Cerita Pendek
oleh:
Oesman Ratmadja
Sesampai di
rumah, saya kesal pada di ri sendiri. Sebab, baru terpikir,
sebenarnya saya bisa minta ke Abah, agar diberi kesempatan me nolong
untuk hal yang lebih berat. Mencangkul ladangnya,misalnya. Atau,
mengecat rumah Ab ah, yang dinding ruang tamunya sudah kusam
Saya ikhlas
dan Abah tak perlu mengeluarkan uang untuk bayar tukang. Saya tak ingin dibayar berapa
pun. Saya hanya ingin membalas kebaikan Abah. Saya berjanji, setelah
Abah kembali ke rumahnya, saya akan sampaikan keinginan saya dan
berharap Abah bersedia memenuhinya.
Saya tak punya
firasat apa pun, saat jam sebelas kurang beberapa menit, membuka
pintu rumah Abah. Saat saya ambil amplop coklat di meja ruang tamu,
saya langsung tercekat. Kaget , karena mendadak mencium aroma
wewangian
Aroma wewangian
yang begitu harum, se makin merebak saat saya membuka amplop cok
lat.Dengan hati-hati saya mengeluarkan isi am plop coklat yang
ukurannya lebih panjang dan lebih lebar dari kertas folio.
Saya ternganga
membaca tulisan di kertas
bagian teratas. Berbunyi
Innalillahi Wain na Ilaihi Roji’un. Di lembar kertas
kedua, entah pesan entah puisi.
Hari ini, saya
pulang
ke kampung
paling melahirkan
ke halaman
paling menghidupkan
ke tempat selain
dunia
Di ladang yang
sudah berliang
baringkan saya
di sana
Saya di kamar
di sisi kain kafan dan lainnya
saya ingin kamu mengantar
agar cepat sampai di ladang
Rumah dan isinya jual saja
gunakan untuk anak yatim piatu
yang ingin sekolah dan ingin
menggapai akhlak mulia
Ladang saya sudah jadi
ladangmu
tapi tolong makam saya tetap
disitu
jangan sampai di bongkar
Satpol PP
kecuali kamu ingin punya
mesjid
atau pesantren, untuk
membahagiakan
Rukmini.
Baru kali ini saya menangis
sesenggukan.
Baru kali ini
saya mengumumkan tentang Abah yang telah pulang ke kampung halaman.
Orang-orang berdatangan. Mengucurkan air ma ta. Mereka sulit
melupakan kebaikan Abah.
Buat saya,
inilah pengalaman terindah, se lama kenal dengan Abah, yang ternyata
me mahami keinginan saya, yang sangat ingin membalas kebaikannya
Baru kali ini
saya menangis sesenggukan, panjang dan berhenti dengan sendirinya,
sesam pai di sisi makam. Mengantar Abah, yang ter nyata sudah siapkan
bekal, untuk kembali ke kampung yang paling melahirkan, dan hala man
yang paling menghidupkan.
Usai pemakaman,
saya kembali ke rumah Abah. Tapi sampai malam, tamu Abah tak kun
jung tiba. Padahal, saya harus menyampaikan amplop coklat dan isinya.
Harus jual rumah dan isinya, untuk anak yatim piatu, seperti yang
diinginkan Abah.
Saya tak tahu,
sanggup dan tidaknya memanggul beban berat dari Abah. Saya hanya
sanggup bergegas mencatat, menghitung dan mengkritisi prilaku buruk
dan kebodohan yang pernah saya lakukan.
Jika senyum
Rukmini tak lekas hilang, saya tak akan mampu mengintip selain
dunia,. seperti Abah, sampai akhirnya beliau pulang kampung, ke
halaman halaman paling menghidupkan.
SELESAI