Cerita bersambung
“ Ada apa, sih, nelpon
saya sampai berkali kali….maaf…maaf… saya jadi sangat tergang
gu, tau…..
Aaaah, baru
diserang demam saja ngerepotin….
Mboook Bondan tuh
sudah besar. Dia kan bisa pergi ke dokter. Kalau perlu dirawat,
telpon ambulan dan bawa ke rumah sakit ….
Apa ?
Aaaah…bilang sama dia, buat apa manggil manggil saya. Bapaknya,
kan, ada dan tiap saat bisa dihubungi…… Dengar baik-baik, ya
mbok. Sekarang, cepat si mbok hubungi ayahnya. Bilang sama ndoro
Sadewa, anak ndoro sakit karena rindu kasih sayang ayahnya. Selama
ia sakit, yang diinginkan hanya satu, ditemani dan dijaga oleh
ayahnya…..
Awas, si mbok
jangan cuma bilang iya, iya dan iya. Hubungi secepatnya dan tolong
katakan, ndoro Susilawati akan menggugat jika dia tak mau menemani
dan menjaga anaknya yang sedang sakit……
Apa ? Si mbok
jangan macam-macam, yaa?! Awas, kalau si mbok tidak berani sampaikan
permintaan saya, harus berani tanggung risikonya…..
Aaaah..sudah. Pokoknya, jangan berani berani lagi nelepon, saat saya
sedang istirahat. Dan bilang sama Bondan, jangan jadi lelaki cengeng.
Anak lelaki itu harus kuat. Kalau mau hidup harus siap menerima
kenyataan dan tidak perlu menyalahkan siapa-siapa…..
Naah,
begitu, dong. Si mbok memang harus ngerti. Orang yang sudah tua itu,
harus lebih mengerti. ….
Yaa, sudah.
Syukur kalau si mbok maklum “
Susilawati
menutup hapenye. Ngedumel sendirian.
“ Baru
demam, bukan ke dokter malah minta ibunya pulang. Kenapa anak itu
jadi mendadak cengeng, sih? Apa dia nggak tau , kalau ibunya lebih
menderita? Apa dia nggak mikir, aku bukan pembantu? “
Entah kenapa
Susilawati jadi kelihatan begitu kesal. Entah kenapa Susilawati jadi
tak suka pada Bondan, anak kandungnya, yang sungguh sungguh sangat
merindukan kehadiran ibunya.
“
Tante…mana kopi panas saya?”
Kalau saja
Susilawati tak mendengar suara lelaki yang berteriak dari dalam
rumah, ia tak bergegas beranjak dari tempat duduknya, di kursi taman,
halaman rumahnya.
“Pagi-pagi,
bukannya mempercantik wajah, lalu sediakan saya kopi dan sarapan pagi
untuk kita berdua, malah termangu dan cemberut. Ada apa sih,
tiba-tiba saja tante jadi seperti pemain lenong yang habis mentas
tapi honornya nggak dibayar ?”
Johan, anak
muda sekitar 30 tahunan, yang hanya bercelana pendek, langsung
menegur Susilawati yang baru saja masuk ke ruang tamu.
“ Apa kamu
bilang ? “
Johan, yang
dadanya bidang, dengan bulu berham buran di sekujur dadanya,
tercengang. Ia tak menyangka, Susilawati yang belum lama berselang
menggelinjang tak ada habisnya, terus mengetatkan pelukan dan tak
habis habisnya mengumbar senyumannya yang merangsang, berkali-kali
melenguh tiap merasakan nikmat yang ia berikan , dan selalu
mengucapkan kalimat yang sama :
“Terima
kasih, Johan. Hanya kamu yang cerdas dalam memberi kepuasaan dan
membahagiakan tante, “ dengan suara indah dan sikapnya yang begitu
mesra sam bil mengelap keringatnya yang membanjiri tubuhnya,
menanggapi candanya dengan emosional.
“Kalau aku
tanya, kamu harus cepat jawab. Jangan berlagak tidak merasa bersalah
?”
“Maksud
saya, kan, cuma kepingin bercanda, tante. Tidak ada maksud lain
kecuali ingin membuat suasana lebih indah. Agar kita tetap hepi “
Johan,
segera menyahut. Tapi, kalimat yang terucap, jauh panggang dari api.
Sama sekali tidak asli. Jauh dari kejujuran. Terus terang, jika
melepas kata-kata yang terbersit dihati, bisa jadi bensin dan
membakar emosi Ia kuatir suasana jadi kisruh. Sebab, Johan melihat
emosi tante Susilawati sudah tersulut. Entah karena apa dan oleh
siapa.
Johan
memilih mengalah, karena kuatir, tante Susilawati membatalkan
kesediaannya memberi bayaran lebih. Johan tak ingin permintaannya
yang telah disanggupi malah lantas diingkari, karena setelah berhasil
memberi kepuasan di ranjang, dinilai gagal memberi kepuasan diluar
ranjang
Hal itu,
yang memaksa Johan berkata tidak jujur, Mestinya, yang ia bilang
seperti ini.
“ Saya, kan,
sudah kehabisan energi karena semua stock yang ada, sudah saya
salurkan untuk membakar hasrat tante. Masa’ mau ngopi dan sarapan
agar dapat mengembalikan energi yang hilang, harus minta. Mestinya,
kan, seperti biasa, sudah tersedia. Urusan tante yang meminta kepada
pelayan villa “
“ Ingat,
yaa, Johan. Lain kali, silahkan becanda. Tapi, jangan ketika saya
sedang kesal. Kalau kamu tidak suka saya ingatkan, sekarang juga,
kamu saya persilahkan pergi dari villa saya. Toh, saya tidak pernah
sulit mencari pengganti kamu. Kapan saja saya perlu gigolo, hanya
tinggal menelpon, dan yang jauh lebih hebat dari kamu bisa dengan
mudah saya dapatkan “
“ Sorri,
tante. Saya tidak tau kalau tante sedang kesal. Saya sungguh-sungguh
minta maaf, tante “
Johan yang
kuatir honornya tidak dibayar, ingat kedua anaknya yang perlu biaya
sekolah. Ingat isterinya yang kerap didatangi tetangga, mereka sama
dengan tukang kredit barang yang juga datang untuk tujuan yang sama
: menagih cicilan barang yang diambil isterinya, dengan atau tanpa
sepengetahuannya
Bersambung
0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XII)"
Posting Komentar