oleh: Oesman Ratmadja
Saking senangnya,
Mbok Sinem jadi terharu. Bagaimana tidak, jika tugasnya yang
sedemikian ringan, dibayar kontan dengan tujuh lembar ratusan ribu. Malah, Bondan berjanji akan menggenapkannya jadi sejuta. Ah, mbok Sinem jadi agak bingung. Tapi setelah sejenak merenung, si mbok berjanji tak akan mengingatkan den Bondan untuk menambah bonusnya
"Segini saja aku sudah sangat bersyukur, mengapa mesti tergoda mengingatkan den Bondan agar membulatkan jadi sejuta. Sinem... Sinem... teruslah berusaha untuk tidak serakah," gumam batin mbok Sinem.
Bondan begitu
sulit melupakan hari itu.
Hari yang menurutnya sangat bersejarah.
Hari di mana ia jadi bisa menilai, siapa dan bagaimana
rekan-rekannya. Kalau saja ia tidak mengalami, Bondan yakin, suatu
saat dirinya bisa celaka. Jika saja tekadnya tidak kuat untuk
mengubah kebiasaan lama dengan menjauhkan diri dari kawan-kawan
yang selama ini dianggap kawan-- tapi ternyata tidak dalam arti sesungguhnya, boleh
jadi, Bondan masih berada dan tetap bersama mereka. Tetap di kehidupan yang
sekilas begitu indah dan mengasyikkan, tapi sebenarnya mencelakakan
Di lintas kehidupan
yang sepanjang malam kelayapan, mabuk mabukan, menikmati kehangatan
memeluk dan dipeluk para abg dan tak kenal berhenti menyeruak malam,
ternyata hanya geliat tak terkendali dari jiwa yang kekeringan
perhatian dan kasih sayang.
Toh, ujungnya tetap
hampa. Tetap tak mendapatkan apapun, selain lelah dan lelah.Kalau pun ada nikmat,
hampa manfaat. Kalau pun ada kepuasaan, hanya seketika dan yang
kemudian kembali dirasakan tak lebih dari sia sia. Sama sekali tak
bermakna. Buahnya bukan kebahagiaan hakiki. Tapi kebahagiaan semu.
Kebahagiaan yang di dalamnya sama sekali tak melekat hakekat.
Dan Bondan tetap kembali dan kembali lagi ke hal serupa, dan sia sia
Kesia-siaan yang jika
berulang dan terus berulang dan tanpa berusaha menghalang, ketika
semakin meluas boleh jadi hanya membuat dirinya terhempas.
Bondan tak cuma ingin
menjauhi kebiasaan buruknya. Bondan yakin, dirinya bisa melupakan
semua yang pernah disentuh dan dimanjakan. Bondan tak ingin sampai ke
titik sesal tak berguna. Kalau akhirnya ia merasa menyesal, yang diharapkan dan diinginkan adalah sesal yang masih mendatangkan manffat dan tetap bedaya guna.
Bukan berarti Bondan merasa
telah benar-benar berhasil menyelesaikan masalahnya. Ia baru sebatas membebaskan diri dari ruang pergaulan yang sama sekali tak tertata.
Belum sepenuhnya bebas dari berbagai ruang yang siap mencengkram siapa saja
termasuk dirinya
Bondan sadar,
masalah yang dihadapinya sangat berat. Lebih berat dari para pejuang
Palestina, yang kalau pun mereka harus berperang, sangat mengerti
dan paham untuk apa mengorbankan harta dan nyawa. Lebih berat dari
beban yang dipikul oleh Presiden dan para menterinya, yang kalau pun
menyatakan siap berjuang untuk mensejahhterakan rakyat, bukan
untuk mensejahterakan kelompok dan pribadinya.Meski dalam kenyataan. beda ucapan dan tindakan malah dianggap hal biasa.
Berjuang agar mengenal
dan memahami diri sendiri, memang jauh lebih berat dari perang itu
sendiri. Sebab, perang di medan lagi tahu siapa musuh dan apa target
yang akan dicapai. Sedangkan Bondan, sama sekali belum paham apa dan siapa
musuh sebenarnya, dan bagaimana cara memperjuangkannya, mesti yang dinginkan sama, menang dalam peperangan
“ Tuhan…jika
hamba tak sanggup mengubah prilaku buruk, hamba serahkan dan hamba
pasrahkan semua masalah hamba hanya kepadaMu. Jika hamba sanggup, berikanlah
kemudahan agar hamba selalu bisa melihat jalan kebenaran yang di dalamnya mengandung berbagai kebaikan, semakin
terang benderang. Sehingga, langkah hamba hanya mengarah ke jalanMU.
Hamba ingin berubah. Tuhanku…Beri hamba kemampuan yang penuh dan
menyeluruh“
Bondan mulai menikmati indahnya hidup dengan berdo’a. Seketika, Bondan seperti lupa betapa sulitnya menjadi diri sendiri. Dari hal yang sekian lama tak dilakukan, Bondan tergerak untuk membasahi tubuhnya dengan wudhu. Menyinari batinnya dengan sujud dan ruku'
Seberat apapun, Bondan mulai belajar melakukan hal yang kembali dijalani dengan ikhlas. Dengan rasa syukur yang
mendalam. Bukankah seorang hamba seperti dirinya memang punya kewajiban yang
sama, menyembah dan mengesakan Sang Pincipta Siang dan Malam.
Memang terasa berat
saat mulai berusaha mensucikan tubuh dengan air wudhu dan mensucikan
hati dengan ruku' dan sujud, dan bacaan shalat yang telah sekian
lama terabaikan.
Dan ketika hasrat berserah diri kepada Sang
pencipta mulai kembali dilakukan, Bondan berusaha menghimpun
kemampuan agar keinginan yang mulai dirindukan bisa terus menerus dilaksanakan.
Bondan yakin, jika sudah bisa mengawali yang selama ini dirasakan
sulit, ia akan terbiasa.
Bondan mulai merasakan air matanya
berjatuhan. Linangan air mata yang mengucur dengan sendirinya dari
kedua pelupuk mata, seperti magnit. Kekuatan dan daya sedotnya yang
sedemikian tinggi, seperti mengajak Bondan mengingat semua yang telah
dilakukan.
Di saat saat
seperti itu, Bondan mulai merasakan, betapa banyak manfaat yang
didapat ketika dirinya mengingat masa yang harus dianggapnya silam, masa dimana dirinya
hanya larut dalam lakon indah yang memporak porandakan jiwa. Masa di mana
kebodohan demi kebodohan dilaluinya karena hawa nafsu yang
sedemikian kuat memperdaya, membuat dirnya tak mampu mengingat apa
yang lebih pantas dan lebih layak untuk diingat.
Dalam kondisi
seperti itu, Bondan malah menganggap lebih penting mengingat apa
yang patut dan layak dia ingat sesuai dengan yang dia inginkan, sejalan dengan geliat hawa nafsu yang hanya mengajaknya mengejar
kepuasan demi kepuasan. Meski sesungguhnya kepuasan yang kalau pun berbuah nikmat, hanya seketika. Malah, abstrud.
Begitu mudahnya Bondan terbawa dan kalau saja ia tak
kuasa mendeteksi dengan apa yang terjadi, ia mungkin akan hanyut dan
akhirnya tenggelam. Tak seorang pun yang akan peduli untuk membantu menyelamatkan dirinya, kecuali diri Bondan sendiri.
Mengingat semua yang
masih terlihat jelas di pelupuk mata, Bondan tak sanggup menepis
rasa bersalah yang terbit seketika. Tertulis dengan jelas, karena bak berita di koran atau majalah, yang menguraikan aneka peristiwa. Bondan
membacanya dengan begitu seksama
Bondan sesenggukan
sendirian, di kamarnya yang mulai terhampar sajadah. Di kamar pribadi
Bondan yang sekian lama tak menggema doa, mulai terdengar lantun doa
saat Bondan bersujud dan setelah Bondan menutup shalatnya dengan
salam.
Bersambung.....
0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (VII)"
Posting Komentar