SUDAHKAH ANDA MENJADI ORANG SABAR



oleh : Oesman Ratmadja

         Kalau ada dan banyak yang bilang jadi manusia sabar itu sangat sulit, tidak sepenuhnya saya tidak setuju. Saya justeru paling setuju. Tapi sepenuhnya dan tidak ikutan dengan yang bilang tidak sepenuhnya. Bahkan, jika tingkat kesulitan jadi manusia sabar bisa dititipkan di salah satu bak kamar mandi yang ada di istana, menurut hemat dan irit saya, kesulitan menjadi orang sabar malah menjadi sulit seluber lubernya.
        Tapi kalau ada yang bilang jadi orang sabar itu lebih mudah dari membalik telapak tangan, saya sangat ingin belajar dan terus belajar dari yang bersangkutan. Mengapa? Karena sampai hari ini,  saya tetap setuju dengan pihak yang mengatakan jadi orang sabar itu sangat sulit alias betapa tidak mudahnya menjadi orang sabar.
      Mengapa? Pertama, tetangga saya, pak Sabar bin Subur dengan terus terang mengaku, ia kesulitan memiliki sifat yang sesuai dengan namanya, padahal maksud kedua orangtuanya memberi nama sabar, agar anaknya otomatis menjadi hamba yang sabar. Nyatanya, dengar ayam berisik saja langsung disambit pake sendal. Anaknya gak bisa dibilangin, langsung dicubit dan jika isterinya gak nyiapin kopi di pagi atau sore hari, pak Sabar malah lebih mampu menumpahkan emosi timbang menjadi orang yang sesuai dengan namanya.
          "kalau ada yang bilang susah, menurut saya susah sebanget bangetnya," aku pak Sabar yang juga mengaku, sampai saat ini dirinya belum sukses dalam mencapai sabar 
          Kedua, karena dimudah mudahkan malah menjadi tidak mudah. Kalau sebatas didoakan,misalnya dengan kata mudah mudahan menjadi manusia yang sabar, justeru bentuk kemudahan yang mudah mudahan itu, menjadi tidak semudah meski sudah dimudah mudahkan.
        Padahal, saya sudah sangat ingin menjadi orang sabar. Anda seperti itu juga, kan?
        Yaa... kerinduan saya hanya terfokus untuk menjadi manusia sabar.
       Pasalnya, kemarin, akibat tidak bisa menjadi orang sabar, saya malah didamprat oleh pak erte. Padahal, menurut saya, saat itu saya tidak merasa bersalah. Soalnya, saat rapat berlangsung perut saya mendadak mules. Mestinya, saat itu saya tak hanya harus sabar. Tapi juga harus bebas dari sifat serakah. Dalam keadaan mules, mestinya saya harus memilih. Pamit atau tidak pamit, beranjakdari ruangan untuk bergegas  ke belakang. Kalau pun saya memilih untuk tetap di ruang rapat, harus sanggup menjadi orang sabar. Konsekwensinya saya harus bisa menahan mules yang mengguncang perut dan saya yakin akan melahirkan kentut.
        Karena saya ingin tetap mengikuti jalannya rapat yang menurut hemat saya makin seru, saya malah memilih opsi ketiga. Tetap ikutan rapat tapi tidak menjamin mampu atau tidak saya mengelola mules. Kalau mampu, saya akan menganggap diri saya hebat tanpa mengiklankan testimoni saya di koran, televisi, brosur atau internet. Toh, tak ada yang tahu kalau saya mules.
        Tapi kalau tidak kuat, mules yang saya yakin bakal jadi kentut, akan saya salurkan dengan cara sedemikian rupa, agar tidak menimbulkan bunyi yang mengagetkan. Sehingga, yang nantinya bakal berhembus bukan lagi braaattt, breeett .. broootttt... Tapi peeesssss. Bila teori yang saya aplikasikan berjalan lancar, bukankah saya dapat dua hal sekaligus? Ah, betapa senangnya bisa tetap ikutan rapat (anggota dewan di saat seperti ini  malah lebih suka bobo) dan juga bisa melepas kentut tanpa diketahui oleh peserta rapat.
         Namun, teori yang saya aplikasikan dengan rasa bangga yang sengaja saya simpan di dalam hati, ternyata tidak seindah nyanyian Iwan Fals. Tidak sehebat syair Gombloh atau Leo Kristi yang selalu bernyanyi untuk Indonesia dan bukan untuk popularitas yang mengeringkan jiwa. Itu sebabnya saya menyesali seluruh kebodohan saya, yang bangga berteori dengan diam diam tapi malah mendapat malu di hadapan para peserta.
         Sumpah... selain dipermalukan saya pun dijadikan korban dampratan.
         Padahal, saat itu saya sungguh dan sangat yakin, telah mengelola mules sedemikian rupa alias sangat profesional. Karena yakin, saya menyimpulkan akan menjadi kentut yang bisa dilepas tanpa mengeluarkan suara. Nyatanya ? Membuat saya langsung bilang astaganagakobrasancawelangkeketpiton di dalam hati. Saya hafal nama nama ular, karena saat berkelana di hutan Kalimantan, kerap dikejar kejar ular dan ketika saya mulai berani menghadapinya berbalik jadi sering mengejar ular.
         Karena yang keluat bukan peeesssss.... seperti yang saya perkirakan, tapi Duuuuuuuut.... Duuuut... Broooot. Seketika itu juga peserta rapat kaget dan mereka tak perlu memanggil ahli pelacak ke SSK (Sumber Suara Kentut) Pasalnya, langsung tahu kalau yang baru  saja melepas granat alami adalah saya.
         Setelah spontan menutup hidungnya, tak satu pun dari peserta rapat yang mencurahkan perhatian ke gelas kopi atau piring berisi makanan lezat. Saat itu, perhatian mereka fokus ke arah saya. Meski begitu, hanya Pak Erte yang berani memarahi saya. Sebab, pak erte adalah penguasa setempat yang paling berhak memarahi warga dan beliau tak ingin hak memarahi warga diambil alih oleh siapapun apalagi dikudeta.
        " Saya tak melarang warga saya melepas kentut. Sebab, kentut adalah anugerah dan tak seorangpun dari kita tidak pernah tidak kentut. Tapi jika melepas kentut dengan cara sembarangan dan tanpa adab, saya sangat melarang perbuatan terbesut, eh, sori, tersebut. "
       Detik itu juga, dengan sangat terpaksa saya langsung ngacir. Mengapa? Karena selain merasa sangat malu,  hal lain yang menjadi penyebab saya ngacir karena bersamaan dengan meletusnya granat , juga ada yang ke luar dari dalam tubuh. Menurut hemat saya, benda itulah yang membuat aroma kentut saya sangat menyengat dan membuat para peserta rapat kesal, marah, dan kheki berat.
       Tapi, apa boleh buat. Semua sudah terjadi. Mungkin, bisa seminggu rasa malu saya tak tertandingi
        Meski begitu, peristiwa tersebut saya jadikan hikmah. Setidaknya, saya bisa memetik dua hal. Pertama, tidak boleh jadi warga erte yang serakah -- yang tetap mau ikutan rapat sambil mengelola mules, dan yang Kedua,  tidak perlu memaksakan buang gas di depan umum dengan mengandalkan teori peeeesssss.
        Namun yang lebih penting dari kedua hal tersebut adalah, saya memang harus tetap berkeinginan kuat untuk belajar jadi orang sabar. Semisal saat itu saya sudah berstatus sebagai hamba yang sabar, saya tak akan melepas gas meski dorongan untuk melepaskannya sedemikian kuat . Bahkan jika lebih kuat dari tekanan Amerika yang akhirnya berhasil mengekploetasi hasil tambang Indonesia, tetap harus ditahan dan jangan coba coba dilepaskan
        Padahal, saya ingin jadi manusia sabar karena kata orang bijak, Si Sabar Bakal Subur. Sedangkan saya malah , malah habis habisan digempur. Bukan subur malah malu maluin. Untung, sesampai di rumah, saat saya jelaskan kepada isteri, mantan pacar tercinta saya, langsung ngomel dan dengan kesal memerintahkan kepada saya untuk segera membuka pakaian saya agar bisa seceatnya dicuci. Jika isteri tercinta tidak ngomel, mungkin saya tak sadar kalau tugas isteri sangat berat, karena sudah mengurus anak, membersihkan rumah juga harus mencuci pakaian suaminya dan memarahi suami yang buang gas sembarangan di ruang rapat.
             Meski begitu saya tetap berjanji untuk menjadi hamba yang sabar, seperti anda yang saya yakin sudah menjadi orang yang sangat sabar    










0 Response to "SUDAHKAH ANDA MENJADI ORANG SABAR"