Cerita Pendek
oleh:
Oesman Ratmadja
Tiap pukul delapan, Abah
sudah di ladang Semua yang ingin Abah lakukan, segera dikerjakan.
Memperbaiki pagar. Menyiangi rumput liar. Membersihkan dedaunan yang
ber serakan. Atau, menimba air untuk menyiram tanaman. Setelah itu,
Abah baru mencangkul. Istirahat setelah merasa tubuhnya bersimbah
keringat
Saya heran,
pada Abah, karena ia tak pernah mengeluh. Dalam capek atau lelah, ia
hanya minum dan terus tersenyum. Ketika be lum ada hasil kebun yang
bisa dijual, keluhan Abah tak pernah terdengar. Malah jika sudah ada
yang bisa dituai, tapi akhirnya hilang dicuri tetangga atau dirusak
oleh ternak milik tetangga- yang kerap masuk ke ladangnya, senyum
itulah yang diperlihatkan
Abah tak
pernah mengeluh terlebih marah.Meski singkong atau tanaman lain yang
akan dituai ternyata juga telah dicuri entah oleh siapa, tetap saja
abah leluasa mengurai senyum nya
Abah sudah
Nur Yaqin.
Yang hilang
bukan miliknya. Rezekinya hanya yang dimakan. Bila bisa menuai dan
laku dijual, baru dibelanjakan setelah berinfaq Bila tetangga
membutuhkan, ia tak ragu memberikan
sebagian hasil ladangnya
Dan, Abah yang
pernah beberapa kali memergoki pencuri di ladangnya, selalu berha
sil menangkapnya. Saya kagum pada Abah dalam hal menangkap pencuri
yang kepergok di ladangnya.. Saya yakin, Abah pasti punya ilmu bela
diri.
Hanya, saya
sering kecewa pada Abah, setelah berhasil menangkap pencurinya, saya
tak bisa berpartisipasi untuk membuatnya babak belur. Sebab, Abah
malah mengajak si pencuri ke rumahnya. Saya diminta agar tidak
memberitahu siapa pun. Sulit menolak permintaan Abah
Setiba di rumah,
Abah mengajaknya makan. Lalu, memberinya ongkos untuk pulang dan
bekal makanan untuk isteri dan anak si pencuri. Juga memberi bibit
apa saja yang ada di ru mahnya. Setelah itu, Abah berpesan
“Bila
manusia mau menanam bibit mentimun, di saatnya, ia tidak pernah
menuai anggur atau apel.Yang pasti dituai, sejenis dengan yang
ditanam. Bila manusia gemar menanam keburukan, suatu saat, dia harus
ikhlas menuai celaka. Tapi, jika manusia terus menerus menanam
kebaikan, dia harus bersiap menuai dan membagi berkah pada sesamanya.
Sebab, berkah Allah, untuk seluruh hambanya “
Saya pernah
kesal, dan memprotesnya,eh Abah malah mengajak saya makan bersama si
pencuri yang ditangkapnya. Saat makan, Abah menjelaskan. Katanya,
pencuri itu ada dua. Pertama, karena ia lapar lalu
mencuri, tapi hatinya menangis. Kedua, karena ia
serakah dan setiap berhasil mencuri, hatinya tak pernah merasa puas.
Bahkan, ingin kembali dan terus mencuri
Saya hanya
kenyang menikmati nasi dan lauk pauk setelah makan bersama Abah. Tapi
tak mengerti mengapa tak sedikit pun merasa kenyang mendengar petuah
indahnya Padahal, saya sering mendengar saat Abah menjawab,
pertanyaan atau protes saya
Terus terang,
saya semakin sulit memahami Abah. Sampai kini, saya belum pernah me
ngerti – terlebih
memahami, mengapa Abah selalu berbuat baik dan menghadapi apapun de
ngan senyum, sambil jari jemarinya terus memainkan biji tasbih
Saya
justeru sering marah pada pen =curi dan selalu berpikir seribu kali,
bila semua hasil panen di ladang, diberikan ke tetangga
Tiap saya
marah karena hasil ladang dicuri dan tetap berpikir seribu kali jika
harus memberi kepada orang lain setelah saya bersusah payah, Abah,
malah kerap kali melakukannya
Saya makin tak
mengerti, apakah ka rena hal itu, ladangnya tak pernah habis dari
umbi, buah-buahan dan yang lainnya. Jamur terus bermunculan di
ladangnya. Setiap pagi, selalu ada jamur di ladang Abah. Selain
sering dijual ke pasar, juga dibagikan ke tetangga
Saya sering
keblinger, karena di penghujan atau di musim kemarau, selalu diajak
Abah untuk memetik jamur di ladangnya. Di ladang saya sendiri yang
bersebelahan dengan ladang Abah, jamur hanya tumbuh sesekali
Abah bilang,
begitulah jika Allah menghendaki. Dengan kekuasaannNya, Allah meng
hidangkan hambanya bekal agar hambanya menikmati hidup makmur. Hidup
makmur, menurut abah, adalah hidup yang penuh syukur dan selalu ingin
memberi dengan ikhlas.
“ Tuhan
pasti memberi pengganti berkali kali,” ujar Abah
Saya pernah
ingin menjalani dan menikmati hidup, seperti abah. Tapi akhirnya,
saya malah ingin menjalani dan menikmati hidup yang tidak seperti
abah. Padahal, saya belum pernah mencatat, menghitung, dan
mengkritisi kebodohan dan prilaku buruk saya.
Saya pernah bertanya,
mengapa saya tak pernah bisa seperti atau setidaknya punya keinginan
seperti abah? Beliau malah tertawa.
Saya
bilang, saya tak suka ditertawakan.
Abah katakan,
tawanya bukan karena pertanyaan saya. Abah tertawa karena juga
kemauan pernah begitu lama bersemayam dalam dirinya.
“Jika
setiap manusia ikhlas melepaskannya, maka kemauan itu lenyap dan
manusia tak akan lenyap kecuali ajal menjemputnya. Kemauannyapun
tetap ada. Tapi, kemauan yang menguatkan dan bukan kemauan yang
melemahkan iman kita “
“Apa
salah jika saya yang masih muda punya kemauan, dan selama saya ada,
kemauan itu tetap bersama saya ?”
“Sama
sekali tak salah. Malah itulah kebenaran jika menurut kamu memang
seperti itulah yang benar”
“Jadi,
saya tak keliru berpandangan seperti itu?”
Seperti
biasa, Abah pasti tersenyum.
Lalu Abah
kembali bicara.
“Setiap
ciptaan Allah, dibekali kema uan. Hanya, untuk apa kemauan itu
dipertahan kan, harus dipahami dan harus diolah sedemiki an
rupa,agar kemauan benar-benar menjadi hik mah dan bukan menjadi
selain hikmah.
Jika
tidak, malah menjadi semakin asing dan akhirnya sama sekali tak
pernah tahu, apakah kelak, menyelamatkan atau malah mencelakakan?
Apakah nantinya membuat manusia lebih dekat dengan Sang Pencipta,
atau malah semakin berjarak denganNYA “
Saya pusing jika bicara dengan
Abah
Saya baru merasa
senang, ketika akan pulang, Abah yang tengah menikmati paginya
memanggil dan menahan saya. Saya senang ka rena diminta tolong Abah.
Inilah pertama kali saya diminta Abah untuk menolongnya. Selama ini,
selalu Abah yang menolong saya.
Sambil
menyerahkan kunci rumahnya, Ab ah minta agar sekitar jam sebelas
saya datang. Menurut Abah, sekitar jam sebelas, akan ada tamu datang
ke rumahnya. Abah mengama nah kan agar saya menyampaikan amplop warna
coklat untuk tamunya.
“Nanti
amplop coklatnya saya letakkan di meja ruang tamu. Sekitar jam
sembilan saya akan pulang kampung,” kata Abah.
Saya sangat
senang, karena diberi ke sempatan oleh Abah untuk membalas kebaikan
nya. Setelah itu saya langsung pamit. Saya tak pernah ingin menemani
Abah, jika dia sedang menikmati paginya.
Berlanjut ke tulisan 3