KITA menjadi tahu dan bahkan, paham, mengapa politik tak mengenal sahabat apalagi teman sejati. Karena dalam politik cuma ada kepentingan, maka pertemanan dan persahabatan dalam politik menjadi sedemikian tidak mengikat. Begitu mudah rapuh karena memang selain kepentingan yang lain dari itu harus dirapuhkan. Baik dengan sengaja maupun rapuh dengan sendirinya
Dan, betapa rapuhnya keterikatan pertemanan tokoh tokoh politik, baik dengan partai yang membesarkan atau dibesarkan maupun dengan tokoh lain yang semula diakui sebagai rekan seperjuangan.
Tak heran jika ada tokoh yang dengan semangat berapi api hinggap dan merasa cocok berada di Nasdem, dalam waktu yang belum seumur jagung, tanpa merasa bersalah dan dengan sangat mudah sudah hinggap di Hanura. Dan, belum lagi memperlihatkan kiprahnya yang dirasakan dan bisa dinikmati langsung oleh masyarakat luas, dengan teramat mudah meninggalkan Capresnya yang tak mungkin berkompetisi, karena perolehan suara Hanura, tidak berpeluang mengusung Capres dan Wacapres yang sudah gencar berkampanye sebagai Capres dan Wacapres.
Juga ada tokoh lainnya yang sebelumnya digadang gadang sebagai Capres tapi karena perolehan suara partainya juga tidak memungkinkan untuk mengusungnya, lantas juga hinggap di kubu yang di dalamnya tak ada PKB, karena Partai yang dikomandani Muhaimin Iskandar bergabung ke PDI-P yang mengusung Joko Widodo sebagai Calon Presiden.
Dalam bahasa politik, tentu saja sang tokoh yang kecewa karena tidak bisa melanjutkan langkahnya sebagai Capres, tak akan pernah mengatakan " Yaa saya kecewa karena ditinggalkan". Juga tak akan pernah berterus terang mengakui kekecewaannya. Namun, ketika langkahnya malah sampai ke kubu yang bersebrangan dengan PKB karena partainya sudah berkoalisi dengan PDI-P, argumennya pun tetap sama alias sama sekali tidak mengekpresikan kekecewaan.
Padahal, bergabungnya yang bersangkutan ke kubu yang di dalamnya tak ada PKB, tak lain karena kecewa dan juga lantaran ingin meraih sesuatu yang juga tak dikatakan dengan gamblang namun sebenarnya sang tokoh tetap ingin mendapatkan sebuah jabatan.
Hanya, betapa beratnya mereka mengatakan jika sebenarnya, di balik sikap dan keputusannya, ada yang diharapkan. Bahkan, sangat diinginkan.
Karena Politik hanya mengusung kepentingan, maka yang kemudian dilahirkan adalah sikap dan prilaku munafik dari para tokoh yang gagal meraih harapan. Meski begitu, mereka pantang menyerah karena demi mewujudkan kepentingan, jalan apapun lebih siap ditempuh timbang ditinggalkan.
Langkah blunder para tokoh politik yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan, sedemikian menjelaskan bahwa yang sesungguhnya ingin diaplikasikan bukan mengabdi dengan dedikasi dan loyalitas yang tinggi. Tapi sebatas ingin meraih jabatan sebagai kepentingan pribadi. namun selalu membingkainya dengan jargon politik yang saat diucapkan terdengar begitu indah namun setelahnya tak lebih dari janji janji yang sengaja tak dipenuhi.
Dari sikap dan prilaku tokoh politik seperti itu, tentu saja menyadarkan kita bahwa mereka tidak akan pernah memiliki kemampuan mensejahterakan, karena kemampuan mereka sebenarnya hanya mengumbar janji, mengejar jabatan, masuk dan berada di pusaran kekuasaan, dan ikut menikmati keleluasaan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompok yang mendukungnya untuk berkiprah.
Dan, betapa rapuhnya keterikatan pertemanan tokoh tokoh politik, baik dengan partai yang membesarkan atau dibesarkan maupun dengan tokoh lain yang semula diakui sebagai rekan seperjuangan.
Tak heran jika ada tokoh yang dengan semangat berapi api hinggap dan merasa cocok berada di Nasdem, dalam waktu yang belum seumur jagung, tanpa merasa bersalah dan dengan sangat mudah sudah hinggap di Hanura. Dan, belum lagi memperlihatkan kiprahnya yang dirasakan dan bisa dinikmati langsung oleh masyarakat luas, dengan teramat mudah meninggalkan Capresnya yang tak mungkin berkompetisi, karena perolehan suara Hanura, tidak berpeluang mengusung Capres dan Wacapres yang sudah gencar berkampanye sebagai Capres dan Wacapres.
Juga ada tokoh lainnya yang sebelumnya digadang gadang sebagai Capres tapi karena perolehan suara partainya juga tidak memungkinkan untuk mengusungnya, lantas juga hinggap di kubu yang di dalamnya tak ada PKB, karena Partai yang dikomandani Muhaimin Iskandar bergabung ke PDI-P yang mengusung Joko Widodo sebagai Calon Presiden.
Dalam bahasa politik, tentu saja sang tokoh yang kecewa karena tidak bisa melanjutkan langkahnya sebagai Capres, tak akan pernah mengatakan " Yaa saya kecewa karena ditinggalkan". Juga tak akan pernah berterus terang mengakui kekecewaannya. Namun, ketika langkahnya malah sampai ke kubu yang bersebrangan dengan PKB karena partainya sudah berkoalisi dengan PDI-P, argumennya pun tetap sama alias sama sekali tidak mengekpresikan kekecewaan.
Padahal, bergabungnya yang bersangkutan ke kubu yang di dalamnya tak ada PKB, tak lain karena kecewa dan juga lantaran ingin meraih sesuatu yang juga tak dikatakan dengan gamblang namun sebenarnya sang tokoh tetap ingin mendapatkan sebuah jabatan.
Hanya, betapa beratnya mereka mengatakan jika sebenarnya, di balik sikap dan keputusannya, ada yang diharapkan. Bahkan, sangat diinginkan.
Karena Politik hanya mengusung kepentingan, maka yang kemudian dilahirkan adalah sikap dan prilaku munafik dari para tokoh yang gagal meraih harapan. Meski begitu, mereka pantang menyerah karena demi mewujudkan kepentingan, jalan apapun lebih siap ditempuh timbang ditinggalkan.
Langkah blunder para tokoh politik yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan, sedemikian menjelaskan bahwa yang sesungguhnya ingin diaplikasikan bukan mengabdi dengan dedikasi dan loyalitas yang tinggi. Tapi sebatas ingin meraih jabatan sebagai kepentingan pribadi. namun selalu membingkainya dengan jargon politik yang saat diucapkan terdengar begitu indah namun setelahnya tak lebih dari janji janji yang sengaja tak dipenuhi.
Dari sikap dan prilaku tokoh politik seperti itu, tentu saja menyadarkan kita bahwa mereka tidak akan pernah memiliki kemampuan mensejahterakan, karena kemampuan mereka sebenarnya hanya mengumbar janji, mengejar jabatan, masuk dan berada di pusaran kekuasaan, dan ikut menikmati keleluasaan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompok yang mendukungnya untuk berkiprah.
0 Response to "LANGKAH BLUNDER PARA TOKOH"
Posting Komentar