POLITIK CELAMITAN

oleh :Oesman Ratmadja


SESUNGGUHNYA-boleh jadi, para ketum partai dan juga para kader kuciwa berat, karena hasil pemilu legislatif tidak seperti yang mereka harapkan. Sebab, beberapa partai yang berkeyakinan akan memperoleh minimal 25 prosen suara, pemenang yang bercokol di nomor urut paling atas hanya berhasil meraih 19% suara. Dan dengan perolehan suara yang tidak signifikan, maka tak satu pun partai yang berpeluang mengantarkan kadernya sebagai Calon Presiden, karena dari hasil pemilu legislatif, setiap partai mau tak mau mengikuti aturan, harus berkoalasi

Berarti, baik yang duduk diperingkat 1 mau pun 2 apalagi 3, harus mencari partner untuk berkoalisi. Jika tidak, khusus PDI -P. Golkar maupun Gerindra, tidak akan bisa bercapres ria. Ketiganya sangat mungkin bercapres ria jika ada partai lain yang berkenan bergabung, entah untuk tujuan mengokohkan kerja sama di parlemen maupun meminta atau dipinta untuk berkenan menerima wacapres dari partai seperti Demokrat, PKB, PAN, PPP, HANURA, dan partai lain yang dibawah lima prosen

Apa arti koalisi di saat rakyat tidak lagi mengakses sebuah partai dengan kemenangan mutlak? Menurut saya, berkoalisi sama saja melakukan lobi lobi politik, dan satu sama lain harus seia sekata agar Capres dari tiga pemenang utama berpasangan dengan wacapres dari partai lainnya. Dan manakala mulai terlihat, yang terbaca adalah hasil pemilu legislatif membuahkan politik celamitan.

Hal ini tak bisa dihindarkan karena koalisi bisa diartikan sebagai celamitan.Sebab, semua dilakukan dengan upaya melakukan lobi lobi politik. Dalam hal ini, kesan meminta beraksen celamitan tak bisa dihindarkan. Sebab, baik yang aktif menjemput bola seperti PDI-P maupun yang menunggu hasil perhitungan manual yang nantinya-secara resmi, akan diumumkan Komisi Pemilihan Umum, berusaha membujuk partai lain agar berkenan bergabung agar prosentase suara menjadi minimal 25 prosen.

Tentu saja, politik celamitan bukan hal tabu. Sebab, dari hasil yang diperoleh, memaksa para partai untuk melakukan hal itu. Hanya, bagaimana pun yang namanya politik celamitan, bisa jadi bumerang bagi rakyat, dan jika kelak terbukti, maka perkoalisian tidak akan memacu para anggota dewan yang terhotmat dan juga Presiden, untuk mensejahterakan rakyat.

Jadi, jangan kata bisa membuat rakyat menjadi kaya raya, berkecukupan saja belum tentu tercapai, Dengan begitu, angka kemiskinan bukan semakin berkurang tapi bakalan bertambah. Mengapa?Karena dilihat dari kondisi sebelumnya, perkoalisian Demokrat dan partai lain, justeru membuat jumlah kasus korupsi semakin menggelembung. Malah, jumlah koruptor asal pemenang pemilu tahun 2004 dan 2009, cukup banyak. Dan yang juga membuat Demokrat tepuruk di pemilu legislatif kali ini, lantaran tak hanya kader saja yang terlibat korupsi.Mantan Ketua umumnya pun ditangkap KPK dan masih menjalani pemeriksaan

Tentu saja kita-sebagai rakyat, harus mencermati dan siap mengkritisi, karena biasanya, hasil koalisi tak bisa diterjemahkan benar benar khusus untuk kesejahteraan rakyat. Tapi, justeru untuk kesejahteraan partai yang setelah berbagi bagi jabatan, juga berbagai bagi kesempatan untuk saling mencuri uang rakyat, dengan berbagai alasan politik.

Sepanjang koalisi atau politik celamitan tetap diapresiasi sesuai dengan kebutuhan partai dan bukan sebagai kebutuhan rakyat, maka tak terlihat kemungkinan kinerja Eksekutif dan Legislatif setelah Indonesia dipimpin oleh presiden baru - pengganti SBY, maka bisa saja kepemimpinan yang akan datang sama sekali tak berbeda dengan presiden lainnya, sepanjang era reformasi

0 Response to "POLITIK CELAMITAN"