BONDAN dan TUKANG OJEK (VI)


oleh: Oesman Ratmadja
 

Ada keharuan di wajah Mbok Sinem, saat ia menerima tujuh ratus ribu rupiah. Juga ada keharuan di wajah Bondan, setelah mbok Sinem meninggalkan kamarnya.
Bondan begitu sulit melupakan hari itu. 
Hari yang menurutnya sangat bersejarah. Hari di mana ia bisa menilai, siapa sebenarnya rekan-rekannya. Kalau saja ia tidak menyadari, prilaku buruknya bisa membahayakan diri sendiri, kalau saja ia tak bertekad untuk lupa dan sengaja melupakan kebiasaan buruk yang ia lakukan, dan sengaja melupakan kawan-kawan yang selama ini dianggap kawan--tapi sebenarnya bukan kawan. Boleh jadi, Bondan masih berada dan tetap akrab di sana. Tetap di dunianya yang lama, dunia buram yang menggeliat dan mengerang di tengah malam
Di lintas kehidupan yang malah bangga bisa bermabuk mabukan. Malah puas kelayapan se panjang malam, tak merasa ngantuk dan saat te ler berat, pelukan hangat para abg, membuat nya terus terangsang. Terus dan terus dilakukan Sela lu dianggap indah karena yang nampak di dalam nya, hanya pesona yang memuaskan jiwa.
Padahal, hanya nikmat dan kepuasan paling sekejap mata. Bahkan, tanpa makna. Tanpa arti apalagi hakekat. Semua hanya kesia-siaan tak terhingga. Kesia-siaan yang malah semakin luas, yang akhirnya hanya berbuah naas. Naas yang ujung-ujungnya hanya membuahkan satu hal, yaitu: penyesalan. Jika sudah sampai ke tahap yang paling niskala, yang namanya penyesalan lebih sia-sia dari kesia-siaan itu sendiri
Bondan tak cuma ingin lupa pada kelakuan bu ruknya. Ia sengaja melupakan, karena yang ia inginkan adalah sesal yang tetap berguna, bukan sesal yang kemudian sama sekali tidak berguna. Tapi, bukan berarti Bondan merasa telah benar-benar berhasil menyelesaikan masalahnya. Ia baru bisa membebaskan diri dari satu masalah. Sama sekali belum bebas dari masalah lainnya.
Bondan sadar, masalah yang dihadapinya sangat berat. Lebih berat dari para pejuang Pa lestina, yang hingga kini, masih terus berkutat bersama semangat mereka menghadapi Israel, yang dengan dzolim mencaplok wilayah dan kemerdekaan orang-orang Palestina. Lebih berat dari beban yang dipikul di pundak Presiden atau Menteri, yang katanya berjuang hanya untuk mensejahhterakan rakyat, dan bukan untuk mensejahterakan kelompok dan pribadinya
“ Tuhan…jika hamba tak sanggup mengubah prilaku buruk, hamba serahkan dan hamba pasrahkan segalanya hanya kepadaMu. Jika hamba sanggup, berikanlah kemudahan agar hamba selalu bisa melihat jalan kebaikan itu semakin terang benderang. Sehingga, langkah hamba hanya mengarah ke jalanMU. Hamba ingin berubah. Tuhanku…Beri hamba kekuatan yang penuh dan menyeluruh“
Bondan mulai kerap berdo’a. Kembali berwudhu, menggelar sajadah, melaksanakan shalat. Mulai merasakan betapa nikmatnya saat ruku, waktu sujud, dan ketika berserah diri ke pada Rabb. Kepada Tuhan Semesta Alam, yang telah melimpahkannya karunia dan hidayah. Dalam linangan air mata, yang mengucur dengan sendirinya. Dan di saat seperti itu, Bondan mulai merasakan, betapa ketenangan dan ketentraman, membuatnya semakin ingin melupakan masa lalu dan semua yang pernah ia lakukan
Untungnya, saat itu Bondan tak pernah kepincut menggunakan obat-obat terlarang. Ia hanya mabuk minuman keras. Tidak opium, sabu, ganja, ekstasy atau obat terlarang lainnya. Kalau saja Bondan sempat bersentuhan dengan obat-obatan terlarang, ia yakin, kesadarannya sudah hilang. Ia pasti semakin sulit mengubah prilaku. Tak mudah membebaskan diri jika pengaruh obat terlarang sudah bersarang dalam tubuh dan merusak jiwa manusia.
Bondan bersyukur pada Rabb, Tuhan Yang Menghidupkan dan Mematikan manusia, karena merasa diberi karunia dan hidayah. Bondan berjanji, ia akan memanfaatkan hikmah yang terkandung di dalam karunia dan hidayah yang diperolehnya.
Bagaimana caranya, itulah yang selalu dipikirkan. Bagaimana agar awal kebangkitan kesadaran yang mulai melekat di jiwanya, yang tentu saja menyulitkan untuk memulainya, bisa segera start, memang memberatkan. Terlebih, cukup lama Bondan berkubang di kebiasaan yang menjerumuskannya ke prilaku buruk.
Tapi, ketika ia sudah mulai melaksanakan dan bisa, kemudahan untuk membangun dan menjadikannya sebagai hal biasa dan mengembangkannya menjadi kebiasaan, tentu saja tak akan menyulitkan lagi.
Itulah yang harus terus menerus diperjuangkan. Setelah bisa lupa dan bisa sengaja melu pakan kebiasaan buruknya, Bondan kerap mempertanyakan.
“Sanggupkah aku melangkah ke tahap beri kutnya, dan selamat dalam perjalanan?”
Bondan yang sudah punya tekad, berjanji untuk terus berbuat dan berbuat

Bersambung.....

0 Response to "BONDAN dan TUKANG OJEK (VI)"