BONDAN DAN TUKANG OJEK (XVI)


oleh: Oesman Ratmadja



“Aden memanggil mau titip beli rokok ?”
“ Si mbok belum jadi ke warung, kan?”
“ Yaa belum sempat den. Kan keburu dipanggil “
“ Kalau begitu, biar saya saja yang beli, gas. Sekaian beli rokok. Saya kepingin nyoba ngangkat tabung gas “
“ Eeeh, nggak usah repot-repot, den. Kita Cuma bayar, dan gas siap diantar “
“ Aaah, biar saja. Apa salahnya sesekali manggul tabung gas. “
“ Memangnya den Bondan sudah pulih benar?”
“ Kalau kuat, berarti pulih. Kalau tidak kuat, biar gasnya dibawa oleh….”
“ Si Tomo. Dia itu, hebat den. Kuat manggul dua tabung gas sekaligus “
“ Saya juga ingin punya tenaga sekuat si Tomo. Saya pergi dulu, ya, mbok “
Bondan segera meninggalkan Mbok Sinem. Lang kahnya sudah gagah. Si Mbok, hanya geleng-geleng kepa la. Sambil senyum. Tentu saja senyum senang. Sebab, duit untuk beli gas, bisa ditabung. Lumayan, untuk bekal pulang kampung. Hanya, si mbok akan terlebih dahulu mengembalikan ke Bondan. Dan, mengatakan, ini uang den Bondan, yang tadi dipakai untuk beli gas. Mbok Si nem yakin, Bondan akan menyuruh ambil untuk dia.
“ Kalau nggak suruh ambil, apa boleh buat. Berarti belum beruntung dan tidak jadi nabung “
Mbok sinem begitu riang. Riangnya, tentu saja ka rena Bondan sudah segar bugar. Sudah tidak lagi berteriak. Memanggil ibunya.
“ Astaghfirullah hal Adziem. Duh Gusti, saya lupa bilang. Tapi, aduuuuh, baiknya diam saja atau kata kan terus terang, yaa? Waah, tadi bingung karena den Bondan sakit. Sekarang, malah bingung setelah den Bon dan sudah segar. Bilang apa jangan, yaa?”
Mbok Sinem, memang orang desa. Lugu dan apa adanya. Ia memainkan jarinya. Meraba-raba hasrat, untuk lebih baik mengatakan sejujurnya, atau malah diam saja. Toh, ia tak diminta Bondan mengabarkan. Hanya ber ini siatif, karena tadi Bondan meracau. Memanggil manggil ibu.
Den Bondan juga tak menyuruhnya memberitahu ndoro Sadewa. Ia menelpon pak Sadewa, karena diminta oleh bu Susilawati . Tapi, mbok Sinem tak berani menga takan pesan ndoro Susi, yang menyuruhnya mengatakan akan menuntut suaminya, bila tak segera menjenguk dan menjaga Bondan yang sedang sakit.
Mbok Sinem bimbang. Mempertim bangkan perlu atau tidak perlu mengatakan, ibu den Bondan tak bisa datang. Begitu pun pak Sa dewa, yang hanya janji akan berusaha datang. Kalau benar datang? Jika tidak jadi karena me mang jarang menjenguk ke rumah, sementara ia sudah menyampaikan ke Bondan, apa jadinya?
“ Waaah, kayaknya nggak perlu bilang bilang, deh. Sebab, membingungkan. Toh, den Bondan sudah sehat. Mudah-mudahan saja, ng gak kumat manggil-manggil ndoro Susi lagi “
Mbok Sinem akhirnya memberanikan di ri untuk mengambil keputusan yang sesuai de ngan keyakinannya Tidak perlu mengatakan pe san ibu atau ayahnya. Tidak perlu menjelaskan, ia sudah menghubungi kedua orangtua Bondan.
Bondan baru saja membatalkan niat me manggul gas. Ia nampak meringis, sedangkan To mo yang baru saja menaikkan tabung gas ke pun daknya, tersenyum manis.
“ Orang hidup itu ada kelebihan dan keku rangan masing-masing, boss. Kalau tidak kuat di paksakan, malah bikin pundak rontok , boss “
“Saya, kan cuma kepingin nyoba. Soal nya, kalau giliran kamu nggak ada, dan di rumah kehabisan gas. Masa si mbok sendiri yang harus manggul ?”
“ Lhooo, kan banyak tukang ojek. Ting gal besuit, tukang ojek datang. Terus bilang, ba wa tabung ini ke rumah boss Bondan. Pasti lang sung diantar. Apelagi kalau di kasih bonus,” kata Tomo, yang lantas meninggalkan kios, setelah bossnya muncul dari dalam rumah.
Bondan menghampiri. Mengangsurkan lembaran seratus ribu rupiah, sekaligus minta dua bungkus rokok kretek kesukaannya. Ia tidak mengambil selembar uang kembalian senilai se puluh ribu rupiah, dari tangan pemilik warung, yang bermaksud mengembalikannya ke Bondan
“Titip buat si Tomo saja, koh ?” Kata Bondan
“ Buat si Tomo semua ?”
Koh Sie Liang Tai, tercengang.
“Yaa, iyalah, koh. Kalau buat si engkoh, nanti malah tersinggung. Masa’ yang manggul gas anak buah, yang terima uang tip, bossnya? “
“Hayyaaa, wisa aja, luh. Manalah mung kin oweh telsinggung. Dapat uang tuh, yang ada malahan senang, tau. Kalo telsinggung, namanya oweh olang bego. Tolol“
“ Tapi, itu benar untuk si Tomo, lho, koh Bukan buat koh Sie Liang Tai. Awas, kalau ng gak amanah, saya laporkan ke KPK “
“Hayyyaaa…emangnya oweh koluptol. Cetiaw juga kagak bakal oweh tilep. Apalagi ce ban? Pokoknya, loe olang mesti pelcaya. Pasti sampai ni uang tip ke si Tomo “
“ Yaa, memang harus begitu, koh. Ama nah tetap amanah. Tidak boleh berubah jadi Ami nah atau Amunah, meski cuman pakai hotpant. Dengan alasan apa pun. Oh, ya, kamsiah, ya, koh. Saya pamit “
“ Sama-sama. Kamsiah juga “
Koh Tie Liang Tai, memasukkan lemba ran uang tip buat anak buahnya ke kotak duit. Ia tak lagi memperhatikan Bondan, yang dengan santai meninggalkan wa rungnya.
Bondan menyalakan rokoknya. Ia melangkah santai. Menikmati suasana jelang Maghrib. Suasana yang jarang dinikmatinya. Dan, kali ini, ia jadi merasa asing. Padahal, ia sering lewat. Bahkan, selalu melintas jalan yang sedang ia tapaki. Hanya, biasanya, yang menyen tuh aspal, hanya roda mobilnya. Bukan sandal nya.
Namun, Bondan hanya menangkap sepi. Ia tak melihat ada yang lalu lalang. Hanya sen dirian. Melangkah. Pulang ke rumahnya. Yang besar, luas, dan mewah. Memang bukan yang isti mewa. Banyak rumah lain yang juga mewah. Lu as tanahnya, sama. Sekitar lima ratusan meter. Hanya bentuk, motif dan arsitektur desain nya.beda. Bondan tak tahu seperti apa suasana di rumah para tetangga yang tak pernah akrab de ngannya. Tapi, jelas Bondan tahu, rumahnya bu kan rumahku istanaku.
Rumahnya hanya sebatas tempat berte duh, agar terhindar terpaan hembusan angin yang bergemuruh, dari terik mentari yang panasnya menyengat, membakar kulit, dan dari derasnya guyuran hujan atau rintik gerimis, yang kesemua nya hanya membuat hatinya miris.
Kalau azan Maghrib tidak menggema, ia ingin menghentikan Tomo, yang tengah melang kah ke arahnya. Menemaninya ngobrol atau me nemaninya berkeliling, karena telah sekian lama, ia tak pernah melakukannya
Bondan hanya menghentikan Tomo. Sete lah merogoh dompet, mengambil selembar lima puluh ribuan, Bondan menyodorkannya ke Tomo
“Tips antar tabung gas,” kata Bondan, menegaskan dan berharap Tomo segera menerima timbang mesti tercengan.
“ Buat makan malam dan beli rokok,” kata Bondan yang dengan gerak cepat lantas me masukkan ke saku baju Tomo dan bergegas meninggalkan Tomo, yang akan kembali ke toko engkoh Tie Liang Tai, bossnya.
Setelah Bondan berbalik dan melangkah pulang, Tomo segera merogoh sakunya dan begitu yakin yang dimasukkan ke sana selembar uang lima puluh ribuan, dia menatap Bondan
“ Terima kasih, boss. Semoga rezeki boss makin berlimpah ruah,” kata Tomo, yang sama sekali tak terdengar oleh Bondan. Terlebih pemuda itu sudah berkelok ke gang menuju rumahnya.
Bondan menatap, memandang. Entah takjub entah heran. Tomo seperti tak percaya pada kenyataan. Padahal, lembaran lima puluh ribuan, sudah di tangannya. Ia yakin, yang diterima dari Bondan sebagai uang tips bukan uang palsu atau uang untuk main monopoli. Tapi, uang asli.
Senyum Tomo pun mengembang. Ia sempat mencium kertas berharga di tangannya. Dan, jika ia sampai ke toko tempatnya bekerja, ia pasti akan kembali ternganga. Terlebih, jika bossnya benar-benar jujur dan langsung menyerahkan uang tips yang dititipkan Bondan untuk Tomo.
“ Edan… sudah nitip uang tip sama boss, kok barusan, di jalan, memberi uang tip lagi? Malah, lebih besar. Oh, tengkiyu Tuhan “
Bisa saja sambil ngelonjak kegirangan, Tomo bilang seperti itu. Toh, ekpresinya tak dipamerkan di hadadapan Bondan. Jadi, hanya dia yang tahu betapa kerja kerasnya hari ini menghasilkan rasa riang yang mendalam


Bersambung............




0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XVI)"