oleh: Oesman Ratmadja
MENINGGALKAN
prilaku buruk, memang tak semudah meninggalkan utang di warung
rokok atau di seorang rentenir. Bahkan, lebih sulit dari mengecat es
dan menghitung buih-buih di luasnya lautan dan samudra. Tapi, siapa
pun yang punya keinginan kuat mengubah hl buruk menjadi sebaliknya,
kemungkinan bisa mewujudkan selalu terbuka. Terlebih jika
kesanggupannya melebihi kesanggupan melakukan hal buruk, jaminan
keberhasilan bakal didapat.
Siapapun yang bisa dan berhasil melakukannya, dia adalah seseorang
yang hebat.
Perkasa dalam arti sesungguhnya. Sebab, dia telah berhasil mengubah
kebodohan nurani menjadi kecerdasan yang membuat pribadinya sangat
berbeda dengan semula. Menurut orang orang bijak, itulah hasrat
tertinggi yang menjiwa ketika siapapun ingin menjadi mulia.
Hanya, apakah setelah berhasil mengubah prilaku buruk, sanggup
mengembangkan kecer dasan hatinya menjadi kemuliaan yang tangannya
selalu menyelamatkan dan mulutnya menentramkan siapa saja ?
Bagaimana jika malah kembali lagi ke masa silamnya?
Layak jika hal itu dipertanyakan
Terlebih, Bondan baru melangkah ke babak baru sebuah kehidupan.Babak
yang sebelumnya sungguh sangat asing. Selama ini ia hanya bergelut
dalam kemelut. Dalam centang perenangnya jiwa yang rapuh. Jiwa yang
hanya bergerak dan mengeluarkan suara yang ditabuh oleh materi. Oleh
hawa nafsu.
Namun, sekecil apapun, kemungkinan untuk menjadi Bondan seutuhnya,
tetap terbuka. Dan kemungkinan sekecil apa pun yang dijadikan
peluang, membuahkan harapan yang luas membentang. Dan yang
terpenting, kesadaran untuk mewujudkan terus menggeliat. Jadi,
tergantung siapa yang ingin, bagaimana cara mengubah dan motif
utamanya untuk berubah
Apakah untuk mengubah karena benar benar ingin berubah atau hanya
sebatas konpensasi saat merasa sangat jenuh dengan kondisi yang ada .
Bila karena motifnya ingin benar benar berubah, berarti kemungkian
yang secuil dan kesadaran yang tumbuh, boleh disebut sebagai hidayah,
karunia Jika sebaliknya, bukan hidayah. Tapi, cuma konpensasi
ketika rasa jenuh menikmati hal yang sama membuatnya lelah karena
yang ingin dicapai malah tidak jelas. Tidak diketahui mana ujung dan
dimanakah pangkalnya.
Bondan sadar, ia bukan tak cuma bisa kembali ke asal muasal.
Kalau keraguan masih tersisa, kalau tekad tidak sebulat keinginan
yang mutlak ingin dicapai, kalau iming-iming kemewahan masih
menyisakan pesona, ke depannya jelas kembali ke hal yang sama. Yang
itu itu juga. Bisa diartikan Bondan tak punya tekad untuk hijrah.
Hanya, Bondan tak menempatkan dirinya sedang ingin atau tidak ingin
hijrah. Bondan sebatas ingin benar benar berubah menjadi Bondan tak
lagi lemah meski kedua orangtua tak menjamahnya dengan kasih sayang
dan cinta
Pada Mbok Sinem, pun, ia tak pamit dengan alasan ingin hijrah Ia
hanya bilang akan me nikmati suasana baru dengan mondok di sebuah
pesantren di luar kota. Tempat tepatnya di mana, ia belum bisa
memastikan. Ia baru akan mencari pesantren, yang menurutnya cocok
untuk menjelajah dan menikmati hidup barunya. Tentu sam bil belajar
dan mendalami agama
“Lalu, bagaimana dengan si mbok, den ?”
“Ya, tidak harus bagaimana-bagaimana, mbok. Si mbok tetap tinggal
di sini. Toh, sebulan sekali saya pulang “
“Sendirian ? “
“Si mbok kan, pernah bilang, anak si mbok bekerja di Jakarta dan
belum punya rumah. Ajak saja dia tinggal di sini. “
“ Tapi, den ?”
“
Si mbok nggak usah kuatir. Mantu si mbok, kan tidak kerja. Saya akan
minta agar dia membantu si mbok mengurus rumah. Bilang sa ma dia,
tinggal dan makan di si sini, saya gratis kan. Tapi, jika ia juga
bekerja di sini, saya tak mau gratisan. Tiap bulan, pasti saya beri
gaji “
“Sebaiknya, apa tidak si mbok saja yang minta pensiun, den. Si
mbok siap kok, kembali ke kampung. Toh, asal usul si mbok memang ha
nya orang desa “
“ Mbok, saya masih butuh si mbok untuk jaga dan merawat rumah.
Lagipula, saya tak me nganggap si mbok orang lain. Mbok sudah saya
anggap orangtua saya “
“Tapi,mantu si mbok itu,orangnya sangat malas, den Suaminya hanya
buruh pabrik, tapi pola hidupnya, seperti orang kaya. Si mbok kua
tir, den Bondan malah….” Mbok Sinem tak bisa menuntaskan
kalimatnya.Bondan memberi isya rat agar si mbok Sinem tak terus
bicara.
“ Mbok…Apa salahnya jika dicoba. Kita beri dia kesempatan.
Barangkali saja, begitu ia tinggal bersama si mbok, prilakunya
berubah. Oke ?’
“
Tapi saya tidak ingin disalahkan, den “
“
Saya janji tak akan menyalahkan. Yang penting, jika si mbok menilai
tak ada perubahan, bilang ke saya. Kita minta dia ke luar dan saya si
ap carikan rumah kontrakan untuk anak si mbok dan keluarganya.
Sekarang, saya pamit, mbok. Hati-hati. Assalammualaikum “
Mbok sinem spontan menyahut. Membalas salam. Hatinya bergetar. Kali
pertama, Bondan yang bergegas meninggalkan rumah mengucap salam.
“
Duh Gusti…Alhamdulillah. Den Bondan sudah mulai mengucap salam.
Semoga Engkau selalu menjaga dan melindunginya , “ Mbok Si nem
mendoakan Bondan yang sudah meninggal kan rumah.
Si Mbok tersedak. Perubahan sikap Bondan, membuat mbok Sinem kembali
diselimuti keharuan karena secara pribadi merasa bangga. Terlebih,
perubahan sikap Bondan semakin memperlihatkan kemajuan. Tak hanya
memberinya kepercayaan yang begitu besar. Tapi, juga mulai
mencurahkan perhatian. Si Mbok tak menyangka, jika Bondan malah
menyuruhnya membawa satu-satunya anak lelaki, dari empat anaknya yang
selebihnya perempuan.
Mbok Sinem akan berusaha untuk menghubungi Parijan, agar ia mau
tinggal bersamanya di rumah sang majikan. Tentang menantunya yang
menyebalkan, akan dipikirkan kemudian. Tapi, semoga saja, dorongan
den Bondan, bisa membu atnya lebih dekat dengan menantunya dan ia
bisa membimbingnya. Syukur jika mau berubah dan hak dia jika ingin
tetap di jalannya..
Bersambung
0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XVII)"
Posting Komentar