oleh : Oesman Ratmadja
“
Menurut lu, gue ni lebih baik nginap di rumah abang, nginap di hotel
apa pulang dan tidur di rumah, yaa ?”
“ Aduuuh,
gimana, ya? Saya,jadi susah ngejawabnya, nih, boss?”
“Susah
apa nggak ngijinin gue nginap di rumah abang ?”
“Boss,
sumpah! Jangankan nginap, boss mau datang ke rumah saja, saya pasti
langsung senang setengah mati, boss. Cuma…Aduuuh, gi mana, ya?
Terus terang, boss, rumah petak yang saya kontrak, nggak layak buat
anda, boss?”
“Lu
anggap gue orang hebat, apa? Emang gue raja cipoa atawa presiden yang
nggak punya negara? Emang gue orang penting? Lu ka lau ngomong jangan
bikin gue kesal, bang. Gini-gini, gue ini bukan orang penting. Bukan
anak ra ja atawa anak presiden. Masa’ lu malah bilang, rumah lu
nggak layak buat gue?
Bang,
bilang aja terus terang. Lu tuh nggak sudi kalau gue nginap di rumah
lu. Takut terganggu, dan takut direpotin. Iya, kan ?”
“Saya
sama sekali nggak punya pikiran seperti itu, boss. Sumpah! Saya
sangat senang dan merasa terhormat jika memang boss mau ngi nap di
rumah saya. Cuma, masalahnya, saya ting gal di rumah petak. Ukurannya
cuma tiga kali tujuh meter, boss.
Sempit.
Panas, pengap. Nggak layak kalau boss nginap di rumah kontrakkan saya
“
“Lu
jangan ngomong, ngaco, bang. Gue nggak nanya berapa ukuran rumah, lu,
kok. Juga nggak nanya luas atau sempit. Yang gue tanya, boleh apa
nggak gue nginap di rumah abang? Jawaban yang kepengen gue dengar,
boleh atau tidak. Kalau boleh, cepat kita pulang ke rumah abang.
Kalau nggak boleh, gue nggak maksa. Ngerti, kan, bang apa yang gue
omongin ?”
“Sangat
ngerti, boss. Sekarang terserah boss, saja. Jika boss memang mau
nginap, silah kan. Jika tidak, saya tidak marah “
“Ooh,
gitu, bang. Jadi, lu tetap berharap gue nggak nginep? Yaa, sudah,
berarti lu nggak ngijinin gue nginep ?”
Bondan
jadi kesal. Bukan becanda jika langsung melengos lantas bergerak
dengan cepat, meninggalkan Sabar. Sabar sangat kaget. Juga sangat
menyesal. Dia tidak mengira, jika Bondan yang seharian mengesankan,
bisa ngambek berat. Tanpa malu, Sabar yang tak ingin mengecewa kan
Bondan, berteriak. Ia memanggil sambil me ngejar Bondan.
“Boss..tunggu boss.”
Sabar
yang terengah-engah, nekad. Ia memberanikan diri meraih tangan
Bondan.
“Gue
mesti tunggu apalagi?” kata Bon dan, sembari menepiskan tangannya.
“Boss
tunggu di depan sana. Saya ambil motor. Malam ini, boss harus nginap
di rumah saya “
“ Lu
ikhlas ?”
“ Insya
Allah, boss. Tunggu di depan sana, boss. Saya ke belakang, ke tempat
parkir, ambil motor “
Bondan
tersenyum.
Begitu
cepatnya ia meluluhkan kesal yang barusan saja hinggap di dirinya. Ia
menatap Sabar yang bergegas meninggalkannya, dan nampak berlari agar
bisa segera mengambil sepeda motor di tempat parkir. Dengan santai,
Bondan bergerak ke luar.
Ke pintu
keluar rumah sakit Mahal Itu Indah.
Di areal
parkir, Sabar tak segera mengeluarkan motor ke jalan kecil, di
antara deretan motor yang di parkir. Ia bingung dan masih terus
terhenyak oleh rasa haru. Sabar duduk di atas motor yang diparkir,
dan kembali menangis. Sesenggukan
"Pak..kenapa? Kehilangan motor apa ada keluarga yang meninggal
dunia,” tanya lelaki brewok, sekitar empat puluh tahun, berpakaian
necis, yang tanpa ragu, menyapa Sabar yang sedang sesenggukan.
Bersambung.......
0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (37)"
Posting Komentar