CATATANKU (SATU)

Kemarin, ketika isteriku bilang mau belanja karena stok sembako di rumah sudah tak tersisa, aku ternganga. Bagaimna bisa tidak ternganga jika di dompetku hanya ada KTP, STNK dan kartu nama.
" Mau belanja? Tanyaku. " Saya sudah tidak punya uang lagi, bu. Memangnya ibu bisa belanja tanpa uang?"
Isteriku bukan tak kaget. Maklum, dia mau belanja tapi suaminya malah bilang sudah tak punya duit. Namun, meski terihat kaget, isteriku sama sekali tidak kesal apalagi marah
" Kita sudah tak punya stock sembako lagi, pak. Apa yang akan saya masak kalau bahan pokoknya tidak ada,"ujarnya.
Aku langsung garuk garuk kepala.Bukan pusing. Tapi bingung. Tadinya kepingin segera berpikir untuk apa harus bingung. Nyatanya, malahan tambah bingung,
"Kok bapak kelihatan bingung. Kan kemarin bapak sendiri yang bilang kalo gak punya duit nggak usah bingung?" Kata isteriku,mengingatkan atau menyindir, aku tak persoalkan. Sebab, yang jadi persoalan bukan mengingatkan atau menyindir, tapi dompetku sudah tinggal stnk,kartu nama dan ktp.
" Iya mestinya memang harus seperti itu. Nggak usah bingung, karena saya pikir masih ada stok sembako," aku bilang seperti itu tanpa memiliki keberanian menatapnya.
" Pak... makanya jangan biasakan berpikir di rumah ada stok sembako. Cobalah berpikir bagaimana kalau di rumah kita kehabisan sembako?"
"Saya sebenarnya kepingin berpikir seperti itu, bu. Tapi bagaimana dong kalau yang selalu terpikir di rumah pasti ada stok sembako"
" Kalau enam bulan lalu, bapak boleh berpikir terus seperti itu. Sebab, waktu itu bapak masih bekerja. Tapi setelah itu, kan, bapak lantas berhenti bekerja dan saya suruh ambil uang pesangon bapak malah bilang untuk apa? Iya, kan?"
Saya tak bisa menjawab. Eh, yang benar, saya tak mau menjawab. Soalnya, isteri memang pernah mensupport agar saya mengambil uang pesangon. Tapi saya menolak karena saya malas bertemu dengan orang orang di kantor yang saya kira teman saya, ternyata mereka hanya sebatas kenal saja dengan saya. Mereka pandai senyum manis di depan saya, sedangkan di belakang saya mereka sepakat untuk meniadakan saya dari kantor, agar tak ada lagi yang bela nasib karyawan rendahan
Mengapa saya bilang begitu ?
Tentu saya punya alasan kuat untuk menyebut mereka seperti itu.
Pasalnya, saya pernah berbuat sesuatu dan atas izin Yang Maha Kuasa, saya diberi kemampuan untuk mengatasi konflik yang terjadi di kantor. Ketika itu, posisi mereka sudah di ujung tanduk. Saya mengetahui hal itu setelah diajak bertemu di satu tempat - di kawasan Jakarta Selatan, dan di sana mereka menceritakan kepada saya, bahwa sebenarnya, mereka tengah konflik dengan boss.  Sebelumnya, meski se kantor, tentu saja saya tak tahu kalau mereka konflik dengan boss.
Saya berpikir, hubungan mereka dengan boss tak akan bisa retak. Selain karena mereka dan boss berteman akrab - begitu pun dengan saya dan hubungan saya dan boss. Kami merasa akrab, karena sama sama membangun usaha dari nol.
Sebelumnya kami pun bekerja bareng di sebuah perusahaan. Tapi karena perusahaan  dibangkrutkan oleh kondisi yang sama sekali di luar dugaan, akhirnya kami ke luar dan salah seorang dari kami bertemu dengan seorang investor bonafid yang bersedia menginvestasikan dananya. Sejak itu,kami kembali membangun usaha bersama dan apa yang kemudian kami kerjakan tak beda dengan yang sebelumnya kami lakukan.
Nah, saat yang kami produk laku di pasar dan volume penjualan terus meningkat, tanpa sepengetahuan saya yang memang tak mau tahu urusan orang lain, kecuali diajak musyawarah seperti sore itu, ternyata antara hubungan mereka dan boss (yang juga rekan saya) tengah bersitegang dan nasib mereka terancam karena mereka bilang, boss sudah menyiapkan keputusan untuk memecat mereka.
Jika hal itu benar benar terjadi, maka sekitar belasan orang rekan saya sekantor tentu saja harus hengkang. Sebab, bagaimana pun berkuasa dan hubungannya dengan pemilik modal semakin dekat.  Itu sebabnya mereka sangat kuatir dan akhirnya berkumpul di sebuah kantor rekan kami di kawasan mampang untuk mencari solusi.
Semula, saya yang hari itu sengaja berangkat ke kantor siang hari karena sehari sebelumnya kerja sampai pagi, tidak mengerti mengapa mereka mengirim pesan kepada saya melalui pager. Saya tak berpikir panjang, karena salah seorang dari mereka yang mengirim pesan ke pager saya (waktu itu belum ada seluler dan pager sangat laris) juga menyebut alamat lengkap tempat mereka bertemu.
Setelah sekitar satu jam saya hanya menjadi pendengar, rekan rekan saya yang nasibnya sudah di ujung tanduk, malah tak ada yang mampu mencari solusi. Malah, mereka semakin kalut dan bingung. Sebab, tanpa ada jalan ke luar, tidak mungkin mereka bebas dari pemecatan.
Dan saat itu, saya baru tahu kalau mereka tidak pernah bisa berpikir hebat.
Mengapa? Karena satu sama lain hanya saling pasrah dan tak bisa berbuat banyak, kecuali hanya pasrah dan mau tak mau mesti siap dipecat.
Bukankah mereka tak punya solusi apapun, meski berjam jam berkumpul untuk mendiskusikan masalah yang mereka hadapi?
Saat itu, jika saja saya egois dan masa bodoh terhadap nasib mereka yang sudah di ujung tanduk, dalam sehari atau dua hari mendatang boleh jadi mereka benar benar harus berpisah dengan saya karena saya yang tak termasuk dalam daftar rekan atau karyawan yang dipecat akan tetap berada dan bekerja di kantor kami,sedangkan mereka harus meninggalkan kantor dan tak akan bekerja lagi,
Sebenarnya, saya sudah bertekad untuk tidak ikut berpartisipasi aktif dan hanya ingin jadi pendengar. Toh, mereka sendiri - yang punya masalah atau tengah bermasalah dengan boss, jangankan berani untuk eksiyen, keberanian mendesain solusi saja tak ada.
Melihat ekpresi mereka yang sepertinya pasrah - bukan ikhlas - melainkan kalau dipecat tak bisa berbuat apa apa kecuali menerima keputusan boss, saya jadi merasa sedih.
Yaa... saya sedih. Bahkan, teramat sedih.
Kok bisa mereka konflik dan akhirnya terancam pemecatan. Padahal, empat orang diantara mereka posisinya sama dengan boss. Orang orang yang paling diberi kuasa. Hanya, di kantor posisi mereka setingkat di bawah boss. Jadi, pengendali utama yaa, meski rekan saya juga, dialah big boss
Akhrinya, saya bersuara juga. Tapi, saya yang sebenarnya punya ide sejak mulai paham mengapa mereka konflik, terlebih dahulu bertanya apakah kalau saya punya ide dan apa yang akan saya lakukan mereka mendukung?
Karena mereka menjawab: mendukung dan kelihatannya kembali memiliki optimieme, saya lalu mengatakan, saya akhirnya jadi kepingin berpartisipasi lantaran tidak ingin kehilangan kawan, baik itu kalian maupun boss. Tapi, karena kondisinya seperti ini dan sepertinya tak mungkin bisa dicari solusi yang lain, menurut hemat saya, lebih baik menyelamatkan yang belasan orang dan merelakan kehilangan seseorang , yaitu si boss.
Setelah mereka paham, lalu saya membuat daftar untuk ditandatangani oleh mereka. Setelah mereka menanda-tangani daftar yang saya buat, saya lalu membuat surat khusus. Artinya, surat itu bukan untuk boss yang bersama empat orang rekan saya berstatus pendiri. Sebab, surat yang saya buat khusus, saya alamatkan langsung ke pemilik modal.
Lalu, kepada empat rekan saya yang juga setara sebagai orang yang tercantum sebagai pendiri perusahaan, saya tugaskan untuk meminta tanda tangan rekan lain di kantor, yang tidak terlibat konflik dan mereka sama sekali belum tahu kalau di kantor - terjadi konflik di antara pendiri.
Busyet.... keesokan harinya, saat saya minta tambahan nama rekan yang bersedia menanda-tangani untuk menguatkan dan mendukung upaya saya yang ingin meresolusi boss yang saya anggap tak sejalan lagi dengan belasan orang rekan saya,  malah bilang tak berhasil karena mereka kuatir yang dilakukan akan terendus boss.
Bayangkan, padahal untuk kepentingan mereka sendiri dan rekan lain yang belum tahu adalah juga bawahan mereka. Nyatanya, mereka tidak berhasil. Kenapa? Lantaran tidak dekat dengan bawahan. Ketidak dekatan membuat mereka tak bisa melobi.
Saya terpaksa mengambil alih. Meski tidak semua ikut tanda tangan, tapi setelah beberapa rekan yang setuju dan sudah membubuhkan tanda tangan, saya menganggap cukup, karena jumlah yang menanda-tangani dan setuju kami meresolusi, lebih dari setengah dari jumlah karyawan.
Saya pikir, tugas saya selesai dan kalau misi saya tidak berhasil, saya siap untuk ikut dalam kelompok yang akan dipecat sama boss. Mengapa? Karena ketika saya minta empat orang pendiri membawa dokumen yang saya buat ke pemilik modal, mereka menyatakan siap. Mereka juga mengatakan paham apa yang harus dilakukan saat menghadap pemilik modal.
Nyatanya, saat saya balik ke kantor pukul 19.00, saya melihat surat diamplop tanpa tulisan,masih tergeletak di sebuah tempat yang menjadi ruang kerja salah seorang rekan saya yang posisinya adalah pendiri.
Saya tak habis pikir, mengapa mereka malah mengatakan nggak enak datang ke pemilik modal membawa masalah. Sebenarnya, saya juga ingin mengatakan, kalau begitu, yaa sudah. Terserah kalian saja.Toh, saya tak akan dipecat karena surat rahasia tidak akan terendus oleh boss.
Tapi, wajah mereka yang nampak nelangsa,seperti sangat berharap agar saya menuntaskan ide saya. Terlanjur ingin menyelamatkan belasan orang teman dan membiarkan seorang hengkang timbang kehilangan belasan kawan dan hanya tersisa seorang kawan yang kelak boleh jadi juga akan memecat saya, akhirnya saya minta mereka untuk menghubungi telepon kantor pemilik modal.
Meski hari itu sudah lewat isya, setelah ada sinyal pemilik modal bersedia menerima kedatangan saya. hanya, saya minta salah seorang pendiri untuk ikut. Selain untuk menemani saya dan jadi saksi kalau saya sudah melakuan sesuatu, saya pun meminta saya agar setelah bertemu, menjelaskan sedikit alasan mengapa menghadap dan mengapa saya akan bicara untuk menjelaskan masalah secara detail.
Alhasil,setelah bertemu dan saya menjelaskan secara detail mengapa membuat surat permohonan untuk meresolusi seorang rekan yang didukung oleh lebih separuh rekan di kantor, pemilik modal mendukung dan menyatakan apa yang saya lakukan,  menyelamatkan belasan orang dan kehilangan seorang adalah keputusan yang baik.
Jadi, kata beliau yang tak perlu saya sebutkan namanya, karena masalahnya seperti ini, yang akan dipecat oleh pemiliki bukan 4 pendiri dan belasan yang lain. Tapi, yang akan dipecat justeru yang punya ide memecat belasan rekan sendiri di kantor.

Ketika esoknya beliau datang ke kantor dan secara resmi mengumumkan keputusannya, saya hanya bisa bersyukur kepada Sang Khalik, karena telah meridhoi langkah yang saya ambil.
Hanya, kenapa setelah salah seorang dari empat pendiri diangkat jadi boss di kantor, ia dan ketiga pendiri lainnya membangun kondisi yang sama dengan boss yang sudah dipecat pemilik modal? Mudah sekali kehilangan kepribadian ketika punya posisi yang membuatnya merasa berada di atas.
Menurut saya, begitulah kepribadian manusia.

0 Response to "CATATANKU (SATU)"