POLITIK MENCARI TEMAN

oleh : Oesman Ratmadja


Meski nyaris gagal memenuhi target, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang jauh jauh hari telah menetapkan mengumumkan hasil Pemilu pada 9 Mei 2014, semalam dianggap berhasil menyelesaikan rekapitulasi perolehan suara dan setelah resmi diumumkan, hasilnya tak beda jauh dengan hitung cepat yang sudah dirilis langsung pada 9 April silam.

Kalau pun hasil hitungan manual yang dilakukan oleh KPU tidak sama, namun perbedaan hasil tak bisa dibilang mencolok. Artinya, selain tak ada partai yang berhasil mencapai single mayoriti, hitungan manual yang dilakukan KPU dampaknya sama. Tetap mendorong partai untuk mencari teman alias berkoalisi agar dapat memenuhi syarat untuk mengikuti pemilihan Presiden yang akan digelar pada bulan Juli nanti 

Jika anak anak TK atau SD atau SMP begitu mudah mencari dan mendapatkan teman, lain halnya dengan proses berteman dalam dunia politik. Setidaknya, ketika partai politik berproses mencari teman, yang dilakukan justru bukan saling memperkenalkan diri. Tapi, saling mengajukan syarat dan dengan platform masing masing, berusaha saling merangkul. Hanya, tidak dengan begitu saja. Melainkan dengan kalkulasi untung rugi yang rumit.

Mengapa? Karena sejatinya yang dicari dan ingin diperoleh justeru bukan teman atau sahabat sejati. Melainkan kepentingan abadi. Kepentingan yang kalkulasinya harus mendatangkan keuntungan bagi partai dan itu sebabnya, prosesnya sangat ulet.

PDI-P dan Nasdem memang tidak membangun pertemanan berdasarkan kerumitan. Keduanya sudah saling berkomitmen bersedia berteman tanpa syarat. Konkritnya, Nasdem tak secara gamblang menuntut apakah pihaknya yang meraih sekitar 7 % suara bakal mendapat jatah menteri di kabinet atau justeru ikhlas meski jika Jokowi menjadi Presiden, tidak menempatkan kader Nasdem sebagai menteri.

Memang, pertemanan Nasdem yang merapat ke PDI-P bisa dibilang hebat. Bahkan, merupakan hal baru. Hanya, publik justeru sangat tidak percaya jika Nasdem tidak menginginkan posisi apapun di kabinet. Sebab, ciri politik pertemanan di Indonesia, justeru dengan syarat yang mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus memenuhi permintaan teman koalisi.

Tak heran jika di SBY yang membentuk Kabinet Indonesia Bersatu jilid 1 dan 2, menempatkan kader partai yang berkoalisi dengan Demokrat, sebagai pembantu Presiden dan kebanyakan Menteri dalamkabinetnya berasal dari kader partai, yang menyatakan siap berkoalisi dengan Demokrat.

Meski begitu, Nasdem yang tidak secara transparan meminta, sangat yakin, kalau Jokowi terpilih jadi Presiden, pasti menempatkan kader Nasdem sebagai menteri. Setidaknya,  di satu kementrian dan juga bukan tak mungkin untuk tiga atau empat kementerian. Sebab, sangatlah mustahil jika langkah progresif Nasdem yang tidak mau bertele tele dalam berteman, tidak merindukan kedudukan. Padahal, arti konkrit dalam berpolitik adalah mewujudkan kerinduan untuk mendapatkan posisi strategis dalam pemerintahan.

Tak heran jika Gerindra dan juga Golkar rela melewati proses rumit dalam pertemanan. Pasalnya, tak sebatas ingin agar nanti, setelah memenangkan pilpres kadernya menjadi menteri. Tapi, kerumitan mencari teman yang terjadi di kedua partai ini justeru dipenuhi teka teki. Mengapa? Selain perolehan suara masing masing ada di urutan dua dan tiga besar, Ketua Umum masing masing sudah terlanjur digadang gadang sebagai Calon Presiden.

Apakah ARB yang jauh jauh hari sudah dicapreskan, ikhlas mengalah dan bersedia jadi Wacapres? Semisal ikhlas dan menerima kenyataan bahwa elektabilitas Prabowo Subianto lebih tinggi, apakah jika ARB realistis dan untuk itu ikhlas menjadi Wacapres, apakah kader kadernya yang sudah sepakat mengusung Ketua Umumnya menjadi Capres, berkenan menerima keputusan individu ARB, sementara perolehan suara Golkar justeru di atas Gerindra.

Sedangkan jika sebaliknya, akankah Prabowo ikhlas menjadi wacapres, mendampingi ARB karena perolehan suara partai yang dipimpin ARB jauh lebih baik dari Gerindra?

Sepertinya, pertemanan Golkar dan Gerindra justeru bisa batal jika masing masing pihak bersikokoh untuk tetap pada posisinya, mengingat masing masing ketua umum mereka tak ditempatkan sebagai Wacapres. Tapi, sebagai Capres. Tentu sulit untuk mengalah demi kepentingan rakyat yang sejati, karena dalam politik, yang menjadi prioritas adalah kepentingan partai. Sedangkan kepentingan rakyat hanya sebatas jargon politik, yang selalu diungkap manakala partai membutuhkan simpati dari rakyat.

Yang juga lebih diwarnai oleh kerumitan, tentu saja akan dialami oleh Demokrat. Sebagai Partai yang perolehan suaranya menurun drastis, tapi di satu sisi sudah menggelar konvensi Capres, sudah barang tentu Demokrat lebih ingin menempatkan Capresnya sebagai Capres dan berpikir panjang jika harus berubah jadi wacapres.





0 Response to "POLITIK MENCARI TEMAN"