SURAT TERBUKA UNTUK SANG HARGA






oleh : Oesman Ratmadja


        Saya yakin, anda semakin hepi dan kian leluasa mengekpresikan kebahagiaan setelah di jelang dan saat Ramadhan, kredibilitas anda terus meningkat, karena tak satu pun jenis barang yang menyetel tarif stagnan. Semua jenis barang - sampai cabe dan bawang, dengan leluasa terbang dan melambung ke langit. Mereka memasang anda semau dewek, setinggi tingginya. Sama sekali tak peduli, apakah ibu ibu menjerit, mengeluh, ngakak atau mentokin jidat ke tembok lantaran sanggup atau semakin tidak sanggup membeli bahan kebutuhan pokok
        Sang Harga....saudaraku...
        Karena sejak lama namamu disebut dan dikenal sebagai Harga, maka apakah nuranimu sudah belel sehingga sama sekali tak meronta atau malas protes, saat para pedagang besar, tengkulak sampai pengecer, berkoalisi untuk meninggikan nilai anda karena keserakahannya
        Yang saya heran, tak hanya kenaikan bbm premium yang dikau jadikan alasan untuk menyesuaikan diri sehingga bawang merah yang semula hanya dua puluh, di saar premium berubah, spontan disesuaikan dan di saat Ramadhan, dimana semestinya dikau mencari berkah, malah mengekpresikan jiwa serakah. Bukankah serakah namanya, jika mematok tarif setinggi tingginya tanpa mempertimbangkan bahwa masih banyak masyarakat berekonomi cekak, yang mestinya terbantu jika tak ditinggikan tapi malah terpuruk karena terbangnya kau kelangit tinggi, sehingga dikau semakin sulit dijangkau.
        Tidak kah kau perhatikan berapa banyak ibu ibu yang menangis, karena tak sanggup lagi memenuhi kebutuhan untuk hidup, mengingat semua kebutuhan pokok tak ada yang stagnan apalagi turun. Semua naik dan naik setinggi tingginya. Alasan klasik selalu kau kemukakan. Apakah harus bila permintaan meningkat dikau langsung dinaikkan dan hanya diam membisu seribu bahasa?
        Duh Harga, dimanakah gerangan jiwa sosialmu? Kapan kau berkenan meringankan beban orang orang miskin, agar mereka tidak lagi mengeluh karena dengan dana terbatas tetap bisa membelimu?
        Apalagi yang harus kuungkapkan, jika kami tak pernah diberi alasan untuk memintamu turun sejenak atau dua jenak. Agar kamu tetap stabil dan tak berkehendak melambung ke langit, agar tak ada keluh dari ibu ibu yang suaminya berpenghasilan pas pasan. Bukankah sehari hari masih banyak hal lain yang juga harus dibeli?
        Duhai sang Harga.... kamu benar benar somse. Bahkan, lebih dari kesombongan para pejabat yang jika sudah naik ke kursi dan punya kekuasaan, sangat malas turun. Suatu saat, kau akan merasakan, betapa doa si miskin yang teraniaya karena tak mampu membeli, akan dikabulkan oleh Sang Maha Pencipta Alam.
        Aku nantikan kabar indah darimu dan jika dengan ikhlas kamu turun, aku sangat menghormatimu. Apakah harapanku bakal jadi kenyataan? Kayaknya, hanya tetap jadi angan.
Iya, kan, tuan Harga?




       

0 Response to "SURAT TERBUKA UNTUK SANG HARGA"