BONDAN DAN TUKANG OJEK (42)







oleh : Oesman Ratmadja

EMPAT PULUH DUA


“ Niat beramal, menurut saya, justeru paling gampang, bang. Sebab, beramal itu harus dilaksanakan kapan saja. Baik saat lapang mau pun ketika dalam sempit. Jadi, saat niat, begitu punya seribu perak, langsung dilaksanakan. Kalau nunggu sampai punya sejuta perak, begitu dapat sejuta rupiah, yang kemudian terpikir, sayang banget kalau dikasih orang lain. Jadi, aplikasinya bukan mau di amalkan, tapi malah dibawa pergi ke mall. Habis buat shoping. Niat jadi terlupakan. Akhirnya, jadi orang kikir, kaya Qorun “
“Qorun? Artinya apa, boss? Memang, orang kikir, bahasa arabnya, qorun, boss?”
“Yaa, elu, bang. Masa’ sudah tua nggak tau Qorun, sih ?”
“Boss, saya memang nggak tau. Kalau saya ngaku tau, kan, jadinya saya manusia yang sok tau tapi sebenarya nggak tau, boss ?”
“Benar juga, lu. Tapi, sudah apa belum nih, ngerik badan gue? “
“Kayaknya sih, sudah boss. Tapi, jangan pulang dulu, boss. Kecuali, setelah menjelaskan qorun. Boleh,kan, kalau saya kepingin tahu ?”
Sabar membereskan uang benggol dan piring kecil dengan kembali menaruh di tempatnya. Bondan kembali mengenakan bajunya. Menghela nafas panjang. Ia merasa agak sehat. Setelah menyeruput kopinya, Bondan menjawab keingin-tahuan bang Sabar tentang Qorun.
Bondan berharap, bang Sabar yang usai ia jelaskan tentang Qorun lalu manggut-manggut benar - benar memahami, mengapa orang kikir alias pelit layak diidentikan dengan qorun.
“Kok, bisa, ya, boss, Qorun berubah jadi orang pelit dan menganggap kekayaannya bukan dari Allah ?”
“ Bang, manusia seperti kita itu adalah mahluk yang maha tidak sempurna. Jiwanya, seperti cuaca. Selalu berubah. Waktu miskin Qorun memang taat pada Allah. Tapi, ketaatannya sangat tradisional. Artinya, tidak diperkuat oleh ilmu agama dan akhlak mulia.
Makanya, yang kemudian terpikir setelah ia kaya raya, kekayaannya itu dianggap bukan datang dari Allah. Tapi, dari kerja kerasnya semata. Jadi, wajar jika ia, lantas kikir, pelit. Mengapa? Karena ia membenarkan pola pikirnya, dan mengabaikan kebenaran yang datang dari Allah.
Padahal, kerja keras dan manajemen kekayaannya sudah benar. Tapi, karena ia tidak menerima kebenaran yang datang dari Allah, membuat dirinya jatuh ke lembah takabur. Allah, kan, nggak suka sama hambanya yang takabur. Dengan kekuasaannya, teramat mudah bagi Allah untuk kembali memiskinkan Qorun “
“Mudah-mudahan saya sanggup menjadi orang yang suka beramal, boss. Meski cuma jadi tukang ojek. Nggap apa-apa, kan, boss?”.
“Siapa pun kita, apapun pangkat dan kedudukan kita, nggak pernah dipersoalkan oleh Allah, bang. Yang dinilai oleh Allah, hanya satu Apakah kita bertaqwa apa cuma ngaku bertaqwa
Kalau bertaqwa, gemar beramal ibadah. Kalau cuma ngaku bertaqwa, tapi malah lalai beramal ibadah, sama saja bohong. Sebab, pasti nggak suka beramal dan merasa berat dalam melaksanakan ibadah “
“Oke, boss. Sekarang. Terserah, boss. Mau nginap lagi di rumah kontrakan saya yang begini adanya, silahkan. Kalau mau pulang, juga terserah, boss saja. Sekali lagi, nggak bosan saya mengucapkan terima kasih. Semoga Allah selalu memberi rahmat pada boss dan juga pada saya “
“Amin.Gue pamit pulang saja, bang. Oh, iya, pakain kotor gue tinggal saja, yaa. Kalau lu ada waktu, nanti antar ke rumah kontrakkan gue. Oke ?”
“Oke, boss. Saya siap antar boss sampai ke rumah “
“ Bang…gue kan baru masuk angin. Kalau pulang pakai motor, malah bisa makin sakit Jadi, lebih baik lu nggak usah pusing. Gue, kan bisa pulang naik taksi. “
Sabar bukan tidak kecewa. Hanya, Sabar lantas sadar, Bondan tak saja punya alasan kuat untuk tidak merepotkannya. Tapi juga dia berhak untuk pulang ke rumahnya, yang boleh jadi tidak sesempit dan sekumuh rumah kontrakan Sabar, yang perbulannya hanya empat ratus ribu rupiah. Jauh lebh murah dari sebuah kamar di hotel mewah berbintang lima, yang tidur semalam saja bisa satu sampai dua juta rupiah.


***********


Bersambung

0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (42)"