SKETSA PAK BELALANG

oleh : Oesman Ratmadja



KALAU Pak Belalang sedih dan duduk sendiri - bukan lantaran mamanya pergi dan papanya juga pergi. Sebab, pak Belalang sudah nggak punya mami dan nggak punya bokap. Sejak usianya dua belas tahun, pak Belalang sudah yatim dan nggak lama berselang, nyokapnya wafat. Sejak itu, pak Belalang menyandang yatim piatu. 

Saat itu, orang yang mengenalnya, memanggil dia cukup dengan hai Belalang. Sekarang, kalau ada yang memanggil hai Belalang tanpa ada kata: pak atau jadi Pak Belalang, beliau menganggap yang memanggilnya tak bisa membedakan mana anak muda dan mana orangtua.

Lalu, apa yang membuat pak Belalang duduk sendiri dengan roman muka super sedih ?

Sumpah, bukan lantaran bisulnya tidak pecah pecah meski sudah matang. Juga bukan lantaran di pipi beliau tumbuh jerawat sehingga mengurangi kegantengannya. Juga bukan lantaran belum bayar iuran BPJS selama tiga bulan, lantas takut gak punya akses untuk berobat

Pak Belalang sedih karena dua anaknya yang masih duduk di kelas tiga dan kelas satu sekolah menengah pertama, dengan kekompakannya yang luar biasa, meminta agar pak Belalang segera membeli mobil. Kedua anaknya yang belum pernah diberi alat canggih, ternyata tau dari koran dan tv, kalau pemerintah sudah  meluncurkan mobil khusus untuk rkayat kecil dengan harga sangat murah tapi tetap sulit bagi pak Belalang untuk membelinya

"Nah... kita ini, kan rakyat kecil, pak. Jadi, kalau kata pemerintah harus beli mobil murah, tak elok jika bapak menolak," kata Moheng bin Belalang yang duduk di kelas tiga

"Iya, pak," samber adiknya Moheng yang duduk di kelas satu SMP dan diberi nama Mehong.
"Kami sudah bosan, pak, bergelayutan di metro mini yang mobilnya sudah rombeng dan kondekturnya selalu bilang kosong..kosong..kosong padahal di dalam sudah penuh sesak," tambah Mehong

"Mumpung harganya murah, jangan sampai ketinggalan, pak. Sebab, sampai saat ini di Jakarta belum ada angkutan yang bayarnya murah, layanannya memuaskan dan sepanjang perjalanan aman dari gangguan copet, pengamen dan tukang palak," kata Moheng yang bicaranya seperti menggugat agar secepatnya sang ayah membeli mobil murah.

Pak Belalang bukan malas menjelaskan pada dua anaknya kalau dia tak punya uang, dan penghasilannya tidak pernah berlebihan. Malah, mau draw alias pas pasan saja, kadangkala harus berhemat dengan cara puasa. Jika tidak, setiap bulan malah ditegur oleh pepatah yang berbunyi lebih besar pasak dari tiang.

Meski begitu, pak Belalang mengatakan pada anaknya, agar mereka rajin berdoa sehingga rezeki berlimpah datang dengan mudah ke ayahnya, yang bekerja sebagai tukang bangunan. Dengan begitu, kata pak Belalang, kita bisa beli mobil murah yang sebenarnya mahal karena untuk membeli sembako saja susah.

Itu sebabnya pak Belalang sedih dan meski sudah larut malam doski masih saja duduk sendiri. Untung, duduknya di teras rumah kontrakan yang lumayan sempit. Coba kalau di pemakaman, pasti dituding akan mencuri mayat yang dikubur atau sedang reuni dengan para mahluk gaib.

Mengapa kesedihan pak Belalang jadi luas seperti panjang di kali lebar ?

Karena doski yakin, dengan kondisinya yang hanya tukang bangunan, sampai ajal tiba belum tentu bisa membeli mobil, kecuali hoki terbaik datang mendadak tanpa kasih kabar. Tanpa hoki, dengan penghasilan yang pas pasan, yang untuk biaya anak anak sekolah dan lain lain, justeru lebih tercapai keinginan tidak membeli mobil timbang kepincut beli mobil murah.

Apa yang harus kukatakan pada anak anakku sayang, jika esok, lusa atau enam bulan mendatang aku malah makin susah menghidupi keluarga? Kata Pak Belalang, dalam hati.

Pak Belalang tidak bisa menjawab. Kalau saja tidak terus digigit nyamuk, boleh jadi pak Belalang duduk sendiri di teras rumahnya yang lumayan sempit sampai pagi. Karena nyamuk nyamuk pada nakal dan dengan semena mena menggigit ulang ulik ke tubuh pak Belalang, akhirnya pak Belalang masuk ke dalam rumah kontrakan, dan ketika akhirnya lelap tertidur di kasur lusuh, pak Belalang tidak terlihat sedih lagi. Bahkan, tidak sendiri. Tapi, tidur bersama kedua anak dan isterinya, di satu kamar yang ukurannya cukup untuk memperpanjang penderitaan.








0 Response to "SKETSA PAK BELALANG"