BONDAN DAN TUKANG OJEK (XII)


Cerita bersambung


“ Ada apa, sih, nelpon saya sampai berkali kali….maaf…maaf… saya jadi sangat tergang gu, tau…..
Aaaah, baru diserang demam saja ngerepotin….
Mboook Bondan tuh sudah besar. Dia kan bisa pergi ke dokter. Kalau perlu dirawat, telpon ambulan dan bawa ke rumah sakit ….
Apa ? Aaaah…bilang sama dia, buat apa manggil manggil saya. Bapaknya, kan, ada dan tiap saat bisa dihubungi…… Dengar baik-baik, ya mbok. Sekarang, cepat si mbok hubungi ayahnya. Bilang sama ndoro Sadewa, anak ndoro sakit karena rindu kasih sayang ayahnya. Selama ia sakit, yang diinginkan hanya satu, ditemani dan dijaga oleh ayahnya…..
Awas, si mbok jangan cuma bilang iya, iya dan iya. Hubungi secepatnya dan tolong katakan, ndoro Susilawati akan menggugat jika dia tak mau menemani dan menjaga anaknya yang sedang sakit……
Apa ? Si mbok jangan macam-macam, yaa?! Awas, kalau si mbok tidak berani sampaikan permintaan saya, harus berani tanggung risikonya…..
Aaaah..sudah. Pokoknya, jangan berani berani lagi nelepon, saat saya sedang istirahat. Dan bilang sama Bondan, jangan jadi lelaki cengeng. Anak lelaki itu harus kuat. Kalau mau hidup harus siap menerima kenyataan dan tidak perlu menyalahkan siapa-siapa…..
Naah, begitu, dong. Si mbok memang harus ngerti. Orang yang sudah tua itu, harus lebih mengerti. ….
Yaa, sudah. Syukur kalau si mbok maklum “
Susilawati menutup hapenye. Ngedumel sendirian.
“ Baru demam, bukan ke dokter malah minta ibunya pulang. Kenapa anak itu jadi mendadak cengeng, sih? Apa dia nggak tau , kalau ibunya lebih menderita? Apa dia nggak mikir, aku bukan pembantu? “
Entah kenapa Susilawati jadi kelihatan begitu kesal. Entah kenapa Susilawati jadi tak suka pada Bondan, anak kandungnya, yang sungguh sungguh sangat merindukan kehadiran ibunya.
“ Tante…mana kopi panas saya?”
Kalau saja Susilawati tak mendengar suara lelaki yang berteriak dari dalam rumah, ia tak bergegas beranjak dari tempat duduknya, di kursi taman, halaman rumahnya.
“Pagi-pagi, bukannya mempercantik wajah, lalu sediakan saya kopi dan sarapan pagi untuk kita berdua, malah termangu dan cemberut. Ada apa sih, tiba-tiba saja tante jadi seperti pemain lenong yang habis mentas tapi honornya nggak dibayar ?”
Johan, anak muda sekitar 30 tahunan, yang hanya bercelana pendek, langsung menegur Susilawati yang baru saja masuk ke ruang tamu.
“ Apa kamu bilang ? “
Johan, yang dadanya bidang, dengan bulu berham buran di sekujur dadanya, tercengang. Ia tak menyangka, Susilawati yang belum lama berselang menggelinjang tak ada habisnya, terus mengetatkan pelukan dan tak habis habisnya mengumbar senyumannya yang merangsang, berkali-kali melenguh tiap merasakan nikmat yang ia berikan , dan selalu mengucapkan kalimat yang sama :
“Terima kasih, Johan. Hanya kamu yang cerdas dalam memberi kepuasaan dan membahagiakan tante, “ dengan suara indah dan sikapnya yang begitu mesra sam bil mengelap keringatnya yang membanjiri tubuhnya, menanggapi candanya dengan emosional.
“Kalau aku tanya, kamu harus cepat jawab. Jangan berlagak tidak merasa bersalah ?”
“Maksud saya, kan, cuma kepingin bercanda, tante. Tidak ada maksud lain kecuali ingin membuat suasana lebih indah. Agar kita tetap hepi “
Johan, segera menyahut. Tapi, kalimat yang terucap, jauh panggang dari api. Sama sekali tidak asli. Jauh dari kejujuran. Terus terang, jika melepas kata-kata yang terbersit dihati, bisa jadi bensin dan membakar emosi Ia kuatir suasana jadi kisruh. Sebab, Johan melihat emosi tante Susilawati sudah tersulut. Entah karena apa dan oleh siapa.
Johan memilih mengalah, karena kuatir, tante Susilawati membatalkan kesediaannya memberi bayaran lebih. Johan tak ingin permintaannya yang telah disanggupi malah lantas diingkari, karena setelah berhasil memberi kepuasan di ranjang, dinilai gagal memberi kepuasan diluar ranjang
Hal itu, yang memaksa Johan berkata tidak jujur, Mestinya, yang ia bilang seperti ini.
“ Saya, kan, sudah kehabisan energi karena semua stock yang ada, sudah saya salurkan untuk membakar hasrat tante. Masa’ mau ngopi dan sarapan agar dapat mengembalikan energi yang hilang, harus minta. Mestinya, kan, seperti biasa, sudah tersedia. Urusan tante yang meminta kepada pelayan villa “
“ Ingat, yaa, Johan. Lain kali, silahkan becanda. Tapi, jangan ketika saya sedang kesal. Kalau kamu tidak suka saya ingatkan, sekarang juga, kamu saya persilahkan pergi dari villa saya. Toh, saya tidak pernah sulit mencari pengganti kamu. Kapan saja saya perlu gigolo, hanya tinggal menelpon, dan yang jauh lebih hebat dari kamu bisa dengan mudah saya dapatkan “
“ Sorri, tante. Saya tidak tau kalau tante sedang kesal. Saya sungguh-sungguh minta maaf, tante “
Johan yang kuatir honornya tidak dibayar, ingat kedua anaknya yang perlu biaya sekolah. Ingat isterinya yang kerap didatangi tetangga, mereka sama dengan tukang kredit barang yang juga datang untuk tujuan yang sama : menagih cicilan barang yang diambil isterinya, dengan atau tanpa sepengetahuannya



Bersambung

0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XII)"