oleh: Oesman Ratmadja
MBOK
Sinem merasa makin hepi. Belakangan, begitu mudah sang pembantu
setia menghela nafas lega. Pasalnya, Bondan makin betah berada di
rumah dan juga lebih sering mengambil sendiri keperluannya.
Terlebih,
setelah kembali belajar mengaji di suatu tempat, Mbok Sinem jadi agak
sering mendengar Bondan membaca Al Qur’an, Sering melihat anak
majikannya melaksanakan shalat, meski kadang masih ada waktu shalat
yang terlewat.
Bondan juga sudah tak
lagi meminta Mbok Sinem untuk menghubungi ayah dan mamanya agar
dikirim uang, meski nyaris dua minggu ndoro Sadewa belum berkabar
jika neliau telah mentransfer sejumlah uang ke rekening Mbok Sinem
pun tak harus repot ngontak ndoro Susilawati, untuk melakukan hal
yang sama.
Selama ini
ndoro Susilawati dan ndoro Sadewa, memang selalu memenuhi permintaan
mbok Sinem. Hanya, ayah Bondan tak pernah tak pernah sekilipun
menyemprot. Sedangkan ibu Bondan, tidak serupa. Tiap kali Mbok Sinem
mengontak, ndoro Susilawati pasti membentak, setelah menumpahkan
jengkel dan kesal, baru mengatakan segera mentransfer uang yang
diminta mbok Sinem ke rekening Bondan
Mbok Sinem,
maklum. Bahkan sangat mengerti, kalau sebenarnya ndoro Susilawati
tahu, dirinya dibohongi. Tapi, karena mbok Sinem punya alasan tepat,
takut den Bondan ngamuk . Kapan pun Mbok Sinem ngontak dan bilang den
Bondan perlu uang, tetap dikabulkan. Hanya, majikan yang satu ini,
selalu mewarnai pemberiannya dengan marah. Sedangkan majikan yang
satu lagi, hanya sekedar bertanya, “Minta dikirim uang lagi?”
Tapi, setelah mbok sinem bilang, “ Begitulah, den “, pak Sadewa
pasti bilang,
” Oke. Saya
akan segera transfer”
Hanya, Kok bisa,
ya, Bondan mengajaknya ngobrol berlama-lama? Kok bisa, yaa, Bondan di
am dan malah mulai betah di rumah? Biasanya kelayapan, pulang ke
rumah dalam keadaan mabuk. Kok, bisa, yaa, nggak tergesa-gesa ke luar
dari rumah dan tak lama sudah kembali ke rumah sambil ngegandeng
cewek abg?
Kok bisa, yaa,
Bondan yang sudah bangun tidur tidak marah, meski di meja makan tak
ada kopi dan roti bakar kesukaannya. Kok, mau-maunya ya, tetap
memberi bonus padahal mbok Sinem tak pernah lagi melaksanakan tugas
membohongi orangtua den Bondan.
Mulanya, mbok
Sinem malah pusing. Ia heran karena Bondan berubah dan sudah sangat
beda. Kelakuannya bisa dibilang aneh tapi nyata. Padahal, Bondan
bukan tukang sulap. Tapi, kok, bisa ya, menindas kebiasaan
buruk padahal selama ini membelenggu dirinya?.
Mbok Sinem bukan
tidak mau terus menerus disergap tanda tanya. Terlebih, mbok Sinem
menyadari siapa dirinya. Tapi meski hanya sebatas pembantu, hati
nuraninya menggeliatkan hal yang lebih dari itu. Secara fisik, ya, ia
memang hanya seorang pembantu. Tapi secara batiniah ? Tak Mbok Sinem
tak berbeda dengan siapa pun. Sebagai seorang hamba, mbok Sinem masih
melekatkan nurani di jiwanya.
Memang, tak
lantas bisa bebas dari tanda tanya yang menyergap relung hatinya.
Hanya saat mendapatkan peluang, Mbok Sinem memanfaatkannya.
Sebenarnya mbok Sinem malah sempat meresa takut. Sebab, ia belum
melaksanakan tugas membuat kopi untuk Bondan. Si mbok pun bergegas
untuk menyiapkan. Tapi sesampai di dapur dan baru akan membuatkan
kopi untuk den Bondan, ia kaget.
Mbok Sinem sama
sekali tak menyangka jika ia melihat satu kenyataan yang tentu saja
dianggapnya aneh dan mengagetkan. Soalnya Bondan sudah di dapur dan
sedang mengaduk aduk kopi. Melihat mbok Sinem, Bondan sama sekali tak
meminta bantuan mbok Sinem
“ Aduuuh, maaf,
den. Si mbok baru saja ke belakang. Perut si mbok mendadak mules.
Jadi.. aahh.. si mbok jadi nggak enak. Mestinya, si mbok pantes kena
marah “
“Malah nggak
pantes, mbok. Anak muda gak ada pantesnya marahin orangtua. Lagi
pula, nggak susah, kok, mbok, kalau cuma sekedar bikin kopi? “
“ Bukan soal
susah atau mudah, den. Tapi, disini, kan, si mbok kerja. Mestinya,
menger jakan berbagai pekerjaan dan tetap membuatkan kopi den Bondan,
seperti biasanya “
“ Si mbok, ini,
bisa-bisanya nyalahin diri sendiri,”
Si mbok jadi
heran. Bondan yang biasa tinggal minta, tinggal nikmati apa saja,
malah terse nyum sambil membawa kopi panasnya ke meja
Mbok Sinem
bergegas ambil roti tawar, mentega, selai kacang dan selai
strawberi
“ Mau dibakar
atau dipoles biasa saja, den ?”
“ Mbok,” sahut
Bondan “ Hari ini, simbok tidak usah repot-repot ngurus saya. Jadi,
taruh saja di meja. Nanti, kalau saya mau, saya akan bilang pada diri
saya, hai Bondan kalo mau roti bakar silahkan bikin sendiri. Oke?”
Mbok Sinem bukannya
menjawab malah ternganga.
“ Kok bisa
bisanya aden bilang begitu. Kalau dikerjakan sendiri, nanti kerja si
mbok apa?”
“ Mbok... timbang
nanti, gimana kalo mbok cepat cepat bawa rotinya ke meja.”
Sinem tak mau lagi
bertanya atau malah hanya ternganga. Dia bergegas mengambil sebuah
baki, dan meletakkan roti tawar yang masih terbungkus rapi,
mentega, selai strawbery dan selai kacang lantas bergegas melnaruh di
meja makan. Baru kemudian si Mbok memberanikan diri mengajak bicara
Bondan.
“ Den....Si mbok
kenapa jadi kangen membukakan pintu di tengah malam, atau saat hampir
Subuh, seperti dulu lagi ya, den ?”
Ternyata, Bondan
peka. Mbok Sinem jadi kuatir. Tapi, ia siap kena marah. Semisal
dibentak pun, dia siap menerima dan memakluminya. Terlebih, Bondan
spontan menoleh dan menatap mbok Sinem. Sepertinya, ia tersinggung.
Hanya, jadinya malah aneh. Bondan yang barusan seperti tersinggung,
malah tersenyum.
Sungguh... Sama
sekali tidak marah.
Bikin mbok Sinem
jadi lega.
“ Memangnya si
mbok suka, yaa, kalau saya terus menerus jadi pemabuk. Juga senang
ya, ka lau saya terus menerus bawa cewek abg ke ru mah ?”
“ Yaa, nggak tepat
sih, den, kalau dibilang seneng, Si mbok, kan harus ikhlas
melaksanakan tugas. Jadi, kapan pun si mbok dipinta, harus siap
melaksanakan tugas. Si Mbok ini, kan, cuma ingin bekerja dan melayani
sebaik-baiknya “
“ Waah, bagus itu,
mbok. Pelayan masyarakat saja, malah semakin kepingin dilayani oleh
rakyat. Cuma,benar , nih, mbok? Jangan jangan, si mbok malah senang
jika saya tak berubah sampai tua “
“ Lhoo, si mbok,
tuh, senangnya malah kalau den Bon berubah selagi muda, seperti
sekarang ini. Sebab, kalau terus seperti sekarang, si mbok nggak
perlu merasa kuatir lagi “
“ Memangnya si
mbok suka kuatirin saya?”
“Waah, nggak
mungkin si mbok tidak kuatir sama den Bondan. Soalnya, kalau den
Bondan celaka, tertangkap polisi saat mabuk-mabukan, atau masuk rumah
sakit karena berkelahi , si mbok nggak mungkin gembira, den. Pasti
bisanya cuma sedih dan sedih “
“ Ooooh ya ? Si
mbok serius kuatir sama saya?”
“ Si mbok memang
sering dipaksa den Bondan untuk bohongin ndoro Susi dan ndoro Sadewa.
Tapi, soal yang satu ini, benar-benar ada adanya. Sebab, bebas dari
dusta“
Bondan memang tak
melihat tipu daya. Juga tak menangkap kebohongan dari kata-kata si
mbok yang begitu lancar diucapkan. Yang dilihat Bondan justeru tak
sekedar keluguan si mbok. Tapi, juga kejujuran yang tak berselimut
apapun, kecuali kejujuran itu sendiri. Layaknya kejujuran orang tua
yang baik. Dalam kondisi apa pun, selalu mendoakan agar anaknya
bahagia Kenapa ayah dan ibu nya, tidak seperti si mbok?
“Mbok,“ Bondan
menatap si mbok Sinem
0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (IX)"
Posting Komentar