BONDAN DAN TUKANG OJEK (XVII)









oleh: Oesman Ratmadja


      MENINGGALKAN prilaku buruk, memang tak semudah meninggalkan utang di warung rokok atau di seorang rentenir. Bahkan, lebih sulit dari mengecat es dan menghitung buih-buih di luasnya lautan dan samudra. Tapi, siapa pun yang punya keinginan kuat mengubah hl buruk menjadi sebaliknya, kemungkinan bisa mewujudkan selalu terbuka. Terlebih jika kesanggupannya melebihi kesanggupan melakukan hal buruk, jaminan keberhasilan bakal didapat.
          Siapapun yang bisa dan berhasil melakukannya, dia adalah seseorang yang hebat.
         Perkasa dalam arti sesungguhnya. Sebab, dia telah berhasil mengubah kebodohan nurani menjadi kecerdasan yang membuat pribadinya sangat berbeda dengan semula. Menurut orang orang bijak, itulah hasrat tertinggi yang menjiwa ketika siapapun ingin menjadi mulia.
Hanya, apakah setelah berhasil mengubah prilaku buruk, sanggup mengembangkan kecer dasan hatinya menjadi kemuliaan yang tangannya selalu menyelamatkan dan mulutnya menentramkan siapa saja ? Bagaimana jika malah kembali lagi ke masa silamnya?
         Layak jika hal itu dipertanyakan
     Terlebih, Bondan baru melangkah ke babak baru sebuah kehidupan.Babak yang sebelumnya sungguh sangat asing. Selama ini ia hanya bergelut dalam kemelut. Dalam centang perenangnya jiwa yang rapuh. Jiwa yang hanya bergerak dan mengeluarkan suara yang ditabuh oleh materi. Oleh hawa nafsu.
     Namun, sekecil apapun, kemungkinan untuk menjadi Bondan seutuhnya, tetap terbuka. Dan kemungkinan sekecil apa pun yang dijadikan peluang, membuahkan harapan yang luas membentang. Dan yang terpenting, kesadaran untuk mewujudkan terus menggeliat. Jadi, tergantung siapa yang ingin, bagaimana cara mengubah dan motif utamanya untuk berubah
        Apakah untuk mengubah karena benar benar ingin berubah atau hanya sebatas konpensasi saat merasa sangat jenuh dengan kondisi yang ada . Bila karena motifnya ingin benar benar berubah, berarti kemungkian yang secuil dan kesadaran yang tumbuh, boleh disebut sebagai hidayah, karunia Jika sebaliknya, bukan hidayah. Tapi, cuma konpensasi ketika rasa jenuh menikmati hal yang sama membuatnya lelah karena yang ingin dicapai malah tidak jelas. Tidak diketahui mana ujung dan dimanakah pangkalnya.
Bondan sadar, ia bukan tak cuma bisa kembali ke asal muasal.
Kalau keraguan masih tersisa, kalau tekad tidak sebulat keinginan yang mutlak ingin dicapai, kalau iming-iming kemewahan masih menyisakan pesona, ke depannya jelas kembali ke hal yang sama. Yang itu itu juga. Bisa diartikan Bondan tak punya tekad untuk hijrah.
Hanya, Bondan tak menempatkan dirinya sedang ingin atau tidak ingin hijrah. Bondan sebatas ingin benar benar berubah menjadi Bondan tak lagi lemah meski kedua orangtua tak menjamahnya dengan kasih sayang dan cinta
Pada Mbok Sinem, pun, ia tak pamit dengan alasan ingin hijrah Ia hanya bilang akan me nikmati suasana baru dengan mondok di sebuah pesantren di luar kota. Tempat tepatnya di mana, ia belum bisa memastikan. Ia baru akan mencari pesantren, yang menurutnya cocok untuk menjelajah dan menikmati hidup barunya. Tentu sam bil belajar dan mendalami agama
“Lalu, bagaimana dengan si mbok, den ?”
“Ya, tidak harus bagaimana-bagaimana, mbok. Si mbok tetap tinggal di sini. Toh, sebulan sekali saya pulang “
“Sendirian ? “
“Si mbok kan, pernah bilang, anak si mbok bekerja di Jakarta dan belum punya rumah. Ajak saja dia tinggal di sini. “
“ Tapi, den ?”
“ Si mbok nggak usah kuatir. Mantu si mbok, kan tidak kerja. Saya akan minta agar dia membantu si mbok mengurus rumah. Bilang sa ma dia, tinggal dan makan di si sini, saya gratis kan. Tapi, jika ia juga bekerja di sini, saya tak mau gratisan. Tiap bulan, pasti saya beri gaji “
“Sebaiknya, apa tidak si mbok saja yang minta pensiun, den. Si mbok siap kok, kembali ke kampung. Toh, asal usul si mbok memang ha nya orang desa “
“ Mbok, saya masih butuh si mbok untuk jaga dan merawat rumah. Lagipula, saya tak me nganggap si mbok orang lain. Mbok sudah saya anggap orangtua saya “
“Tapi,mantu si mbok itu,orangnya sangat malas, den Suaminya hanya buruh pabrik, tapi pola hidupnya, seperti orang kaya. Si mbok kua tir, den Bondan malah….” Mbok Sinem tak bisa menuntaskan kalimatnya.Bondan memberi isya rat agar si mbok Sinem tak terus bicara.
“ Mbok…Apa salahnya jika dicoba. Kita beri dia kesempatan. Barangkali saja, begitu ia tinggal bersama si mbok, prilakunya berubah. Oke ?’
“ Tapi saya tidak ingin disalahkan, den “
“ Saya janji tak akan menyalahkan. Yang penting, jika si mbok menilai tak ada perubahan, bilang ke saya. Kita minta dia ke luar dan saya si ap carikan rumah kontrakan untuk anak si mbok dan keluarganya. Sekarang, saya pamit, mbok. Hati-hati. Assalammualaikum “
Mbok sinem spontan menyahut. Membalas salam. Hatinya bergetar. Kali pertama, Bondan yang bergegas meninggalkan rumah mengucap salam.
“ Duh Gusti…Alhamdulillah. Den Bondan sudah mulai mengucap salam. Semoga Engkau selalu menjaga dan melindunginya , “ Mbok Si nem mendoakan Bondan yang sudah meninggal kan rumah.
Si Mbok tersedak. Perubahan sikap Bondan, membuat mbok Sinem kembali diselimuti keharuan karena secara pribadi merasa bangga. Terlebih, perubahan sikap Bondan semakin memperlihatkan kemajuan. Tak hanya memberinya kepercayaan yang begitu besar. Tapi, juga mulai mencurahkan perhatian. Si Mbok tak menyangka, jika Bondan malah menyuruhnya membawa satu-satunya anak lelaki, dari empat anaknya yang selebihnya perempuan.
Mbok Sinem akan berusaha untuk menghubungi Parijan, agar ia mau tinggal bersamanya di rumah sang majikan. Tentang menantunya yang menyebalkan, akan dipikirkan kemudian. Tapi, semoga saja, dorongan den Bondan, bisa membu atnya lebih dekat dengan menantunya dan ia bisa membimbingnya. Syukur jika mau berubah dan hak dia jika ingin tetap di jalannya..

Bersambung

0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XVII)"