Oesman Ratmadja
Kenal dengan Muhidin, si haji dua kali yang maunya dipanggil dengan gelar haji RW dan barangkal kalau dia seorang akedemisi akan menyuruh orang lain melengkapi panggilannya dengan gelar lainnya yang tentu saja harus lengkap, sebagaimana Muhidin sengaja melengkapi titelnya agar dipanggil sesuai dengan keinginan pribadinya yang egois, sombong dan mau menang sendiri dan merasa benar sendiri
Begitulah gambaran tokoh MUHIDIN yang pasti dikenal oleh para pemirsa stasiun RCTI karena Sinetron serian bertajuk TUKANG BUBUR NAIK HAJI ini, tak hanya baru ditayangkan. Tapi penayangannya sudah masuk tahu ke empat. Tayangan episode panjang yang boleh jadi sangat menguntungkan RCTI tapi sangat merugikan pemirsa yang tau kualitas tontonan, mengingat isi dari TUKANG BUBUR NAIK HAJI hanya potret hitam putih kehidupan yang jadi klise, karena panjangnya episode sinetron ini hanya sebatas dipenuhi oleh keinginan memanjang manjangkan durasi.
Jadi, sebagai pemirsa kita tidak melihat hal lain yang bebas dari kesan naif, karena tak hanya MUHIDIN yang kenaifannya sedemikian menonjol. Kebanyakan tokoh pratagonisnya pun sama sekali tak menghadirkan pesona. Artinya, sebagai penonton, saya sama sekali tidak melihat ketauladanan yang mampu membuat penonton berempati dan bersimpati
Begitu pun ketika secara khusus menilik tokoh MUHIDIN, yang bangga dengan gelar hajinya karena dia sudah berangkat ke Mekkah sebanyak dua kali. Dan, perjalanannya ke Mekkah, sama sekali tak membuahkan pencerahan bagi jiwa Mudihin, karena yang dilakukan olehnya sangat berpamrih. Bukankah dalam beribadah - lahir dan batin, harus ikhlas.
Sedangkan ibadah Muhidin justeru sarat dengan ria. Bahkan, pamrih karena di aspek kehajiannya dia hanya sebatas agar orang tahu jika dirinya sudah dua kali berhaji sedangkan di aspek ibadah lainnya dia berharap orang lain menilainya sebagai sosok haji yang baik karena rajin ke mesjid untuk shalat. Padahal, shalatnya Muhidin tak pernah jadi shalat karena bersama yang dilakukan olehnya, bermunculan ria, keinginan dipuji dan rasa bangga yang berlebihan terhadap diri sendiri yang dia nilai baik dan lebih baik dari orang lain.
TOKOH BEBAL
SETIDAKNYA, Muhidin adalah tokoh yang sangat tidak direkomendasikan untuk dijadikan apapun. Jelas tak layak dijadikan tauladan.Malah, juga tak layak dikategorikan sebagai tokok antagonis yang berhasil karena dikeburukan sifat dan karakter Muhidin,pemirsa tak merasa tertarik untuk secara emosional membencinya. Yang ada malah sebatas hanya ingin mentertawakan dan selesai.
Mengapa? Tak lain lantaran keantagonisan yang menjiwa di diri MUHIDIN bukanlah keantagonisan yang lengkap. Hanya sebatas diwarnai oleh kebebalan dirinya semata. Dan, kebebalannya pun tak beda dengan tokoh antagonis lain, yaitu : Kardun.
Kita juga harus mengulas tokoh Kardun bukan karena hal penting. Tapi sebagai referensi betapa keantagonisan tokoh dalam sinetron ini, lahir dari kebebalan yaebng di dalamnya benar benar hampa intelektualitas. Padahal, tokoh antagonis di begitu banyak film,umumnya memiliki latar belakang yang bukan bebal. Tapi, pintar dan cenderung genius. Dengan begitu, manakala Muhidin atau Kardun berintersaksi dengan tokoh pratagonis, yang tercipta adalah konflik yang dramatik.Bukan malah konflik yang justeru jadi lucu, karena kok konflik yang dibangun malah lebih layak untuk ditertawakan timbang diapresiasai apakah akan menjadi sesuatu yang mengerikan atau hal lain yang suprise
Kenaifan yang melekat di tokoh seperti haji RW Muhidin adalah kenaifan yang sebenarnya tidak direkomendasikan untuk dijadikan bahan diskusi. Sebab, di dalam sana ada jiwa manusia yang bebal, jiwa yang sampai kapanpun memang tidak bisa diperbaiki, dan apapun yang akan dilakukan oleh isteri barunya, Rumi atau Anak dan mantunya, sang tokoh bergelar haji dua kali yang jadi pejabat RW ini, akan tetap menjadi sosok yang bebal.
Dan, kita hanya berharap agar TUKANG BUBUR NAIK HAJI tidak lagi jadi perhatian pemirsa karena dengan tidak menyaksikan tayangannya, pihak broadcast akan menghentikan sinetron yang tokoh tokohnya begitu banyak sehingga kita tak bisa lagi memastikan mana pemeran utama dan mana figuran, karena semua menjadi penting mengingat masing masing tokoh punya persoalan dan sang sutradara membahasnya hanya untuk memperpanjang jam tayang.
Mari kita ucapkan selamat tinggal TUKANG BUBUR NAIK HAJI
0 Response to "MUHIDIN, SI HAJI DUA KALI YANG NAIF"
Posting Komentar