BONDAN DAN TUKANG OJEK (XV)

oleh: Oesman Ratmadja


    Raungan sirene ambulan yang memekakkan telinga, entah sekedar menyuarakan permintaan agar diberi keleluasaan untuk melaju dengan kencang, atau sekaligus menyuarakan duka cita, tak lama kemudian menghilang.
Massa yang berkerumun tak ada yang ingin berkomentar.
Evakuasi berlangsung lancar dan berjalan dengan cepat.
Seperti halnya ketiga mobil ambulan, yang dengan begitu cepat bergerak beriringan. Entah menuju rumah sakit terjauh atau rumah sakit terdekat . Yang jelas, mereka hanya bisa memandang. Setelah ambulan lenyap dari pandangan mata, massa -satu persatu, meninggalkan lokasi kejadian.
Dua petugas polantas nampak sibuk melaksanakan tugas. Mengatur kembali agar ke macetan segera teratasi. Seorang lagi, sibuk ber komunikasi, sampai akhirnya, ia memberi aba-aba pada pengemudi mobil derek agar leluasa me laksanakan tugasnya. Membawa mobil sedan me wah yang rusak berat ke kantor polisi. Dan mobil boks besar, yang juga diderek ke tempat yang sama.
Bondan terbangun. Kondisi tubuhnya belum pulih. Jauh dari segar. Memang sangat ken tara, jika Bondan masih lemas. Tapi suhu tubuh nya sudah berubah. Tidak lagi panas, seperti sebelum dikompres. Bondan baru ingin memang gil mbok Sinem. Tapi, saat ia menoleh ke pintu kamar, matanya menangkap sosok mbok Sinem, yang pantatnya terduduk di lantai, kepalanya tersandar ke tempat tidur Bondan.
Bondan membatalkan niat, memanggil mbok Sinem. Meski tubuhnya masih terasa le mas, Bondan meraih bantal. Dan perlahan ia menggerakkan tubuhnya ke tepian ranjang. Dengan sangat hati-hati, Bondan meraih bahu mbok Si nem. Meski perlahan, ia bisa menarik tubuh si mbok, yang sedemikian lelap. Bondan melihat ruang yang cukup, untuk menempatkan batal empuk ke sisi bagian bawah ranjangnya.
Bondan sempat terengah-engah. Tapi, kepala si mbok sudah bersandar ke bantal empuk. Membuatnya lega. Terlebih, mbok Sinem terlihat sangat letih. Begitu lelapnya, hingga tak terbangun saat Bondan mengangkatnya. Bondan menatap sejenak wajah mbok Sinem yang terus lelap karena lelah menjaga dan mengurusnya.
Bondan melihat jam tangannya. Ia terpana. Hampir jam enam. Sudah jelang maghrib. Bondan menguatkan diri, melangkah ke kamar mandi. Meski perlahan, ia bisa melangkah ke kamar mandi. Tapi, niatnya masuk terhambat. Ia mendengar jelas suara, si mbok.
“ Deeeen… Maaf…mbok tertidur. Biar si mbok membantu memapah”
Bondan menoleh. Melihat si mbok bergegas berdiri. Meletakkan bantal ke ranjang nya. Menghampiri Bondan dengan tergesa. Tapi, Bondan menolak keinginan mbok Sinem, yang ingin membantu memapahnya ke dalam kamar mandi yang hanya tiga meter dari ranjangnya
“Mbook…biar saya sendiri saja. Saya sudah kuat, kok. “
“Tapi, den,” mbok kuatir dan merasa tidak enak.”
“Mbok…sebaiknya si mbok istirahat. Jika tidak mau istirahat, tolong bikinkan kopi susu untuk saya. Si mbok harus percaya, saya sudah tidak apa apa. Coba pegang, tubuh saya sudah tak panas lagi, kan?”
Bondan, meraih tangan si mbok, mena rik nya. Menempelkannya ke sekujur leher Bondan. Juga ke keningnya.
“ Si mbok percaya, kan, kalau saya sudah sehat?” Kata Bondan, tentu saja ia meyakinkan, karena tahu, si Mbok terlihat kuatir dan sekaligus merasa bersalah, telah melalaikan tugasnya. Tetap tertidur, saat den Bondan terbangun.
“ Sekalian si mbok bikinkan roti bakar, ya?” Mbok Sinem benar-benar sudah nampak lega. Bukan baru saja selamat dari rasa bersalah.Tapi, sikap den Bondan membuatnya lega.
Si mbok tahu, den Bondan sengaja meraih tangan si mbok. Selain menjelaskan tubuhnya sudah tidak panas lagi, sekaligus menenangkan hati si Mbok. Bondan tahu, si mbok kuatir karena hal apa. Namun, tak ia ungkapkan. Bondan malah menenangkan diri si mbok Sinem dengan cara, yang membuat Mbok Sinem jadi tenang. Jadi lega.
Si mbok Sinem bergegas ke luar dari kamar Bondan, setelah Bondan merapatkan pintu kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Sambil melangkah ke dapur, tak henti-hentinya si mbok bergumam. Ia berdoa untuk Bondan.
“ Duuuh Gusti yang Maha Agung, sehatkan dan kuatkan den Bondan “
Bondan menikmati tubuhnya yang kuyup oleh guyuran air hangat dari shower. Tangannya sibuk berge rak, ke sana kemari. Menggosok punggung, perut, ketiak, dan tubuh lainnya, dengan sabun cair. Ia lalu meraih shampoo. Mencuci rambutnya yang gondrong. Bondan tak hanya merasakan hangatnya air yang mengucur dari shower. Tapi, juga merasakan segar. Dengan mandi air hangat, ia merasa sudah seperti sediakala, sudah pulih. Sudah sehat
“ Den..kopi susu dan roti bakarnya sudah di meja. Si mbok permisi dulu. Mau ke warung, beli gas. “
Kalau saja Bondan tak mendengar suara si mbok, Bondan yang baru saja mematikan kran shower air panas, berniat lebih lama di kamar mandi. Ia tak perlu bergegas mengeringkan tubuh dengan handuk. Toh, belum mendengar gema azan Maghrib.
Bondan bergegas meraih handuk dan melilitkan handuk warna hijau di tubuhnya. Ia segera ke luar kamar mandi. Ke luar kamar tidur. Karena tak melihat sosok si mbok, Bondan berteriak. Memanggil .
“ Mbooook…tunggu “
Bondan tak banyak berharap, Ia mengira mbok Sinem sudah ke luar untuk ke warung, membeli gas. Perlahan ia kembali ke kamar. Mengambil celana dalam. Celana pendek dan t’shirt. Ia bergegas mengenakan celana dalamnya, karena mendengar suara langkah mendekat. Untung, saat pintuk diketuk, ia sudah memakai celana pendek.
“ Masuk, mbok “
Begitu masuk ke kamar, mbok Sinem yang melihat Bondan sibuk memakai kaos, menunggu sejenak. Ia baru bertanya setelah melihat Bondan sudah rapi memakai kaos, yang bagian depanya tertulis. Gantung Koruptor. Di bawah tulisan, dua orang duduk di dahan. Tangannya memegang dan dalam posisi siap menarik tubuh koruptor, yang lehernya sudah dijerat dengan tambang besar


Bersambung

0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XV)"