Oleh : Oesman Ratmadja
SEMBILAN
Bisikan hati itu tentu saja hanya diketahui dan didengar
oleh Nurlela. Sama sekali tak terdengar dan tak diketahui oleh ibunya, meski ia baru saja muncul setelah membuka
pintu kamar Nurlela yang tak terkunci. Bu Farida hanya melihat putrinya sedang bermuram
durja.
“Kenapa kamu ? Capek ?
Nurlela menggeleng.
“Nur…kalau capek, lebih
baik kamu istirahan. Biar ibu bilang sama tamu kamu dan minta maaf karena ka
mu sedang istirahat dan tak bisa diganggu”
“Memang ada tamu saya? Siapa bu ?”
“Yang datang kemaren sore. Katanya,
sore ini, kamu memintanya datang lagi !”
“Maksud ibu, bang Japra? “
“Ooh, jadi tuh tamu kamu namanya si Japra?”
“Yaa, iyalah, bu. Masa Nur ngenalin
ke ibu dia itu namanya Eyang Seber. Ntar kan kalau ibu malah langsung sawan, kan Lela juga yang repot “
“Yaa, Japra, kek, eyang Seber kek, mbah
Surip, kek. Cepat kamu temuin dia”
“Aduuuuh…mau ngapain lagi, sih, dia?
“
“Kata dia, kemarin sore kamu memintanya agar sore ini
datang kembali “
“Buu…kemarin saya memang sempat berpesan.
Tapi, bukan minta agar dia datang. Saya
memintanya agar dia tak perlu ke sini lagi”
“Ooooh…begitu. Kalau memang kamu
bilang seperti itu, biar ibu yang temuin. Kamu lanjutkan saja istirahat kamu, Oke?” Ujar Bu Fatimah yang nampak kesal karena ia baru tahu kalau anaknya tidak menyuruh datang, eh tadi, Japra malah nekad mengaku dia yang disuruh kembali datang oleh anaknya
Nurlela hanya mengangguk tegas. Iya
setuju seperti itu. Menarik nafas lega karena tak harus ketemu Japra, yang
kemarin datang, sudah nyaris membuatnya meradang. Kalau saja Nurlela tak
terbiasa menghadapi masalah dengan tenang, dengan pikirannya yang terang
benderang, bukan tak mungkin, Japra sudah ditendang
Datang dan ngaku utusan alias mak
comblang, eeh, nyomblangin mas Rebo. Iiiiih…
Mobil mas Rebo memang lima .
Rumahnya dua. Tapi, sumpah ! Tak pernah sekejap mata pun, Nurlela mengingat
namanya. Malah, begitu mendengar Japra bilang ia datang mewakili Mas Rebo yang
kata Japra ehem ehem sama Nurlela, dia langsung melototin Japra.
Soalnya, meski mas Rebo secara resmi mengganti nama Kamis atau Jumat, meski diiringi dengan syukuran di hotel bintang lima dan didoakan dengan ustad yang sengaja pasang tarif mahal, Nurlela sama sekali tak tertarik. Malah, dia yakin, semakin tak tergoda untuk tertarik
Cuma,
karena Japra memang cuma mak comblang dan sama sekali tak bermaksud lain
selain melaksanakan
amanah, Nurlela tak bisa bilang apa-apa, selain berpesan, agar besok atau
kapan saja, Japra tak usah datang lagi ke rumahnya, kecuali tidak sebagai mak
comblangnya mas Rebo.
Sedangkan Nurlela yakin,
kedatangan Japra sore ini, pasti berkait erat dengan upayanya memakcomblangi mas Rebo
Dugaan
Nurlela, sama sekali tidak salah.
Begitu melihat nyokapnye Nurlela
muncul kembali, Japra yang barusan duduk, segera berdiri. Japra tak cuma berusaha tampil
sesimpatik mungkin. Tapi juga berusaha tampil sebagai sosok yang tidak pernah merasa berbohong pada nyokap Nurlela
“Ape salam saye udeh disampein sama
Nurlela, anak ibu ?”
“Yaa, sudahlah. Eh, iya, kamu kan yang namanya
Japra?”
“Be..benar,
bu. Syukur kalo Nurlela udeh kasih tau ke ibu. Nama saye emang Japra.
Lengkapnye, Japra Buah Jambu. Kate babe, waktu saye lahir, sedeng-sedengnye
musim buah jambu. Tapi, saye lebih demen pake nama Japra doang. Kalo
dilengkapin, nanti dikire saye tukang jambu atawa anaknye tukang jambu “
“Mestinya kamu tetap memakai nama
asli kamu?”
“Emangnye kenape mesti begitu, bu ?”
“Lhoo, dengar baik-baik, ya,” kata
ibunya Nurlela yang lebih suka membiarkan Japra tetap bediri daripada diminta
untuk duduk kembali.
“Kalau nama asli kamu dipajang, itu
lebih realistis. Soalnya, meski kamu cuma pakau nama Japra, tetap kentara dan
saya bisa menerka, kalau kamu memang penjual jambu atau anaknya penjual jambu “
“Waaah, ibu bisa aje. Tadinye, saye
kire ibu kagak suke becande? Kagak taunye..doyan becande juga “
Tentu saja bu Farida kesal. Soalnya, tampilan dan cara
ngomongnya serius, eh, malah dianggap becanda.
Bersambung
0 Response to "MENUJU PELABUHAN CINTA (9)"
Posting Komentar