oleh : Oesman Ratmadja
Jika saat ini ia ingin kembali kuliah, hanya tinggal bilang. Ayahnya pasti malah senang dan mendukung sepenuhnya. Terlebih, pak Sadewa sangat berharap Bondan bersedia kembali ke kampus, menjadi sarjana. Bahkan, jika memang Bondan berhasrat kuliah di Amerika atau Australia. Pak Sadewa, tak mencabut dukungan.
Bondan bukan tak pernah menggugat.
Membuat Bondan terjebak ke dalam sebuah situasi, yang membuat dirinya tak terkendali. Membuat Bondan hanya bisa berusaha tersenyum manis tapi sesungguhnya, nasibnya begitu miris.
Keinginan yang tak bisa didapatkan semisal berharap pada banyak teman. Pun pada orang tuanya. Tuhan sekalipun tak akan menolongnya. Sang Khalik, tak pernah berkehendak mengubah nasib satu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang berkehendak mengubahnya.
Bondan melihat, di pelupuk matanya hanya kesulitan yang memanjang. Tak melihat hal termudah atau kemudahan, kecuali tekadnya di bulatkan dan keinginannya diwujud-nyatakan
Bondan tak merasa malu. Tekadnya tak pu pus oleh kesulitan demi kesulitan yang terus memburu. Mbok Sinem sangat membantu. Menemaninya ngobrol dari waktu ke waktu. Mende ngarkan keluhannya tanpa minta ini atau itu. Bondan mulai betah di rumah. Lupa pada teman dan kebiasaannya. Ia memang tengah berusaha dan sengaja melupakan semua hal yang semula di sangka indah.
Semua keburukan yang semula dianggap bisa membebaskan dirinya dari belenggu keresahan, karena hanya sepi dan sepi setiap kali ia ber teduh dan diam di rumahnya yang mewah. Sepi demi sepi yang mencengkram, membuat Bondan hanya terus memburu dan terus membidik dengan hawa nafsu. Lalu, bersama kehendaknya yang dilarikan kemanapun ia suka, selalu saja ia mengira, yang diraih dan direguknya adalah kebahagiaan yang melebur segala duka laranya. Mengubur kenestapaan jiwanya, yang tak pernah ba sah oleh tetesan kasih sayang dan cinta.
Nyatanya?
Di setiap itulah yang sesungguhnya terasa dan senantiasa dirasakan, dirinya dalam cengkra man dusta. Malah membuat jiwanya tak pernah tentram. Semakin ia memburu dengan hawa naf sunya yang terus menderu, hasil konkritnya bukan ketentram. Tapi kepuasan tanpa dasar. Ke puasan yang tak pernah memberi apa-apa, kecuali mengembalikan ke suasana yang sama: nestapa.
Bersambung.............
Bondan memang telah
keliru. Awalnya hanya pelarian. Akhirnya, jadi kebiasaan. Karena ia
merasa punya orangtua tapi tak berhak atas kasih sayang, perhatian,
dan cinta. Bondan terlempar dalam kesendirian. Hanya dicekoki materi
dan berbagai fasilitas.
Ia memang leluasa melakukan apa pun yang
diinginkan. Setiap kali Bondan mengekpresikan kepuasan, setiap kali
itulah Bondan lupa tentang luka yang menganga di jiwanya. Setelahnya,
melihat kenyataan yang di dalamnya hanya ada sepi. Kesunyian yang
mengoyak-ngoyak jiwa
Jika saat ini ia ingin kembali kuliah, hanya tinggal bilang. Ayahnya pasti malah senang dan mendukung sepenuhnya. Terlebih, pak Sadewa sangat berharap Bondan bersedia kembali ke kampus, menjadi sarjana. Bahkan, jika memang Bondan berhasrat kuliah di Amerika atau Australia. Pak Sadewa, tak mencabut dukungan.
Bondan bukan tak pernah menggugat.
Hasilnya? Hanya
tanda tanya tanpa jawab.
Menjenuhkan .
Membuatnya
frustrasi
Membuat Bondan terjebak ke dalam sebuah situasi, yang membuat dirinya tak terkendali. Membuat Bondan hanya bisa berusaha tersenyum manis tapi sesungguhnya, nasibnya begitu miris.
Saat ini, Bondan
bukan ingin menyesali nasib atau menggugat orangtua. Bondan lebih
ingin, mengubah prilakunya. Mengubah jalan hidup. Ia ingin mulai
meluruskan jalan yang masih tersisa. Jalan yang memang masih harus
dilalui dan ditempuhnya.
Keinginan yang tak bisa didapatkan semisal berharap pada banyak teman. Pun pada orang tuanya. Tuhan sekalipun tak akan menolongnya. Sang Khalik, tak pernah berkehendak mengubah nasib satu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang berkehendak mengubahnya.
Bondan melihat, di pelupuk matanya hanya kesulitan yang memanjang. Tak melihat hal termudah atau kemudahan, kecuali tekadnya di bulatkan dan keinginannya diwujud-nyatakan
Itu sebabnya,
Bondan bisa melihat jalan terang. Meski sedemikian berliku, tapi
Bondan yang tak ingin terus keliru, bersikukuh. Bersikeras
melaluinya, meski memang sangat berliku. Bondan tak ingin lantas
meninggalkan. Terlebih menyerah.
Bondan tak merasa malu. Tekadnya tak pu pus oleh kesulitan demi kesulitan yang terus memburu. Mbok Sinem sangat membantu. Menemaninya ngobrol dari waktu ke waktu. Mende ngarkan keluhannya tanpa minta ini atau itu. Bondan mulai betah di rumah. Lupa pada teman dan kebiasaannya. Ia memang tengah berusaha dan sengaja melupakan semua hal yang semula di sangka indah.
Semua keburukan yang semula dianggap bisa membebaskan dirinya dari belenggu keresahan, karena hanya sepi dan sepi setiap kali ia ber teduh dan diam di rumahnya yang mewah. Sepi demi sepi yang mencengkram, membuat Bondan hanya terus memburu dan terus membidik dengan hawa nafsu. Lalu, bersama kehendaknya yang dilarikan kemanapun ia suka, selalu saja ia mengira, yang diraih dan direguknya adalah kebahagiaan yang melebur segala duka laranya. Mengubur kenestapaan jiwanya, yang tak pernah ba sah oleh tetesan kasih sayang dan cinta.
Nyatanya?
Di setiap itulah yang sesungguhnya terasa dan senantiasa dirasakan, dirinya dalam cengkra man dusta. Malah membuat jiwanya tak pernah tentram. Semakin ia memburu dengan hawa naf sunya yang terus menderu, hasil konkritnya bukan ketentram. Tapi kepuasan tanpa dasar. Ke puasan yang tak pernah memberi apa-apa, kecuali mengembalikan ke suasana yang sama: nestapa.
Bersambung.............
0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (3)"
Posting Komentar