ketika mabuk,
pasti ada yang saya dapatkan. Hanya, tidak seperti yang saya
harapkan. Bukan tak per nah bahagia. Tapi selalu hanya sesaat.
Setelah itu, mabuk lagi, begadang lagi, nguber abg lagi. Nggak ada
habis-habisnya. Hanya dari itu ke itu. Saya jadi seperti manusia
yang tidak punya tujuan hidup, mbok. Makanya, tolong do’akan
saya,ya, mbok. Sebab, memang sangat berat, menyulitkan, dan kalau
tidak benar-benar nekad, saya tak mungkin sanggup mbok. Tapi, saya
akan terus berusaha semaksimal mungkin saya “
“ Si mbok pasti
mendoakan, den, “ sahut Mbok Sinem yang nampaknya malah merasa
dibelenggu perasaan haru. “ Dan, “ lanjut mbok Sinem yang tanpa
sadar, sulit menahan sesenggukan
“Tentu saja si
mbok bersyukur. Dan jika den Bondan memang ingin berjuang, artinya
den Bondan sayang pada diri aden sendiri. Sayang pada keluarga dan
huhuhuhu “
Bondan tak jadi
mereguk kopinya. Bukan merasa ter ganggu oleh sesenggukan si mbok.
Ia hanya merasakan sesuatu yang ujudnya bukan gangguan. Ia tak bisa
menyebutkan. Hanya, sama sekali tak mengira, jika mbok Sinem yang
lugu, yang kerap kali ia suruh membohongi orangtuanya, yang hanya
berstatus pembantu,justeru mem perlihatkan perhatian saat ia memang
sangat membutuh kannya.
Bondan bangkit dari
kursinya. Menghampiri mbok Si nem. Tanpa ragu, tanpa jengah dan tanpa
merasa posisi nya berbeda, Bondan memeluk mbok Sinem
“ Mbok nggak
boleh nangis. Menangis itu cengeng Saya paling nggak suka, lho,
melihat kecengengan,” ujar Bondan. Kalimat yang mengalir dari
bibirnya, tentu beda dengan kata hatinya. Kalimat dari bibir, hanya
untuk mem bujuk agar mbok Sinem tidak sesenggukan. Sedangkan suara
yang bergemuruh dari batin, sangat beda.
Itu sebabnya,
Bondan tak kuat menahan air mata yang mengalir dengan begitu saja.
Menetes dan jatuh dikedua pipinya. Bondan juga tak bisa menahan rasa
haru yang membelai dirinya. Keharuan yang indah. Baru kali ini ia
menikmatinya. Bukan karena ayah-ibunya. Tapi, karena tulusnya
perhatian mbok Sinem.Membuat Bondan juga harus sesenggukan
“ Si mbok bukan
cengeng, den. Tapi, jangan larang si mbok menangis, jika aden
sendiri, malah ikut-ikutan si mbok menangis. Dan, kalau perempuan tak
boleh cengeng, lelaki lebih tak boleh cengeng, den. Karena memang tak
pantas, lelaki menangis “
“Saya tidak
sedang menangis, mbok. Saya hanya terha ru, Selama ini, saya tidak
pernah perhatian pada si mbok Kasih bonus hanya karena si mbok
bersedia cipoain ayah dan ibu. Ternyata, si mbok melakukan intruksi
saya karena sayang sama saya. Selalu memperhatikan saya “
“Si mbok juga
bukan sedang menangis. Hanya, terharu, seperti aden. Si mbok
menyangka, den Bondan tidak bisa berubah“ si mbok menatap Bon dan.
Lalu, mempererat pelukan. Ia tak malu melakukan hal demikian. Ia
merasa seperti memeluk anak kandung nya. Padahal, Bonan anak
majikannya.
“ Ternyata…”
ujar si mbok kemudian “ Oooh Tuhan, den Bondan tak lagi seperti
kemarin-kemarin. Mbok bang ga, den. Senang karena aden bisa”.
Bondan membiarkan si
mbok Sinem memeluknya sede mikian erat. Membiarkan si mbok terus
sesenggukan. Ta pi, Bondan tak ingin larut dalam keharuan. Ia biarkan
mbok Sinem menangis, tapi ia tak ingin membiarkan diri nya, terus dan
ikut larut dalam tangis
Seketika ia
merasakan, pelukan erat dan tulus si mbok Sinem,mengalirkan sesuatu
yang dia tak tahu apa,tapi membatnya merasa tentram. Ada degup dalam
diri mbok Sinem, dan degup yang bunyi detaknya terasa cepat, mem
buat Bondan terkesiap.
“ Aaah, kalau
saja ia ibu saya Dan kerap memeluk sa ya seperti ini, betapa
indahnya hari-hari yang akan saya lalu. Tuhan dimana dan mengapa ibu
saya ada tapi tak pernah mengalirkan kasih sayangnya ” Batin Bondan
bergemuruh. Tanda tanya berhamburan
Tiba-tiba, Bondan
jadi mendadak rindu pada ibu. Ibu yang tak pernah berbincang, tak
pernah membangunkan, tak pernah marah atau menasihatinya. Tapi, rindu
yang bergemuruh di dada pada ibunda, lupa pada apa yang tak pernah
diberikan pada Bonda,.
Bondan hanya
melihat ada senyum ibunya yang indah. Senyum tulus untuk Bondan, yang
memang sangat ingin menikmatinya. Bersamaan dengan itu, Bondan juga
menikmati indahnya pelukan erat ibu, yang menghangat kan. Kalau saja
kerinduan yang tiba-tiba menelisik ke hati Bondan, jadi kenyataan,
barangkali ia akan bertam bah kuat.
Aah, mengapa yang
kini ia rasakan hanya sebatas pelukan hangat si mbok, bukan pelukan
ibunya. Mengapa degup yang menenangkan, mengalir dari tubuh si mbok,
bukan dari ibunya.
Bondan jadi
kepingin merasakan hangatnya pelukan ibu. Ibu Susilawati, yang selama
sembilan bulan mengan dung.Yang saat melahirkan Bondan berjuang
antara hidup dan mati, demi buah hati yang dicintai..
Dimanakah ibu, dan
mengapa ia membiarkan saya sendirian di rumah besar dan mewah,
tanpa tatapan mata indahnya yang sebening air pegunungan, tanpa peluk
mes ranya yang menghangatkan, tanpa wejangan mulianya yang
menyejukkan.
“ Ibuuuuuu “
Bersambung …...
0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (X)"
Posting Komentar