oleh: Oesman Ratmadja
Ada keharuan di wajah
Mbok Sinem, saat ia menerima tujuh ratus ribu rupiah. Juga ada
keharuan di wajah Bondan, setelah mbok Sinem meninggalkan kamarnya.
Bondan begitu sulit
melupakan hari itu.
Hari yang menurutnya sangat bersejarah. Hari di
mana ia bisa menilai, siapa sebenarnya rekan-rekannya. Kalau saja ia
tidak menyadari, prilaku buruknya bisa membahayakan diri sendiri,
kalau saja ia tak bertekad untuk lupa dan sengaja melupakan kebiasaan
buruk yang ia lakukan, dan sengaja melupakan kawan-kawan yang selama
ini dianggap kawan--tapi sebenarnya bukan kawan. Boleh jadi, Bondan
masih berada dan tetap akrab di sana. Tetap di dunianya yang lama,
dunia buram yang menggeliat dan mengerang di tengah malam
Di lintas kehidupan
yang malah bangga bisa bermabuk mabukan. Malah puas kelayapan se
panjang malam, tak merasa ngantuk dan saat te ler berat, pelukan
hangat para abg, membuat nya terus terangsang. Terus dan terus
dilakukan Sela lu dianggap indah karena yang nampak di dalam nya,
hanya pesona yang memuaskan jiwa.
Padahal, hanya
nikmat dan kepuasan paling sekejap mata. Bahkan, tanpa makna. Tanpa
arti apalagi hakekat. Semua hanya kesia-siaan tak terhingga.
Kesia-siaan yang malah semakin luas, yang akhirnya hanya berbuah
naas. Naas yang ujung-ujungnya hanya membuahkan satu hal, yaitu:
penyesalan. Jika sudah sampai ke tahap yang paling niskala, yang
namanya penyesalan lebih sia-sia dari kesia-siaan itu sendiri
Bondan tak cuma
ingin lupa pada kelakuan bu ruknya. Ia sengaja melupakan, karena yang
ia inginkan adalah sesal yang tetap berguna, bukan sesal yang
kemudian sama sekali tidak berguna. Tapi, bukan berarti Bondan merasa
telah benar-benar berhasil menyelesaikan masalahnya. Ia baru bisa
membebaskan diri dari satu masalah. Sama sekali belum bebas dari
masalah lainnya.
Bondan sadar,
masalah yang dihadapinya sangat berat. Lebih berat dari para pejuang
Pa lestina, yang hingga kini, masih terus berkutat bersama semangat
mereka menghadapi Israel, yang dengan dzolim mencaplok wilayah dan
kemerdekaan orang-orang Palestina. Lebih berat dari beban yang
dipikul di pundak Presiden atau Menteri, yang katanya berjuang hanya
untuk mensejahhterakan rakyat, dan bukan untuk mensejahterakan
kelompok dan pribadinya
“ Tuhan…jika
hamba tak sanggup mengubah prilaku buruk, hamba serahkan dan hamba
pasrahkan segalanya hanya kepadaMu. Jika hamba sanggup, berikanlah
kemudahan agar hamba selalu bisa melihat jalan kebaikan itu semakin
terang benderang. Sehingga, langkah hamba hanya mengarah ke jalanMU.
Hamba ingin berubah. Tuhanku…Beri hamba kekuatan yang penuh dan
menyeluruh“
Bondan mulai kerap
berdo’a. Kembali berwudhu, menggelar sajadah, melaksanakan shalat.
Mulai merasakan betapa nikmatnya saat ruku, waktu sujud, dan ketika
berserah diri ke pada Rabb. Kepada Tuhan Semesta Alam, yang telah
melimpahkannya karunia dan hidayah. Dalam linangan air mata, yang
mengucur dengan sendirinya. Dan di saat seperti itu, Bondan mulai
merasakan, betapa ketenangan dan ketentraman, membuatnya semakin
ingin melupakan masa lalu dan semua yang pernah ia lakukan
Untungnya, saat
itu Bondan tak pernah kepincut menggunakan obat-obat terlarang. Ia
hanya mabuk minuman keras. Tidak opium, sabu, ganja, ekstasy atau
obat terlarang lainnya. Kalau saja Bondan sempat bersentuhan dengan
obat-obatan terlarang, ia yakin, kesadarannya sudah hilang. Ia pasti
semakin sulit mengubah prilaku. Tak mudah membebaskan diri jika
pengaruh obat terlarang sudah bersarang dalam tubuh dan merusak jiwa
manusia.
Bondan bersyukur
pada Rabb, Tuhan Yang Menghidupkan dan Mematikan manusia, karena
merasa diberi karunia dan hidayah. Bondan berjanji, ia akan
memanfaatkan hikmah yang terkandung di dalam karunia dan hidayah yang
diperolehnya.
Bagaimana
caranya, itulah yang selalu dipikirkan. Bagaimana agar awal
kebangkitan kesadaran yang mulai melekat di jiwanya, yang tentu saja
menyulitkan untuk memulainya, bisa segera start, memang memberatkan.
Terlebih, cukup lama Bondan berkubang di kebiasaan yang
menjerumuskannya ke prilaku buruk.
Tapi, ketika ia
sudah mulai melaksanakan dan bisa, kemudahan untuk membangun dan
menjadikannya sebagai hal biasa dan mengembangkannya menjadi
kebiasaan, tentu saja tak akan menyulitkan lagi.
Itulah yang
harus terus menerus diperjuangkan. Setelah bisa lupa dan bisa
sengaja melu pakan kebiasaan buruknya, Bondan kerap mempertanyakan.
“Sanggupkah
aku melangkah ke tahap beri kutnya, dan selamat dalam perjalanan?”
Bondan yang
sudah punya tekad, berjanji untuk terus berbuat dan berbuat
Bersambung.....
0 Response to "BONDAN dan TUKANG OJEK (VI)"
Posting Komentar