oleh : Oesman Ratmadja
DI ZAMAN baheula, pepatah kerap digunakan untuk berbagai kepentingan membangun kepribadian Misalnya, saat orangtua ingin mengajarkan agar anaknya tidak boros sehingga tidak hidup dengan sistem gali lubang tutup lubang, sang ayah atau ibu akan mengatakan, jangan lebih besar pasak dari tiang.
Memang nggak lucu kalo pasak lebih besar dari tiang. Sebab, saat digunakan tiang bukan makin kokoh tapi malah roboh. Setidaknya, tiang bakal belah dan tak akan bisa digunakan lagi. Konkritnya sih, orangtua berharap, kalau uang untuk jajan sekolah cuma diberi 5.000 perak, jajannya jangan sampai sepuluh ribu perak. Sebab, jika hal itu sampai terjadi, dapat dipastikan, catatan utang di buku milik ibu kantin bakal memanjang. Kalau ada uang untuk membayar, kalau nggak? Apa mau nyanyi : KATAKAN SALAHKU PADAMU.. Lalu, ibu kantin menjawab, Lo Salah Lantaran Utang Gak bayar
Nah... yang bayar siapa? Akibatnya, kan nyusahin orangtua juga. Pemilik kantin sekolah pasti nagih ke rumah. Kalau nagihnya baik baik. Kalau nagihnya teriak teriak sambil bilang kalau ngasih uang jajan sama anak jangan cekak cekak - agar tetangga mendengar, idiiiiiiiiiiiiiiiih, malunya itu bro.
Bisa saja hal itu tidak terjadi.Artinya, tidak ngutang di kantin sekolah. Tapi, kalau sadar uangnya cuma goceng tapi jajannya lebih dari itu, jelas bukan mustahil. Sebab, boleh jadi sang anak senang nembak. Bukan nembakin pistol. Tapi, makan delapan ngaku tiga atau empat. Naaaaah... seorang anak sudah berani menerapkan strategi membangun kecurangan, kelak, saat jadi pemimpin, bisa bisa rakyat dicurangin. Dan anak seperti ini, menyimpan ciri ciri khas seorang koruptor. Memang mau punya anak yang sejak kecil sudah punya bakat yang dimusuhin KPK
Repot., kan ?
Nah, supaya nggak repot, jangan pelit pelit ngasih uang jajan untuk anak, jika memang banyak rezeki. Tapi memang kalo pas pasa, yaa jangan dikasih jajan. Konsekwensinya, tiap sekolah bekali dengan makanan yang sudah disiapkan di rumah. Masakan di rumah yang diolah oleh ibu ibu yang males ngerumpi, selain fresh, juga bersih dan menyehatkan
Soal jangan lebih besar pasak daripada tiang, boleh dialihkan ke pepatah lainnya. Misalnya, Gajah di pelupuk mata nggak kelihatan, kuman di ujung lautan nampak.
Ini sebuah pepatah yang menurut hemat saya sangat dahsyat. Padahal, sebenarnya orangtua cuma mau bilang, anakku.. lebih baik perbaiki kesalahan diri sendiri dan jangan urusin kesalahan orang lain
Bayangkan... Untuk bilang gitu aja, eeeeh, gajah sama kuman dilibatkan.
Padahal, baik gajah maupun kuman, sama sekali nggak bersalah. Sebab, yang keliru itu adalah siapa saja yang suka hobi ngeliat kesalahan orang lain tapi malas melihat kesalahan sendiri
Cuma, baik kuman maupun gajah nggak bisa bilang apa apa. Nggak bisa nuntut ke lembaga hukum. Sebab, di dunia binatang, hanya ada hukum rimba. Itu pun belum tentu langgeng atau bisa diaktualisasikan dengan konsisten apalagi konsekwen. Soalnya, semakin zaman modern, manusia semakin berkeinginan ngegundulin rimba. Naaah, kalau hutan bin rimba sudah pada botak alias gundul, kan yang malah dirugikan malah manusia. Sebab, bukan cuma diancam longsor. Tapi, juga diancam banjir biasa, banjir bandeng, bandeng tongkol.
Waah... kalau sampai banjir hiu juga ikut ikutan mengancam kedamaian manusia akibat hutan bin rimba habis digundulin, sumpah, gajah dan kuman sangat tidak merasa sengsara
Nggak percaya ? Coba deh, tanya langsung ke Kuman dan Gajah.
DI ZAMAN baheula, pepatah kerap digunakan untuk berbagai kepentingan membangun kepribadian Misalnya, saat orangtua ingin mengajarkan agar anaknya tidak boros sehingga tidak hidup dengan sistem gali lubang tutup lubang, sang ayah atau ibu akan mengatakan, jangan lebih besar pasak dari tiang.
Memang nggak lucu kalo pasak lebih besar dari tiang. Sebab, saat digunakan tiang bukan makin kokoh tapi malah roboh. Setidaknya, tiang bakal belah dan tak akan bisa digunakan lagi. Konkritnya sih, orangtua berharap, kalau uang untuk jajan sekolah cuma diberi 5.000 perak, jajannya jangan sampai sepuluh ribu perak. Sebab, jika hal itu sampai terjadi, dapat dipastikan, catatan utang di buku milik ibu kantin bakal memanjang. Kalau ada uang untuk membayar, kalau nggak? Apa mau nyanyi : KATAKAN SALAHKU PADAMU.. Lalu, ibu kantin menjawab, Lo Salah Lantaran Utang Gak bayar
Nah... yang bayar siapa? Akibatnya, kan nyusahin orangtua juga. Pemilik kantin sekolah pasti nagih ke rumah. Kalau nagihnya baik baik. Kalau nagihnya teriak teriak sambil bilang kalau ngasih uang jajan sama anak jangan cekak cekak - agar tetangga mendengar, idiiiiiiiiiiiiiiiih, malunya itu bro.
Bisa saja hal itu tidak terjadi.Artinya, tidak ngutang di kantin sekolah. Tapi, kalau sadar uangnya cuma goceng tapi jajannya lebih dari itu, jelas bukan mustahil. Sebab, boleh jadi sang anak senang nembak. Bukan nembakin pistol. Tapi, makan delapan ngaku tiga atau empat. Naaaaah... seorang anak sudah berani menerapkan strategi membangun kecurangan, kelak, saat jadi pemimpin, bisa bisa rakyat dicurangin. Dan anak seperti ini, menyimpan ciri ciri khas seorang koruptor. Memang mau punya anak yang sejak kecil sudah punya bakat yang dimusuhin KPK
Repot., kan ?
Nah, supaya nggak repot, jangan pelit pelit ngasih uang jajan untuk anak, jika memang banyak rezeki. Tapi memang kalo pas pasa, yaa jangan dikasih jajan. Konsekwensinya, tiap sekolah bekali dengan makanan yang sudah disiapkan di rumah. Masakan di rumah yang diolah oleh ibu ibu yang males ngerumpi, selain fresh, juga bersih dan menyehatkan
Soal jangan lebih besar pasak daripada tiang, boleh dialihkan ke pepatah lainnya. Misalnya, Gajah di pelupuk mata nggak kelihatan, kuman di ujung lautan nampak.
Ini sebuah pepatah yang menurut hemat saya sangat dahsyat. Padahal, sebenarnya orangtua cuma mau bilang, anakku.. lebih baik perbaiki kesalahan diri sendiri dan jangan urusin kesalahan orang lain
Bayangkan... Untuk bilang gitu aja, eeeeh, gajah sama kuman dilibatkan.
Padahal, baik gajah maupun kuman, sama sekali nggak bersalah. Sebab, yang keliru itu adalah siapa saja yang suka hobi ngeliat kesalahan orang lain tapi malas melihat kesalahan sendiri
Cuma, baik kuman maupun gajah nggak bisa bilang apa apa. Nggak bisa nuntut ke lembaga hukum. Sebab, di dunia binatang, hanya ada hukum rimba. Itu pun belum tentu langgeng atau bisa diaktualisasikan dengan konsisten apalagi konsekwen. Soalnya, semakin zaman modern, manusia semakin berkeinginan ngegundulin rimba. Naaah, kalau hutan bin rimba sudah pada botak alias gundul, kan yang malah dirugikan malah manusia. Sebab, bukan cuma diancam longsor. Tapi, juga diancam banjir biasa, banjir bandeng, bandeng tongkol.
Waah... kalau sampai banjir hiu juga ikut ikutan mengancam kedamaian manusia akibat hutan bin rimba habis digundulin, sumpah, gajah dan kuman sangat tidak merasa sengsara
Nggak percaya ? Coba deh, tanya langsung ke Kuman dan Gajah.
0 Response to "JANGAN ANGGAP ENTENG PEPATAH"
Posting Komentar