TUKANG
BUBUR NAIK HAJI
“ Hanya
Naik Rating Karena Tayang di Televisi”
oleh
: Oesman Ratmadja
Dari
judulnya – Tukang
Bubur Naik Haji, yang
sederhana pemirsa semua golongan begitu mudah mencerna. Setidaknya,
terbayang kagum atau malah juga tidak percaya, jika Sulam yang hanya
berdagang bubur, tak hanya mampu berangkat ke tanah suci. Ia juga
mampu memberangkatkan keluarga. Malah, mengumrohkan beberapa pedagang
bubur yang tak lain karyawannya.
Untuk
kemampuan yang luar biasa ini, tentu tak bebas tanda tanya.
Mungkinkah
kemampuan Sulam bisa sedahsyat itu?
Hanya,
ada yang tak boleh terlupa atau malah sengaja dilupakan. Yaitu, jika
Sang Khalik sudah berkehendak, tak ada yang mustahil.
Berpikir
seperti itu, hal yang muncul dan jadi penguat cerita, memang tak
perlu dipersoalkan. Terlebih, kemampuan Sulam menjadi benang merah
cerita, Artinya, dari sini lahirlah konflik yang sebenarnya tidak
pelik. Sebab, manusia iri hati ada di mana mana. Tak hanya di
sekitar lingkungan. Di internal keluarga pun, iri itu ada.
Tersembunyi di setiap hati manusia. Biasanya, sifat iri melakat dalam
diri karena ketak-mampuan bersaing
Jadi,
Muhidin itu ada di mana mana. Sedangkan karakter Sulam belum tentu
ada di mana mana. Sebab, orang baik yang cinta kebenaran, seperti
makin langka. Kalaupun ada, memang kerap jadi korban. Sebagaimana
Haji Muhidin selalu menanam konflik pada Sulam
Kehilangan
Ruh
Bagaimana
pun saya salut dengan prestasi Tukang
Bubur Naik Haji. Karena
kemampuannya mendominasi jam tayang sedemikian tinggi. Sudah ratusan
episode dan RCTI malah seperti tak bosan untuk mengakhiri tayangan.
Bisa seperti ini pasti karena satu pertimbangan, yaitu : aspek
bisnis.
Dari
aspek bisnis, Tukang
Bubur Naik Haji,
memang terbilang sangat laris. Selain telah diputar ratusan episode,
jumlah iklan pun tak terlihat merosot. Kondisi inilah, yang
barangkali menjadi pertimbangan utama. Hingga, pihak stasiun televisi
tak lagi mempertimbangkan, jika Tukang
Bubur Naik Haji,
akhirnya sudah mampu menyisakan kejenuhan.
Tak lain karena sinetron serial
yang satu ini, sudah kehilangan ruh cerita.
Kalau pun masih bisa menyajikan
kisah, selain karena harus tetap tayang juga lantaran tak hiraukan
keklisean yang malah tak henti-hentinya disaji ulang. Tak heran jika
Muhidin hanya membangun konflik yang tak ada bedanya.
Begitu pun dengan tokoh Kokom
dan Kardun yang sangat fiktif. Padahal, yang ditampilkan adalah
keseharian manusia yang hidup di Jakarta. Tapi, Kokom yang kaya raya
– mesti tidak sombong dengan kekayaan, jadi seperti ratu peri, yang
kepeduliannya sedemikian tinggi.
Padahal,
Kokom tak hanya mengerti dan paham siapa Kardun, si lelaki miskin
yang sudah punya dua isteri, tapi setelah diangkat derajatnya malah
semakin tak tahu diri. Dan Kokom yang kaya raya serta cerdas, jadi
begitu bodoh dari kebodohan itu sendiri. Jelas tak realistis bila
Kokom yang sukses dan cerdas, bisa bersikap seperti yang digambarkan
dalam Tukang
Bubur Naik Haji
Mestinya, kisah keseharian
dalam sinetron serial ini, tak serta merta menampilkan keseharian
yang sungguh tak ada dalam realita. Sesungguhnya, keseharian itu
sendiri adalah realita yang tak lepas dari konteks kehidupan riil,
kehidupan yang sama sekali tidak fiktif namun justeru sangat
obyektif.
Namun, keobyektifan Muhidin pun
dengan sendirinya jadi subyektif, lantaran pasokan irinya yang
dimaksudkan untuk membangun konflik, melahirkan kesan mengada ada.
Bukankah, kita semakin sering mendengar berita rill tentang tawuran,
baik di kalangan pelajar, mahasiswa maupun warga kampung, yang begitu
mudah tersulut emosinya.
Meski kita berharap setiap
manusia Indonesia menjadi penyabar seperti yang dikemas dalam
karakter Sulam, namun sabar seperti apakah yang ingin
direkomendasikan jika kenyataan rill di negeri kita, kesabaran
justeru seperti sudah meluap ditelan bumi karena banyaknya peristiwa
tawuran di sana sini.
Bukan tak salut karena Tukang
Bubur Naik Haji
berhasil tayang ratusan episode dan untuk sukses tayang yang berhasil
capai rekor, memang tak bisa dipungkiri dan terilang pantas untuk
bilang salut, meski suksesnya lantaran tayang di televisi.
Selebihnya, tak hanya
menjenuhkan. Tapi juga nampak, betapa kisah dalam kisah yang
diperpanjang kehilangan misi edukasi, mengingat perisriwa dan konflik
tersaji ulang dan berkali kali.
Pun dengan tokoh tokohnya yang tak terhingga – sangat banyak,
membuat Tukang
Bubur Naik Haji
, yang awalnya berkesan sederhana, enak dicerna, ujungnya ujungnya
malah jadi ribet.
Siapapun jadi tak tahu, apa
misi edukasi yang ingin disampaikan selain sebatas hiburan yang pada
akhirnya malah hanya menimbulkan kejenuhan. Kejenuhan yang tentu
beralasan. Sebab, kesannya seperti film Indonesia di era 80-an, yang
selalu mengangap bodoh penonton dengan alasan kan kita mengikuti
selera penonton. Padahal, saat itu, penonton terpaksa menonton film
karya anak bangsanya, karena memang tema tema yang tak mencerdaskan
bangsa yang diproduksi dan disajikan.
Sangat disayangkan, jika RCTI
hanya kepingin mengelola aspek bisnis tanpa menyertakan hal yang
paling dinanti, memberikan pendidikan bernilai tanpa menggurui.
0 Response to "KRITIK SINETRON"
Posting Komentar