ABAH SUDAH PULANG 2


Cerita Pendek
oleh: Oesman Ratmadja








Tiap pukul delapan, Abah sudah di ladang Semua yang ingin Abah lakukan, segera dikerjakan. Memperbaiki pagar. Menyiangi rumput liar. Membersihkan dedaunan yang ber serakan. Atau, menimba air untuk menyiram tanaman. Setelah itu, Abah baru mencangkul. Istirahat setelah merasa tubuhnya bersimbah keringat
Saya heran, pada Abah, karena ia tak pernah mengeluh. Dalam capek atau lelah, ia hanya minum dan terus tersenyum. Ketika be lum ada hasil kebun yang bisa dijual, keluhan Abah tak pernah terdengar. Malah jika sudah ada yang bisa dituai, tapi akhirnya hilang dicuri tetangga atau dirusak oleh ternak milik tetangga- yang kerap masuk ke ladangnya, senyum itulah yang diperlihatkan
Abah tak pernah mengeluh terlebih marah.Meski singkong atau tanaman lain yang akan dituai ternyata juga telah dicuri entah oleh siapa, tetap saja abah leluasa mengurai senyum nya
Abah sudah Nur Yaqin.
Yang hilang bukan miliknya. Rezekinya hanya yang dimakan. Bila bisa menuai dan laku dijual, baru dibelanjakan setelah berinfaq Bila tetangga membutuhkan, ia tak ragu memberikan
sebagian hasil ladangnya
Dan, Abah yang pernah beberapa kali memergoki pencuri di ladangnya, selalu berha sil menangkapnya. Saya kagum pada Abah dalam hal menangkap pencuri yang kepergok di ladangnya.. Saya yakin, Abah pasti punya ilmu bela diri.
Hanya, saya sering kecewa pada Abah, setelah berhasil menangkap pencurinya, saya tak bisa berpartisipasi untuk membuatnya babak belur. Sebab, Abah malah mengajak si pencuri ke rumahnya. Saya diminta agar tidak memberitahu siapa pun. Sulit menolak permintaan Abah
Setiba di rumah, Abah mengajaknya makan. Lalu, memberinya ongkos untuk pulang dan bekal makanan untuk isteri dan anak si pencuri. Juga memberi bibit apa saja yang ada di ru mahnya. Setelah itu, Abah berpesan
“Bila manusia mau menanam bibit mentimun, di saatnya, ia tidak pernah menuai anggur atau apel.Yang pasti dituai, sejenis dengan yang ditanam. Bila manusia gemar menanam keburukan, suatu saat, dia harus ikhlas menuai celaka. Tapi, jika manusia terus menerus menanam kebaikan, dia harus bersiap menuai dan membagi berkah pada sesamanya. Sebab, berkah Allah, untuk seluruh hambanya “
Saya pernah kesal, dan memprotesnya,eh Abah malah mengajak saya makan bersama si pencuri yang ditangkapnya. Saat makan, Abah menjelaskan. Katanya, pencuri itu ada dua. Pertama, karena ia lapar lalu mencuri, tapi hatinya menangis. Kedua, karena ia serakah dan setiap berhasil mencuri, hatinya tak pernah merasa puas. Bahkan, ingin kembali dan terus mencuri
Saya hanya kenyang menikmati nasi dan lauk pauk setelah makan bersama Abah. Tapi tak mengerti mengapa tak sedikit pun merasa kenyang mendengar petuah indahnya Padahal, saya sering mendengar saat Abah menjawab, pertanyaan atau protes saya
Terus terang, saya semakin sulit memahami Abah. Sampai kini, saya belum pernah me
ngerti – terlebih memahami, mengapa Abah selalu berbuat baik dan menghadapi apapun de ngan senyum, sambil jari jemarinya terus memainkan biji tasbih
Saya justeru sering marah pada pen =curi dan selalu berpikir seribu kali, bila semua hasil panen di ladang, diberikan ke tetangga
Tiap saya marah karena hasil ladang dicuri dan tetap berpikir seribu kali jika harus memberi kepada orang lain setelah saya bersusah payah, Abah, malah kerap kali melakukannya
Saya makin tak mengerti, apakah ka rena hal itu, ladangnya tak pernah habis dari umbi, buah-buahan dan yang lainnya. Jamur terus bermunculan di ladangnya. Setiap pagi, selalu ada jamur di ladang Abah. Selain sering dijual ke pasar, juga dibagikan ke tetangga
Saya sering keblinger, karena di penghujan atau di musim kemarau, selalu diajak Abah untuk memetik jamur di ladangnya. Di ladang saya sendiri yang bersebelahan dengan ladang Abah, jamur hanya tumbuh sesekali
Abah bilang, begitulah jika Allah menghendaki. Dengan kekuasaannNya, Allah meng hidangkan hambanya bekal agar hambanya menikmati hidup makmur. Hidup makmur, menurut abah, adalah hidup yang penuh syukur dan selalu ingin memberi dengan ikhlas.
“ Tuhan pasti memberi pengganti berkali kali,” ujar Abah
Saya pernah ingin menjalani dan menikmati hidup, seperti abah. Tapi akhirnya, saya malah ingin menjalani dan menikmati hidup yang tidak seperti abah. Padahal, saya belum pernah mencatat, menghitung, dan mengkritisi kebodohan dan prilaku buruk saya.
Saya pernah bertanya, mengapa saya tak pernah bisa seperti atau setidaknya punya keinginan seperti abah? Beliau malah tertawa.
Saya bilang, saya tak suka ditertawakan.
Abah katakan, tawanya bukan karena pertanyaan saya. Abah tertawa karena juga kemauan pernah begitu lama bersemayam dalam dirinya.
“Jika setiap manusia ikhlas melepaskannya, maka kemauan itu lenyap dan manusia tak akan lenyap kecuali ajal menjemputnya. Kemauannyapun tetap ada. Tapi, kemauan yang menguatkan dan bukan kemauan yang melemahkan iman kita “
“Apa salah jika saya yang masih muda punya kemauan, dan selama saya ada, kemauan itu tetap bersama saya ?”
“Sama sekali tak salah. Malah itulah kebenaran jika menurut kamu memang seperti itulah yang benar”
“Jadi, saya tak keliru berpandangan seperti itu?”
Seperti biasa, Abah pasti tersenyum.
Lalu Abah kembali bicara.
“Setiap ciptaan Allah, dibekali kema uan. Hanya, untuk apa kemauan itu dipertahan kan, harus dipahami dan harus diolah sedemiki an rupa,agar kemauan benar-benar menjadi hik mah dan bukan menjadi selain hikmah.
Jika tidak, malah menjadi semakin asing dan akhirnya sama sekali tak pernah tahu, apakah kelak, menyelamatkan atau malah mencelakakan? Apakah nantinya membuat manusia lebih dekat dengan Sang Pencipta, atau malah semakin berjarak denganNYA “
Saya pusing jika bicara dengan Abah
Saya baru merasa senang, ketika akan pulang, Abah yang tengah menikmati paginya memanggil dan menahan saya. Saya senang ka rena diminta tolong Abah. Inilah pertama kali saya diminta Abah untuk menolongnya. Selama ini, selalu Abah yang menolong saya.
Sambil menyerahkan kunci rumahnya, Ab ah minta agar sekitar jam sebelas saya datang. Menurut Abah, sekitar jam sebelas, akan ada tamu datang ke rumahnya. Abah mengama nah kan agar saya menyampaikan amplop warna coklat untuk tamunya.
“Nanti amplop coklatnya saya letakkan di meja ruang tamu. Sekitar jam sembilan saya akan pulang kampung,” kata Abah.
Saya sangat senang, karena diberi ke sempatan oleh Abah untuk membalas kebaikan nya. Setelah itu saya langsung pamit. Saya tak pernah ingin menemani Abah, jika dia sedang menikmati paginya. 

Berlanjut ke tulisan 3