ABAH SUDAH PULANG I




Cerita Pendek
oleh: Oesman Ratmadja


SAYA selalu melihat Abah dengan penampilannya yang tak berubah: bercelana jeans, berbaju koko dan berkopiah. Tak beda dengan seminggu atau sebulan silam. Di kesendirianya, tiap usai Subuh, Abah selalu memegang tasbih. Saya yakin beliau berdzikir. Setengah jam kemudian ia pasti masuk ke dalam rumah untuk membuat kopi. Lalu, seperti biasa kembali ke teras rumah dan abah duduk di tempat yang sama.
Sambil ngopi, Abah menikmati kipasan angin pagi yang hembusannya membelai tubuh Kalau sudah begitu, Abah yang koleksi bukunya melulu tentang Islam, membuka buku yang sudah ia siapkan. Sambil terus membaca, jari jemari tangan kanannya, memilin-milin biji tasbihnya.
Abah tak terganggu oleh hiruk pikuk lingkungan yang mulai sibuk memburu dunia.
Tiap pagi, sampai pukul tujuh, selalu begitu. Yang tidak selalu, hanya warna dan model baju koko yang dikenakan dan judul buku yang dibacanya.
Saat Abah sudah asyik dengan paginya, saya selalu berinisiatif untuk pamit. Pulang ke rumah, menikmati kebodohan saya yang selalu ingat Rukmini, meski ia sudah menikah dengan lelaki lain.
Saya tak bisa terus menemani Abah, ke cuali saat bermalam di rumahnya. Bukan tak ingin. Saya hanya belum sanggup berbincang la ma dengan Abah, yang tak lagi tertarik bicara soal dunia. Sedangkan saya, tak pernah bosan
mengingat ingat Rukmini. Bagi saya, Rukmini adalah dunia saya yang hilang. Saya terus berpi kir untuk kembali mendapatkannya.
Bukan berarti Abah tak suka dunia. . Se bab, Abah pernah bilang saat ia masih muda, yang justru diintai tak ada habisnya oleh Abah, hanya kemilau dunia. Abah sempat mabuk oleh kemilaunya. Hanya, menurut Abah, semakin ia terlena mengintip dunia, hanya semakin mem buatnya mabuk, dan kemilaunya yang mema bukkan, merapuhkan jiwanya yang menuntut ketentraman. Meminta ketenangan.
Tapi, setelah sejak lima belas tahun si lam Abah mulai mengintai selain dunia, ji wanya tak lagi menggugat yang dirindukan Hingga ia bersama paginya di teras rumah sampai jam tujuh, Abah tidak tahu, apakah ia masih tertarik mengintip dunia atau malah ha nya ingin mengintai selain dunia.
Sebab, kata Abah, esok bukan masa silam dan juga bukan hari ini. Dalam jangkauan detik, manusia yang semula senyum bisa mena ngis. Abah tetap melihat dunia tapi belum ke pincut untuk kembali mengintipnya. Ia kuatir, daya mabuknya tak pernah berubah. Hanya ke milau yang justeru memisahkan jiwanya dari jangkauan ketenangan
Itu sebabnya saya tak merasa cocok me lewati pagi bersama Abah, di teras rumahnya. Kalau pun saya kerap menginah di rumahnya, tak lebih dari sekedar memenuhi hasrat, meman faatkan kebaikan Abah, yang selalu memper silahkan siapa pun untuk menikmati makan dan minum gratis, di rumah Abah.
Jadi, saya sering menginap di rumah Abah, atas keinginan pribadi dan bukan atas permintaan Abah. Bukan berarti Abah tak hen dak ditemani. Setiap malam, selalu ada anak muda yang keinginannya bermalam, tak dipe nuhi Abah.
Abah malah suka jika saya atau teman teman menginap di rumahnya
“Kalian adalah tamu istimewa. Saya wajib menjamu setiap tamu, baik yang hanya sesaat atau menginap,” selalu begitu kata Abah
Tanpa risakan Abah menyiapkan sajian
Hidangan untuk tamunya, selalu ada
Padahal, Abah tinggal sendirian.
Isterinya, minta bercerai karena tak sanggup mengikuti Abah yang semula hanya mengintip dunia lalu fokus mengintai selain dunia. Ketiga anak Abah, memilih ikut ibu mereka. Abah memberi mereka perusahaan yang pernah dibangunnya.
Begitu pun kekayaannya. Kata Abah, ia hanya mengambil secukupnya Untuk kebutuhan sehari-hari, selama dua puluh tahun. Selebihnya, Abah serahkan untuk isteri dan tiga anaknya.
Uangnya pun dititipkan pada sahabatnya yang membuat Abah kepincut menginta selain dunia, istiqomah. Setiap bulan, Abah mendapat kiriman bagian keuntungan dari uangnya yang dipakai untuk modal bisnis oleh temannya. Abah tak menyoal jumlahnya berapa. Sebab, tak meminjamkan. Tak meminta bunga. Sampai saat ini, tak pernah tersendat.
Rumah yang kini ditempati Abah, ladang yang dimanfaatkan oleh Abah untuk bercocok tanam, dibeli saat ia mulai berhasil membangun perusahaannya.
Tak hanya saya yang merasa leluasa menikmati makan dan minum gratis jika menginap di rumah Abah. Hanya, saya sendiri saja yang jika Subuh tiba, kadang berkenan jadi makmum. Meski begitu, saya sering kesal
Sebab, Abah selalu membaca Al Baqarah di rakaat pertama, dan Surah Yassin, di rakaat kedua. Tiap bermakmum, kaki saya pasti kesemutan. Itu sebabnya, kadang saya berusaha meng hindar dan bila berhasil memilih ke mushola. Tak lain karena saya belum kuat berdiri lama dalam shalat. Jadi, jika nginap dan tak bisa menghindar, harus ikhlas berdiri lama dan kesemutan
“ Lama lama kalau kamu sudah ikhlas, insya allah tak akan kesemutan. Hanya, cobalah sandingkan, kok begadang semalaman kuat sedangkan untuk beribadah tidak kuat. Tapi, kamu memang masih muda,” kata Abah, dan sampai saat ini saya belum memaknai apa yang dikatakan Abah.
Saya pernah protes pada Abah, karena menurut saya, tak harus membaca surat yang begitu panjang. Namun, Abah tak jemu menjelaskan. Katanya, itu sebabnya Abah selalu shalat Subuh di rumah. Mengapa? Karena semasa muda, setiap malam Abah kuat begadang. Kuat melek dengan berbagai kegiatan yang tak berkait dengan ibadah, karena yang dilakukan adalah kegiatan yang menjauhkan diri abah dengan Tuhan
Jadi, kata Abah, jika waktu muda ia bisa membuang waktu untuk begadang, sejak lima belas tahun silam, Abah mulai berusaha agar bisa berlama-lama dalam beribadah, baik saat shalat maupun berdzikir. Kalau sudah begitu, kata Abah, hatinya merasa tentram dan Abah bisa menghempaskan lambaian dunia.
Jika masa mudanya Abah menghabiskan waktu untuk hawa nafsu tak berfaedah, kini dikhususkan untuk hawa nafsu Mutmainah, nafsu beribadah kepada yang telah Menciptakan Abah

Lanjut ke bagian dua