oleh: Oesman Ratmadja
Raungan
sirene ambulan yang memekakkan telinga, entah sekedar menyuarakan
permintaan agar diberi keleluasaan untuk melaju dengan kencang, atau
sekaligus menyuarakan duka cita, tak lama kemudian menghilang.
Massa yang berkerumun tak ada yang ingin berkomentar.
Evakuasi berlangsung lancar dan berjalan dengan cepat.
Seperti halnya ketiga mobil ambulan, yang dengan begitu cepat
bergerak beriringan. Entah menuju rumah sakit terjauh atau rumah
sakit terdekat . Yang jelas, mereka hanya bisa memandang. Setelah
ambulan lenyap dari pandangan mata, massa -satu persatu, meninggalkan
lokasi kejadian.
Dua petugas polantas nampak sibuk melaksanakan tugas. Mengatur
kembali agar ke macetan segera teratasi. Seorang lagi, sibuk ber
komunikasi, sampai akhirnya, ia memberi aba-aba pada pengemudi mobil
derek agar leluasa me laksanakan tugasnya. Membawa mobil sedan me wah
yang rusak berat ke kantor polisi. Dan mobil boks besar, yang juga
diderek ke tempat yang sama.
Bondan terbangun. Kondisi tubuhnya belum pulih. Jauh dari segar.
Memang sangat ken tara, jika Bondan masih lemas. Tapi suhu tubuh nya
sudah berubah. Tidak lagi panas, seperti sebelum dikompres. Bondan
baru ingin memang gil mbok Sinem. Tapi, saat ia menoleh ke pintu
kamar, matanya menangkap sosok mbok Sinem, yang pantatnya terduduk di
lantai, kepalanya tersandar ke tempat tidur Bondan.
Bondan membatalkan niat, memanggil mbok Sinem. Meski tubuhnya masih
terasa le mas, Bondan meraih bantal. Dan perlahan ia menggerakkan
tubuhnya ke tepian ranjang. Dengan sangat hati-hati, Bondan meraih
bahu mbok Si nem. Meski perlahan, ia bisa menarik tubuh si mbok, yang
sedemikian lelap. Bondan melihat ruang yang cukup, untuk menempatkan
batal empuk ke sisi bagian bawah ranjangnya.
Bondan
sempat terengah-engah. Tapi, kepala si mbok sudah bersandar ke bantal
empuk. Membuatnya lega. Terlebih, mbok Sinem terlihat sangat letih.
Begitu lelapnya, hingga tak terbangun saat Bondan mengangkatnya.
Bondan menatap sejenak wajah mbok Sinem yang terus lelap karena lelah
menjaga dan mengurusnya.
Bondan
melihat jam tangannya. Ia terpana. Hampir jam enam. Sudah jelang
maghrib. Bondan menguatkan diri, melangkah ke kamar mandi. Meski
perlahan, ia bisa melangkah ke kamar mandi. Tapi, niatnya masuk
terhambat. Ia mendengar jelas suara, si mbok.
“ Deeeen…
Maaf…mbok tertidur. Biar si mbok membantu memapah”
Bondan menoleh.
Melihat si mbok bergegas berdiri. Meletakkan bantal ke ranjang nya.
Menghampiri Bondan dengan tergesa. Tapi, Bondan menolak keinginan
mbok Sinem, yang ingin membantu memapahnya ke dalam kamar mandi yang
hanya tiga meter dari ranjangnya
“Mbook…biar
saya sendiri saja. Saya sudah kuat, kok. “
“Tapi, den,”
mbok kuatir dan merasa tidak enak.”
“Mbok…sebaiknya
si mbok istirahat. Jika tidak mau istirahat, tolong bikinkan kopi
susu untuk saya. Si mbok harus percaya, saya sudah tidak apa apa.
Coba pegang, tubuh saya sudah tak panas lagi, kan?”
Bondan, meraih
tangan si mbok, mena rik nya. Menempelkannya ke sekujur leher Bondan.
Juga ke keningnya.
“ Si mbok
percaya, kan, kalau saya sudah sehat?” Kata Bondan, tentu saja ia
meyakinkan, karena tahu, si Mbok terlihat kuatir dan sekaligus merasa
bersalah, telah melalaikan tugasnya. Tetap tertidur, saat den Bondan
terbangun.
“ Sekalian si mbok
bikinkan roti bakar, ya?” Mbok Sinem benar-benar sudah nampak lega.
Bukan baru saja selamat dari rasa bersalah.Tapi, sikap den Bondan
membuatnya lega.
Si
mbok tahu, den Bondan sengaja meraih tangan si mbok. Selain
menjelaskan tubuhnya sudah tidak panas lagi, sekaligus menenangkan
hati si Mbok. Bondan tahu, si mbok kuatir karena hal apa. Namun, tak
ia ungkapkan. Bondan malah menenangkan diri si mbok Sinem dengan
cara, yang membuat Mbok Sinem jadi tenang. Jadi lega.
Si
mbok Sinem bergegas ke luar dari kamar Bondan, setelah Bondan
merapatkan pintu kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Sambil
melangkah ke dapur, tak henti-hentinya si mbok bergumam. Ia berdoa
untuk Bondan.
“
Duuuh Gusti yang Maha Agung, sehatkan dan kuatkan den Bondan “
Bondan menikmati
tubuhnya yang kuyup oleh guyuran air hangat dari shower. Tangannya
sibuk berge rak, ke sana kemari. Menggosok punggung, perut, ketiak,
dan tubuh lainnya, dengan sabun cair. Ia lalu meraih shampoo. Mencuci
rambutnya yang gondrong. Bondan tak hanya merasakan hangatnya air
yang mengucur dari shower. Tapi, juga merasakan segar. Dengan mandi
air hangat, ia merasa sudah seperti sediakala, sudah pulih. Sudah
sehat
“
Den..kopi susu dan roti bakarnya sudah di meja. Si mbok permisi dulu.
Mau ke warung, beli gas. “
Kalau
saja Bondan tak mendengar suara si mbok, Bondan yang baru saja
mematikan kran shower air panas, berniat lebih lama di kamar mandi.
Ia tak perlu bergegas mengeringkan tubuh dengan handuk. Toh, belum
mendengar gema azan Maghrib.
Bondan
bergegas meraih handuk dan melilitkan handuk warna hijau di tubuhnya.
Ia segera ke luar kamar mandi. Ke luar kamar tidur. Karena tak
melihat sosok si mbok, Bondan berteriak. Memanggil .
“
Mbooook…tunggu “
Bondan
tak banyak berharap, Ia mengira mbok Sinem sudah ke luar untuk ke
warung, membeli gas. Perlahan ia kembali ke kamar. Mengambil celana
dalam. Celana pendek dan t’shirt. Ia bergegas mengenakan celana
dalamnya, karena mendengar suara langkah mendekat. Untung, saat
pintuk diketuk, ia sudah memakai celana pendek.
“
Masuk, mbok “
Begitu
masuk ke kamar, mbok Sinem yang melihat Bondan sibuk memakai kaos,
menunggu sejenak. Ia baru bertanya setelah melihat Bondan sudah rapi
memakai kaos, yang bagian depanya tertulis. Gantung Koruptor. Di
bawah tulisan, dua orang duduk di dahan. Tangannya memegang dan
dalam posisi siap menarik tubuh koruptor, yang lehernya sudah dijerat
dengan tambang besar
Bersambung
0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XV)"
Posting Komentar