BONDAN DAN TUKANG OJEK (IX)


oleh: Oesman Ratmadja

MBOK Sinem merasa makin hepi. Belakangan, begitu mudah sang pembantu setia menghela nafas lega. Pasalnya, Bondan makin betah berada di rumah dan juga lebih sering mengambil sendiri keperluannya.
Terlebih, setelah kembali belajar mengaji di suatu tempat, Mbok Sinem jadi agak sering mendengar Bondan membaca Al Qur’an, Sering melihat anak majikannya melaksanakan shalat, meski kadang masih ada waktu shalat yang terlewat.
Bondan juga sudah tak lagi meminta Mbok Sinem untuk menghubungi ayah dan mamanya agar dikirim uang, meski nyaris dua minggu ndoro Sadewa belum berkabar jika neliau telah mentransfer sejumlah uang ke rekening Mbok Sinem pun tak harus repot ngontak ndoro Susilawati, untuk melakukan hal yang sama.
Selama ini ndoro Susilawati dan ndoro Sadewa, memang selalu memenuhi permintaan mbok Sinem. Hanya, ayah Bondan tak pernah tak pernah sekilipun menyemprot. Sedangkan ibu Bondan, tidak serupa. Tiap kali Mbok Sinem mengontak, ndoro Susilawati pasti membentak, setelah menumpahkan jengkel dan kesal, baru mengatakan segera mentransfer uang yang diminta mbok Sinem ke rekening Bondan
Mbok Sinem, maklum. Bahkan sangat mengerti, kalau sebenarnya ndoro Susilawati tahu, dirinya dibohongi. Tapi, karena mbok Sinem punya alasan tepat, takut den Bondan ngamuk . Kapan pun Mbok Sinem ngontak dan bilang den Bondan perlu uang, tetap dikabulkan. Hanya, majikan yang satu ini, selalu mewarnai pemberiannya dengan marah. Sedangkan majikan yang satu lagi, hanya sekedar bertanya, “Minta dikirim uang lagi?” Tapi, setelah mbok sinem bilang, “ Begitulah, den “, pak Sadewa pasti bilang,
” Oke. Saya akan segera transfer”
Hanya, Kok bisa, ya, Bondan mengajaknya ngobrol berlama-lama? Kok bisa, yaa, Bondan di am dan malah mulai betah di rumah? Biasanya kelayapan, pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Kok, bisa, yaa, nggak tergesa-gesa ke luar dari rumah dan tak lama sudah kembali ke rumah sambil ngegandeng cewek abg?
Kok bisa, yaa, Bondan yang sudah bangun tidur tidak marah, meski di meja makan tak ada kopi dan roti bakar kesukaannya. Kok, mau-maunya ya, tetap memberi bonus padahal mbok Sinem tak pernah lagi melaksanakan tugas membohongi orangtua den Bondan.
Mulanya, mbok Sinem malah pusing. Ia heran karena Bondan berubah dan sudah sangat beda. Kelakuannya bisa dibilang aneh tapi nyata. Padahal, Bondan bukan tukang sulap. Tapi, kok, bisa ya, menindas kebiasaan buruk padahal selama ini membelenggu dirinya?.
Mbok Sinem bukan tidak mau terus menerus disergap tanda tanya. Terlebih, mbok Sinem menyadari siapa dirinya. Tapi meski hanya sebatas pembantu, hati nuraninya menggeliatkan hal yang lebih dari itu. Secara fisik, ya, ia memang hanya seorang pembantu. Tapi secara batiniah ? Tak Mbok Sinem tak berbeda dengan siapa pun. Sebagai seorang hamba, mbok Sinem masih melekatkan nurani di jiwanya.
Memang, tak lantas bisa bebas dari tanda tanya yang menyergap relung hatinya. Hanya saat mendapatkan peluang, Mbok Sinem memanfaatkannya. Sebenarnya mbok Sinem malah sempat meresa takut. Sebab, ia belum melaksanakan tugas membuat kopi untuk Bondan. Si mbok pun bergegas untuk menyiapkan. Tapi sesampai di dapur dan baru akan membuatkan kopi untuk den Bondan, ia kaget.
Mbok Sinem sama sekali tak menyangka jika ia melihat satu kenyataan yang tentu saja dianggapnya aneh dan mengagetkan. Soalnya Bondan sudah di dapur dan sedang mengaduk aduk kopi. Melihat mbok Sinem, Bondan sama sekali tak meminta bantuan mbok Sinem
“ Aduuuh, maaf, den. Si mbok baru saja ke belakang. Perut si mbok mendadak mules. Jadi.. aahh.. si mbok jadi nggak enak. Mestinya, si mbok pantes kena marah “
“Malah nggak pantes, mbok. Anak muda gak ada pantesnya marahin orangtua. Lagi pula, nggak susah, kok, mbok, kalau cuma sekedar bikin kopi? “
“ Bukan soal susah atau mudah, den. Tapi, disini, kan, si mbok kerja. Mestinya, menger jakan berbagai pekerjaan dan tetap membuatkan kopi den Bondan, seperti biasanya “
“ Si mbok, ini, bisa-bisanya nyalahin diri sendiri,”
Si mbok jadi heran. Bondan yang biasa tinggal minta, tinggal nikmati apa saja, malah terse nyum sambil membawa kopi panasnya ke meja
Mbok Sinem bergegas ambil roti tawar, mentega, selai kacang dan selai strawberi
“ Mau dibakar atau dipoles biasa saja, den ?”
“ Mbok,” sahut Bondan “ Hari ini, simbok tidak usah repot-repot ngurus saya. Jadi, taruh saja di meja. Nanti, kalau saya mau, saya akan bilang pada diri saya, hai Bondan kalo mau roti bakar silahkan bikin sendiri. Oke?”
Mbok Sinem bukannya menjawab malah ternganga.
“ Kok bisa bisanya aden bilang begitu. Kalau dikerjakan sendiri, nanti kerja si mbok apa?”
“ Mbok... timbang nanti, gimana kalo mbok cepat cepat bawa rotinya ke meja.”
Sinem tak mau lagi bertanya atau malah hanya ternganga. Dia bergegas mengambil sebuah baki, dan meletakkan roti tawar yang masih terbungkus rapi, mentega, selai strawbery dan selai kacang lantas bergegas melnaruh di meja makan. Baru kemudian si Mbok memberanikan diri mengajak bicara Bondan.
“ Den....Si mbok kenapa jadi kangen membukakan pintu di tengah malam, atau saat hampir Subuh, seperti dulu lagi ya, den ?”
Ternyata, Bondan peka. Mbok Sinem jadi kuatir. Tapi, ia siap kena marah. Semisal dibentak pun, dia siap menerima dan memakluminya. Terlebih, Bondan spontan menoleh dan menatap mbok Sinem. Sepertinya, ia tersinggung. Hanya, jadinya malah aneh. Bondan yang barusan seperti tersinggung, malah tersenyum.
Sungguh... Sama sekali tidak marah.
Bikin mbok Sinem jadi lega.
“ Memangnya si mbok suka, yaa, kalau saya terus menerus jadi pemabuk. Juga senang ya, ka lau saya terus menerus bawa cewek abg ke ru mah ?”
“ Yaa, nggak tepat sih, den, kalau dibilang seneng, Si mbok, kan harus ikhlas melaksanakan tugas. Jadi, kapan pun si mbok dipinta, harus siap melaksanakan tugas. Si Mbok ini, kan, cuma ingin bekerja dan melayani sebaik-baiknya “
“ Waah, bagus itu, mbok. Pelayan masyarakat saja, malah semakin kepingin dilayani oleh rakyat. Cuma,benar , nih, mbok? Jangan jangan, si mbok malah senang jika saya tak berubah sampai tua “
“ Lhoo, si mbok, tuh, senangnya malah kalau den Bon berubah selagi muda, seperti sekarang ini. Sebab, kalau terus seperti sekarang, si mbok nggak perlu merasa kuatir lagi “
“ Memangnya si mbok suka kuatirin saya?”
“Waah, nggak mungkin si mbok tidak kuatir sama den Bondan. Soalnya, kalau den Bondan celaka, tertangkap polisi saat mabuk-mabukan, atau masuk rumah sakit karena berkelahi , si mbok nggak mungkin gembira, den. Pasti bisanya cuma sedih dan sedih “
“ Ooooh ya ? Si mbok serius kuatir sama saya?”
“ Si mbok memang sering dipaksa den Bondan untuk bohongin ndoro Susi dan ndoro Sadewa. Tapi, soal yang satu ini, benar-benar ada adanya. Sebab, bebas dari dusta“
Bondan memang tak melihat tipu daya. Juga tak menangkap kebohongan dari kata-kata si mbok yang begitu lancar diucapkan. Yang dilihat Bondan justeru tak sekedar keluguan si mbok. Tapi, juga kejujuran yang tak berselimut apapun, kecuali kejujuran itu sendiri. Layaknya kejujuran orang tua yang baik. Dalam kondisi apa pun, selalu mendoakan agar anaknya bahagia Kenapa ayah dan ibu nya, tidak seperti si mbok?
“Mbok,“ Bondan menatap si mbok Sinem

0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (IX)"