oleh: Oesman Ratmadja
“Aden memanggil mau titip beli rokok ?”
“ Si mbok belum jadi ke warung, kan?”
“ Yaa belum sempat den. Kan keburu dipanggil “
“ Kalau begitu, biar saya saja yang beli, gas. Sekaian beli rokok.
Saya kepingin nyoba ngangkat tabung gas “
“ Eeeh, nggak usah repot-repot, den. Kita Cuma bayar, dan gas siap
diantar “
“ Aaah, biar saja. Apa salahnya sesekali manggul tabung gas. “
“ Memangnya den Bondan sudah pulih benar?”
“ Kalau kuat, berarti pulih. Kalau tidak kuat, biar gasnya dibawa
oleh….”
“ Si Tomo. Dia itu, hebat den. Kuat manggul dua tabung gas
sekaligus “
“ Saya juga ingin punya tenaga sekuat si Tomo. Saya pergi dulu, ya,
mbok “
Bondan segera meninggalkan Mbok Sinem. Lang kahnya sudah gagah. Si
Mbok, hanya geleng-geleng kepa la. Sambil senyum. Tentu saja senyum
senang. Sebab, duit untuk beli gas, bisa ditabung. Lumayan, untuk
bekal pulang kampung. Hanya, si mbok akan terlebih dahulu
mengembalikan ke Bondan. Dan, mengatakan, ini uang den Bondan, yang
tadi dipakai untuk beli gas. Mbok Si nem yakin, Bondan akan menyuruh
ambil untuk dia.
“ Kalau nggak suruh ambil, apa boleh buat. Berarti belum beruntung
dan tidak jadi nabung “
Mbok sinem begitu riang. Riangnya, tentu saja ka rena Bondan sudah
segar bugar. Sudah tidak lagi berteriak. Memanggil ibunya.
“ Astaghfirullah hal Adziem. Duh Gusti, saya lupa bilang. Tapi,
aduuuuh, baiknya diam saja atau kata kan terus terang, yaa? Waah,
tadi bingung karena den Bondan sakit. Sekarang, malah bingung setelah
den Bon dan sudah segar. Bilang apa jangan, yaa?”
Mbok Sinem, memang orang desa. Lugu dan apa adanya. Ia memainkan
jarinya. Meraba-raba hasrat, untuk lebih baik mengatakan sejujurnya,
atau malah diam saja. Toh, ia tak diminta Bondan mengabarkan. Hanya
ber ini siatif, karena tadi Bondan meracau. Memanggil manggil ibu.
Den Bondan juga tak menyuruhnya memberitahu ndoro Sadewa. Ia menelpon
pak Sadewa, karena diminta oleh bu Susilawati . Tapi, mbok Sinem tak
berani menga takan pesan ndoro Susi, yang menyuruhnya mengatakan akan
menuntut suaminya, bila tak segera menjenguk dan menjaga Bondan yang
sedang sakit.
Mbok Sinem bimbang. Mempertim bangkan perlu atau tidak perlu
mengatakan, ibu den Bondan tak bisa datang. Begitu pun pak Sa dewa,
yang hanya janji akan berusaha datang. Kalau benar datang? Jika tidak
jadi karena me mang jarang menjenguk ke rumah, sementara ia sudah
menyampaikan ke Bondan, apa jadinya?
“ Waaah, kayaknya nggak perlu bilang bilang, deh. Sebab,
membingungkan. Toh, den Bondan sudah sehat. Mudah-mudahan saja, ng
gak kumat manggil-manggil ndoro Susi lagi “
Mbok Sinem akhirnya memberanikan di ri untuk mengambil keputusan
yang sesuai de ngan keyakinannya Tidak perlu mengatakan pe san ibu
atau ayahnya. Tidak perlu menjelaskan, ia sudah menghubungi kedua
orangtua Bondan.
Bondan baru saja membatalkan niat me manggul gas. Ia nampak meringis,
sedangkan To mo yang baru saja menaikkan tabung gas ke pun daknya,
tersenyum manis.
“ Orang hidup itu ada kelebihan dan keku rangan masing-masing,
boss. Kalau tidak kuat di paksakan, malah bikin pundak rontok , boss
“
“Saya, kan cuma kepingin nyoba. Soal nya, kalau giliran kamu nggak
ada, dan di rumah kehabisan gas. Masa si mbok sendiri yang harus
manggul ?”
“ Lhooo, kan banyak tukang ojek. Ting gal besuit, tukang ojek
datang. Terus bilang, ba wa tabung ini ke rumah boss Bondan. Pasti
lang sung diantar. Apelagi kalau di kasih bonus,” kata Tomo, yang
lantas meninggalkan kios, setelah bossnya muncul dari dalam rumah.
Bondan menghampiri. Mengangsurkan lembaran seratus ribu rupiah,
sekaligus minta dua bungkus rokok kretek kesukaannya. Ia tidak
mengambil selembar uang kembalian senilai se puluh ribu rupiah, dari
tangan pemilik warung, yang bermaksud mengembalikannya ke Bondan
“Titip buat si Tomo saja, koh ?” Kata Bondan
“ Buat si Tomo semua ?”
Koh Sie Liang Tai, tercengang.
“Yaa, iyalah, koh. Kalau buat si engkoh, nanti malah tersinggung.
Masa’ yang manggul gas anak buah, yang terima uang tip, bossnya? “
“Hayyaaa, wisa aja, luh. Manalah mung kin oweh telsinggung. Dapat
uang tuh, yang ada malahan senang, tau. Kalo telsinggung, namanya
oweh olang bego. Tolol“
“ Tapi, itu benar untuk si Tomo, lho, koh Bukan buat koh Sie Liang
Tai. Awas, kalau ng gak amanah, saya laporkan ke KPK “
“Hayyyaaa…emangnya oweh koluptol. Cetiaw juga kagak bakal oweh
tilep. Apalagi ce ban? Pokoknya, loe olang mesti pelcaya. Pasti
sampai ni uang tip ke si Tomo “
“ Yaa, memang harus begitu, koh. Ama nah tetap amanah. Tidak boleh
berubah jadi Ami nah atau Amunah, meski cuman pakai hotpant. Dengan
alasan apa pun. Oh, ya, kamsiah, ya, koh. Saya pamit “
“ Sama-sama. Kamsiah juga “
Koh Tie Liang Tai, memasukkan lemba ran uang tip buat anak buahnya
ke kotak duit. Ia tak lagi memperhatikan Bondan, yang dengan santai
meninggalkan wa rungnya.
Bondan menyalakan rokoknya. Ia melangkah santai. Menikmati suasana
jelang Maghrib. Suasana yang jarang dinikmatinya. Dan, kali ini, ia
jadi merasa asing. Padahal, ia sering lewat. Bahkan, selalu melintas
jalan yang sedang ia tapaki. Hanya, biasanya, yang menyen tuh aspal,
hanya roda mobilnya. Bukan sandal nya.
Namun, Bondan hanya menangkap sepi. Ia tak melihat ada yang lalu
lalang. Hanya sen dirian. Melangkah. Pulang ke rumahnya. Yang besar,
luas, dan mewah. Memang bukan yang isti mewa. Banyak rumah lain yang
juga mewah. Lu as tanahnya, sama. Sekitar lima ratusan meter. Hanya
bentuk, motif dan arsitektur desain nya.beda. Bondan tak tahu seperti
apa suasana di rumah para tetangga yang tak pernah akrab de ngannya.
Tapi, jelas Bondan tahu, rumahnya bu kan rumahku istanaku.
Rumahnya hanya sebatas tempat berte duh, agar terhindar terpaan
hembusan angin yang bergemuruh, dari terik mentari yang panasnya
menyengat, membakar kulit, dan dari derasnya guyuran hujan atau
rintik gerimis, yang kesemua nya hanya membuat hatinya miris.
Kalau azan Maghrib tidak menggema, ia ingin menghentikan Tomo, yang
tengah melang kah ke arahnya. Menemaninya ngobrol atau me nemaninya
berkeliling, karena telah sekian lama, ia tak pernah melakukannya
Bondan hanya menghentikan Tomo. Sete lah merogoh dompet, mengambil
selembar lima puluh ribuan, Bondan menyodorkannya ke Tomo
“Tips antar tabung gas,” kata Bondan, menegaskan dan berharap
Tomo segera menerima timbang mesti tercengan.
“ Buat makan malam dan beli rokok,” kata Bondan yang dengan
gerak cepat lantas me masukkan ke saku baju Tomo dan bergegas
meninggalkan Tomo, yang akan kembali ke toko engkoh Tie Liang Tai,
bossnya.
Setelah Bondan berbalik dan melangkah pulang, Tomo segera merogoh
sakunya dan begitu yakin yang dimasukkan ke sana selembar uang lima
puluh ribuan, dia menatap Bondan
“ Terima kasih, boss. Semoga rezeki boss makin berlimpah ruah,”
kata Tomo, yang sama sekali tak terdengar oleh Bondan. Terlebih
pemuda itu sudah berkelok ke gang menuju rumahnya.
Bondan menatap, memandang. Entah takjub entah heran. Tomo seperti
tak percaya pada kenyataan. Padahal, lembaran lima puluh ribuan,
sudah di tangannya. Ia yakin, yang diterima dari Bondan sebagai uang
tips bukan uang palsu atau uang untuk main monopoli. Tapi, uang
asli.
Senyum Tomo pun mengembang. Ia sempat mencium kertas berharga di
tangannya. Dan, jika ia sampai ke toko tempatnya bekerja, ia pasti
akan kembali ternganga. Terlebih, jika bossnya benar-benar jujur dan
langsung menyerahkan uang tips yang dititipkan Bondan untuk Tomo.
“ Edan… sudah nitip uang tip sama boss, kok barusan, di jalan,
memberi uang tip lagi? Malah, lebih besar. Oh, tengkiyu Tuhan “
Bisa saja sambil ngelonjak kegirangan, Tomo bilang seperti itu. Toh,
ekpresinya tak dipamerkan di hadadapan Bondan. Jadi, hanya dia yang
tahu betapa kerja kerasnya hari ini menghasilkan rasa riang yang
mendalam
Bersambung............
0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (XVI)"
Posting Komentar