oleh : Oesman Ratmadja
KOMENG
yang tak berminat
ikutan korupsi malah ditertawakan. Bahkan, ada yang berani
terang-terangan mengatakan, jika masih mau berstatus sebagai PNS dan mau tetap bekerja di instansi ini, nggak usah sok berlagak suci.
Ingin sekali
Komeng menutup mulut rekannya itu dengan lakban, agar ia tak perlu
menyanyikan lagu cinta karena ia tak mengerti dan sama sekali tak paham,
makna kata cinta yang sesungguhnya sakral.
Hanya, Komeng sadar jika ditanggapi dengan emosi, ia tak beda dengan rekannya. Malah hanya
membuahkan tawuran yang dampaknya bisa meluas menjadi tawuran massal.
Komeng tak ingin mengorbankan waktunya yang cukup panjang dalam
belajar sabar dan belajar bertawakkal.
Dengan sadar, Komeng hanya tersenyum. Ia yakin, mengalah bukan kalah.
Tidak meladeni membuat dirinya beda, bukan malah sama dan sebangun
dengan rekannya yang dengan angkuh mengatakan “jangan sok berlagak
suci “, namun tidak pernah berkenan menikmati proses untuk menjadi
seorang hamba yang berusaha mengubah prilaku berdasarkan panggilan
hati
Mengapa Komeng lebih menyimpulkan seperti itu
Pertama,
karena temannya tak menghargai diri sendiri. Dia kerap tampil sebagai
sosok yang seolah olah mengerti dan paham apa itu kebaikan, tapi
kata kata dan prilakunya menunjukkan tak sebatas tak paham. Tapi,
juga enggan berakrab akrab dengan kebaikan. Padahal, rekannya kerap
mengatakan, Tuhan memerintahkan kita untuk terus berusaha mensucikan
diri. Dan yang dicucikan bukan cuma raga, tapi juga jiwa. Mensucikan
hati, mulai dari jiwa sampai raga.
Kedua,
temannya tak mengerti, apa yang dilakukan sangat merugikan dirinya
sendiri. Di balik keriligiusan sikap dan kata-katanya yang kerap
diperlihatkan, malah merasa sangat bangga melakukan korupsi secara
berjamaah. Padahal, yang dilakukan hanya membawanya kepada
kafasikan. Padahal, dia tahu, setiap hamba yang beriman kepada Sang
Khalik, Pencipta alam semesta yang menghidupkan dan mematikan,
dituntut untuk berlomba-lomba membangun kebenaran, yang hasilnya
adalah aneka kebaikan.
Ketiga,
Komeng jadi leluasa
menyimpulkan, temannya hanya memberi jalan kemudahan bagi Komeng,
untuk tidak berakrab akrab dengannya kecuali sebatas kenal dan wajib
bertegur sapa. Mengapa? Karena setiap hamba dinasehatkan untuk
berteman dan berkumpul dengan orang-orang yang bertaqwa, orang orang
yang ingin mulia di hadapan Sang Pencipta dan tak akan hasrat mulia
itu tercapai, jika dekat dan akrab dengan yang tidak sejalan.
Bukankah bergaul dengan tukang minyak wangi, kita kebagian wangi dan
bergaul dengan copet sangat mungkin ikutan melakukan hal sama.
Padahal, mencopet dan sejenisnya sangat dilarang
Dalam hal memuliakan, tak hanya menyebut-nyebut dan mengakui
kebesaran Allah. Tapi sekaligus melaksanakan seluruh perintah dan
laranganNYA. Tanpa hasrat untuk melaksanakan perintah dan
meninggalkan larangan Allah, tak cukup syarat bagi seorang hamba
untuk menikmati indahnya ridho Allah. Sebab, sang hamba, belum atau
tidak ridho untuk melaksanakan perintah dan menjauhkan larangan-NYA.
Dan, diantara sekian banyak larangan Allah, salah satunya
adalah mengambil hak orang lain untuk kepentingan pribadi atau
kelompoknya
Hablum
Minannas
Komeng yakin, bila
ia tak ingin dekat dan enggan bersahabat dengan rekannya, ia akan
dikelompokkan sebagai sosok yang tidak berhablum-minannas.
Padahal, Hablum
Minannas berarti
bergaul,
berkomunikasi, dan berinteraksi dengan sesama manusia yang taat dan
patuh pada Allah dengan sungguh-sungguh. Bukan dengan sesama, yang
tidak bersungguh-sungguh dalam merefleksikan dirinya untuk bertaqwa
kepada Allah.
Mengapa? Karena jika hamba yang mengaku beriman kepada Rabb
tapi tidak bersungguh-sungguh dalam merefleksikan ketaqwaan kepada
Sang Khalik, sama artinya dengan munafik. Taqwa dan munafik, jelas
tidak serupa. Tidak sama. Kecintaan dan ketaatannya kepada Allah,
sangat jelas bedanya. Bak langit dengan bumi. Taqwa, cinta dan
taatnya mulai dari mulut, menjalar ke hati dan berkembang ke sikap
dan prilaku yang benar, prilaku yang menghasilkan berbagai kebaikan.
Sedang
munafik, hanya sebatas di mulut. Hatinya sendiri tidak mengakui dan
enggan mengaplikasikan. Sikap dan prilakunya, justeru berorientasi
pada ke burukan.
Hubungan manusia dengan manusia yang ditetapkan oleh Allah, jelas
tidak seperti yang diinginkan oleh manusia. Sebab, agama menekankan
hubungan itu harus dibangun dan diciptakan dengan sendi kesholehan
dan bukan dengan sendi kemunafikan. Hamba yang taat pada-NYA, justeru
tak diperkenankan bersahabat dengan yang tidak taat (munafik), karena
ketidak-taatan sahabatnya, bisa mempengaruhi dan sekaligus merusak
ketaatan. Jika terus menerus berada dan bersama sama dengan mereka
yang bangga membangun ketidak-taatan, bisa dipastikan semngat untuk
tetap taat akan meleleh. Sungguh sangat celaka, jika awalnya taat
akhirnya malah tidak dalam keadaan taat
Membangun
Spiritualitas
SPIRITUALITAS manusia
memang tak menjiwa dengan sendirinya. Semisal analoginya membuat
gedung pencakar langit, tentu yang didahulukan adalah membuat grand
desain. Desain sebuah gedung pencakar langit, tak hanya indah. Tapi
juga harus artistik, bertata ruang menarik, bersifat eksklusif,
kokoh, kuat, dan kesan mewahnya pun harus menonjol. Sehingga,
perspektif bangunannya seperti apa, sudah bisa dibayangkan. Bahkan,
biaya pembangunannya pun sudah terprediksi dan bisa dihitung dengan
cermat.
Langkah berikutnya, tentu saja membangun gedung yang bentuknya,
biayanya, visi dan misinya, sesuai dengan desain artistik yang sudah
dirancang. Setelah finishing, tak hanya mudah dipasarkan. Tapi, juga
mudah menjual dengan harga tinggi, karena konsumen terpesona dan yang
kemudian dibeli oleh para konsumen berduit, tak sebatas ruang sekian
kali sekian. Tapi juga kekokohan, keindahan, prestisius dan
lain-lain.
Begitu pun dalam hal membangun spiritualitas .
Setelah terbangun dan menjiwa, sikap dan prilaku yang menonjol
hanya laku benar yang buahnya kebaikan. Tindakan konkritnya,
senantiasa menguntungkan, menentramkan, mem bahagiakan dan membuat
siapa pun merasa aman dan sekaligus merasa terlindungi.
Bisa demikian, karena tangan dan segenap anggota tubuh seorang
muslim, hanya berfungsi untuk menyelamatkan. Sedangkan mulut dan
hatinya, senantiasa menentramkan siapa pun, termasuk yang tidak
seiman, tapi mereka adalah sesama anak bangsa, tetangga dan atau
teman di sekolah, kantor dan lingkungan lainnya. Dalam arti seperti
itulah, Islam menjadi agama yang Rachmatan Lil A’la min, memberi
faedah dan manfaat bagi seluruh umat manusia.
Memang tak mudah membentuk kepribadian muslim yang gerak dan
tindakan tubuhnya menyelamatkan, dan gerak mulut serta hatinya
justeru menentramkan. Jauh dari arogansi, merusak dan membuat orang
lain malah ketakutan dan tidak simpatik.
Proses membangun spiritualitas agar menjiwa dan hasilnya adalah
terbentuknya kepribadian muslim yang Rachmatan Lil Alamin, tak akan
berjalan dengan baik bila hanya dengan mengaku, ber-KTP dan berasal
dari keluarga atau komunitas muslim.
Spritualitas manusia muslim, baru akan melekat dan menjiwa dalam
diri seorang muslim, bila proses pengenalan, pengertian, pemahaman
dan pelaksanaan dilalui dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan apa yang
diajarkan. Dan awal untuk mulai pencapaian ke pintu spiritualitas,
bukan kesombongan, keangkuhan apalagi fanatisme buta. Tapi, kesadaran
paling bernurani. Kesadaran karena jika sudah mengucap Syahadat,
sadar dan bertanggung jawab harus melaksanakan seluruh perintah Allah
dan meninggalkan larangan Allah, dan mentauladani sikap, tindakan,
perbuatan dan kearifan yang telah dicontohkan oleh Muhammad SAW.
Jika Rasulullah yang diutus untuk memperbaiki akhlak manusia,
berhasil membangun peradaban dan di masanya berhasil menduniakan
Islam, tak lain lantaran beliau langsung mencontohkan bagaimana
manusia yang beriman kepada Allah Subhanallah Taala berberkpribadian,
berbuat tanpa minta pamrih, bersedekah tanpa ingin dipuji, bergaul
tanpa berharap jadi tokoh masyarakat atau sesepuh tapi nyatanya malah
jadi orang paling dikenal di seluruh duni, tak lain lantaran
kemuliaan akhlaknya.
Dengan tangannya yang menyelamatkan dan mulutnya yang senantiasa
menentramkan, beliau tak hanya peduli terhadap kaum papa. Tapi
sekaligus mengajarkan bagaimana membangun hidup sederhana tapi
berjiwa mulia.
Mari kita bertekad meneladani Rasulullah Saw, yang kata katanya
sesuai dengan perbuatan, langkahnya di titian kebenaran dan elahan
nafasnya selalu mengingat Sang Khalik untuk melaksanakan semua
perintah dan meninggalkan seluruh larangan Allah Robbal Alamin.
Mengapa? Jika sebatas pintar berkata dan ahli
beretorika, tak saja para ustad yang bisa. Orang awam seperti kita
pun bisa. Hanya, yang justru paling diinginkan adalah mewujudkan
dengan cara yang benar sehingga buahnya adalah kebaikan.
Hanya Alah Yang Maha benar
Wassalam
0 Response to "SPIRITUALITAS MANUSIA"
Posting Komentar