Oleh : Oesman
Ratmadja
EMPAT
Jajang
memang kelihatan sedemikian riang.
Hanya, Jajang tidak tahu, kalau
Komeng sangat yakin, di tengah jalan, semangat Jajang akan kendor. Akhirnya,
malas dan semangatnya ambruk. Apa yang diperki rakan Komeng, sama sekali
tidak keliru. Buktinya, Jajang hanya semangat tiga kali berturut-turut. Hari
berikutnya, mulai tidak muncul dan sama sekali tak memberi kabar.
Mestinya,
Komeng senang. Sebab, kalau Jajang se rius dan terus belajar ngaji, prospek
Jajang untuk menggaet Nurlela, makin cerah. Bila sebaliknya, tentu saja peluang Jajang akan langsung tertutup. Hanya, Komeng malah menyatroni Jajang di
rumahnya. Ia langsung menegur Jajang dengan keras
“Kamu kenapa bikin aku kesal, sih,
Jang ?”
“Memangnya, kenapa bang ?”
“Kenapa?”
Tanya Komeng
“Kamu, kan , yang minta agar aku bersedia me ngajarkan kamu mengaji?
Tapi, baru tiga kali datang, sam pai aku berkunjung ke rumah kamu, sama sekali
tak ada kabar?”
“ Maafkan saya, bang. Soalnya, saya
pusing kalau belajar ngaji. Jadi, lebih baik saya melanjutkan hubungan sama
pacar yang ada. Kalau sama Nurlela, saya nyerah “
“ Tapi, belajar Al Qur’an dan terus
belajar menge nal Allah, harus dijadikan hal terpenting, dan tak boleh berhenti
di tengah jalan, Jang”
“ Bang…nanti, kalau saya sudah
insaf beneran, sa ya pasti butuh bantuan,
dan abanglah yang akan saya min ta untuk
membimbing saya. Sekarang, saya lagi sibuk ngejar dunia. Jadi, tolong, jangan maksa atau membujuk saya, bang. Oke ?”
Komeng tidak menjawab.
Dalam hati ia hanya bisa beristighfar
Sejak itu, Komeng tak lagi
memikirkan Jajang, Bu kan
tak iba. Komeng hanya tak ingin waktunya terbuang begitu saja . Terlebih, jika
upayanya sia-sia. Tapi, ia tetap setia
pada janjinya. Kapan dan dimana pun, bersedia membantu Jajang. Bila memang di
suatu saat nanti, Jajang benar-benar kepingin belajar dan berminat mendalami
aga ma, ia tetap bersedia meluangkan waktu khusus, untuk membimbingnya.
Sebatas pengetahuan dan sebatas
kemampuan dari ilmu yang dimilikinya. Jika Jajang tidak puas dan merasa kurang,
ia pasti akan meminta dan sekaligus mendorong, agar Jajang juga menggali ilmu
agama dari orang lain, yang ilmunya lebih luas dan keakhlian mempraktekkan
ajaran agamanya, sedemikian tak terbatas. Sehingga, dengan belajar pada orang
yang seperti itu, Jajang sema kin cerdas dalam mengapresiasi ajaran agama dan
cerdas dalam mengaplikasikan semua perintah dan larangan yang telah ditetapkan
oleh Allah Subhanallah Ta’ala.
Hanya, jika ada yang
bertanya, kapan Komeng mau mulai berlayar dan berperahu menuju ke pelabuhan
cinta Nurlela, agar ia pun berpeluang melabuhkan perahu cinta yang dibawanya
untuk bersandar di pelabuhan hati Nurlela, Komeng tetap tak pernah menjawab
dengan kali mat, belum saatnya dikemukakan atau dipublikasikan
“Aku sendiri belum tahu, Pra”
Pasti kalimat singkat seperti itu
yang ia ucapkan, ketika Japra, juga bertanya tentang Nurlela.
Japra, yang juga teman Komeng dan
tahu kalau Komeng punya kedekatan dengan Nurlela, tentu saja di hinggapi rasa
penasaran. Soalnya, sampai saat ia ber
tanya, tak pernah mendengar isyu tentang Komeng yang sudah berpacaran dengan
Nurlela. Padahal, dekatnya Ko meng dengan Nurlela, memungkinkan mereka menjalin
tali cinta dan sekaligus merajutnya
Nyatanya?
Komeng malah menjawab pertanyaan
Japra denga kalimat sesingkat itu. Artinya, ini memang sesuai dengan realita
yang ada, dan sangat sinkron dengan kondisi terak hir, yang sama sekali belum
terdengar kabar tentang Komeng yang berhubungan dengan Nurlela
Makanya, Japra, temannya yang anak
Betawi asli, yang jika bicara lebih suka blak-blakan, tanpa sungkan mengatakan.
Ia bertanya bukan sekedar ingin tahu. Tapi juga kepingin dapat kepastian. Jika
Komeng memang be lum punya hubungan dan sejatinya tak ada ikatan apapun dengan
Nurlela - selain sebatas pertemanan, Japra jadi merasa leluasa untuk
melaksanakan tugas yang diamanah kan
secara khusus kepadanya.
http://bit.ly/28WyL2a
Bersambung......
0 Response to " MENUJU PELABUHAN CINTA (4)"
Posting Komentar