oleh : Oesman Ratmadja
EMPAT
PULUH SATU
Saat kerja,
misinya ibadah, bukan mencari harta. Tapi, ketika rezekinya
berlimpah, yang dipentingkan bukan foya-foya dan bermewah-mewah di
jalan setan alias jalan yang jauh dari berkah.
Tapi,
foya-foya dan bermewah mewah di jalan Allah. Nggak bakalan kepincut
mau ke diskotik atau nite club. Nggak bakalan keranjingan shoping.
Sebab, sejak kecil, paham, semua itu bukan kegiatan amal ibadah.
Jadi, hartanya di pakai buat beramaliah. Membantu orang lain yang
memang berhak mendapatkan dari yang kita dapatkan, dan juga orang
lain yang sedang dalam kesusahan.
Yang
diutamakan, tentu saja, saudara kandungnya terlebih dahulu. Baru
saudara dekat yang bukan kandung. Kemudian, meluas ke orang lain yang
dikenal maupun yang tidak dikenal. Tapi, dilakukan dengan ikhlas.
Ikhlas itu, artinya kayak orang buang air. Nah, kotoran, kan, kalau
sudah kita buang, nggak pernah mau kita ambil lagi.
Jadi,
ikhlas itu artinya semua dilakukan hanya karena Allah. Kalau sudah
begitu, ya, cuma berharap keridhoan dari Allah. Nggak mau di puji
orang lain. Nggak ngungkit dan nggak ngarepin apa pun. Apapun
namanya, kalau masih mau dapat pujian, dapat balasan dari sesama,
tetap berharap dapat atau diberi imbalan, yaa, yang ikhlas cuma
omongannya. Tindakannya, tetap tidak ikhlas karena masih berharap
balsan dan bukan ikhlas kalau di dalamnya melekat pamrih.
Jadi,
orang pintar yang sholeh dan shalehah itu, saat mereka jadi pemimpin,
benar-benar hanya untuk membuktikan kecintaannya kepada Allah. Bukan
di mulut doang. Tapi, juga di kelakuan dan perbuatan. Dia
tidak akan mau mencari kesempatan dalam kesempitan buat korupsi.
Sebab, meski punya kesempatan seluas-luasnya buat korupsi, hatinya
sudah mengharamkan per buatan korupsi “
“Wow,
asyik juga tuh, boss, kalau para orangtua bisa mendidik anaknya
menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Saya bisa apa nggak, ya ?”
“Bisa
itu karena biasa, bang Sabar. Siapapun, kalau niatnya benar dan
tekadnya bukan cuma di mulut atau di hati nggak akan bisa. Tapi, bila
niat dan tekad itu selalu dilaksanakan, dibuktikan, pasti bisa.
Kalau cuma niat doang, sama saja bohong. Sebab, niat itu rencana yang
harus dilaksanakan. Sekarang ini, semisal abang niat mau ke Bandung,
kalau nggak dilaksanakan dan dibuktikan dengan cara pergi ke Bandung,
sampai presiden ganti tujuh kali, abang nggak pernah ke Bandung. Iya,
kan?”
“
Jadi, yang penting bukan cuma niat doang, dong, boss?”
“Bang…niat memang penting. Tapi, menjadi tidak penting dan bohong
punya niat yang baik dan benar, kalau tidak dilaksanakan. Terlebih
tanpa alasan yang kuat dan rasional.
Contoh
lainnya, mudah dimengerti, kok. Misalnya, saat abang lapar. Kan, bang
Sabar kepingin banget makan dan lantas berniat mau makan. Meski
isteri di rumah sudah masak, sudah menyiapkan lauk pauk, lengkap sama
sambel, dan peralatan makan. Tapi bang Sabar cuma duduk di kursi meja
makan. Seharian cuma menatap sambil terus ngucapin niat, mau
makan-mau makan Sampai sejuta kali pun, bang, kalau nggak ambil
piring, nyendok nasi dan lauk pauk, lalu nyuap tuh makanan ke mulut,
ngunyah dan nelan, yang terjadi, abang bukannya kenyang. Tapi,
akhirnya malah pingsan karena perut kelaparan.
Kenapa?
Karena cuma niat mau makan, tapi bang Sabar nggak pernah melaksanakan
makan. Semisal abang mau pipis. Terus niat mau ke kamar mandi, supaya
bisa pipis. Tapi, abang tetap saja di warung janda. Akhirnya, abang
pipis di kamar mandi apa di celana ?”
“
Pastinya, pipis di celana dan akhirnya, saya bukan di sayang tapi
malah diketawain sama tuh janda, boss. Tapi, benar, juga yang boss
bilang. Tetap keliru kalau niat itu dianggap penting, tapi
pelaksanaannya tidak dianggap penting dan malah diseplekan. Apalagi
tak pernah dan sama sekali tidak diwujudkan, tanpa alasan yang
rasional,” kata Sabar, yang usai ngerok lantas mengurut-ngurut
punggung Bondan.
“Tapi,
kalau niat mau beramal, sementara kita nggak punya duit, pastinya,
jadi susah melaksanakannya, boss ?” sambung sabar
Bersambung..........
0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (41)"
Posting Komentar