MARI KITA IKHLAS BERPUASA

oleh : Oesman Ratmadja


         SEMISAL hasil hisbat menetapkan awal Ramadhan hari Selasa, 9 Juli 2013 maka mulai esok, jika diperkenankan oleh Sang Khalik, kita mulai melangkah ke awal Ramadhan. Andaikata awal Ramadhan ditetapkan Rabu, 10 Juli 2013, berarti baru lusa kita berpuasa.
         Selasa atau Rabu, tentu tak perlu kita perdebatkan.
         Yang perlu kita persoalkan justeru pertanyaan sederhana. yaitu: Apakah saya siap dan benar benar ikhlas melaksanakan ibadah puasa?
         Mengapa?
         Karena puasa hanya diwajibkan untuk setiap hamba yang menyatakan diri beriman agar mereka yang berpuasa karena keimanan, selalu merasa terdorong, termotivasi untuk melangkah ke arah yang paling diinginkan, bertaqwa dalam arti sebenarnya. Dalam hal ini, tentu, yang mengerti dan memahami apakah seorang hamba berpuasa dengan ikhlas atau sebaliknya, bukan orang lain. Melainkan diri sendiri. Selainnya, orang lain tak ada yang tahu kecuali Sang Khalik. Jadi, apakah puasanya mengandung dan bermuatan puasa lahir dan batin atau hanya sebatas menahan lapar dan dahaga, orang lain sama sekali tak bisa menilai, meski di depan mereka, sepanjang pagi hingga sore, tak pernah terlihat makan minum.
        Dari sini, setiap hamba akan mengerti, mengetahui dan memahami apakah puasa yang dilaksanakan hanya untuk Allah, mendapatkan ganjaran dan ridho dari Allah Subhanallah Ta'ala atau sebaliknya. Bila mendapatkan ganjaran dan ridho dari Allah, orang lain pun tak akan tahu. Sebab,  puasa yang baik, benar,  dan ikhlas karena Allah, dilaksanakan oleh setiap individu menurut niat dan kemampuan dan tujuan masing masing dan hanya yang melaksanakan yang paham, apa tujuan dirinya berpuasa.
        Jadi, kalau pun di saat sedang berpuasa sempat atawa sering melihat orang lain tidak berpuasa, tak berkewajiban untuk kesal, dongkol apalagi marah kepada yang tak berpuasa, karena lewat ayat 183 di surah Al Baqarah, Allah dengan sangat gamblang menjelaskan, bahw hanya orang yang beriman yang diwajibkan berpuasa, baik mereka yang masih menikmati di dunia di masa sekarang begitu pun dengan orang orang terdahulu..
        Karena yang diwajibkan puasa hanya hamba yang beriman dan dengan keimanannya sangat ingin meningkatkan taqwa, maka setiap individu tidak bisa dan juga tak layak untuk menilai orang lain apakah selain dirinya orang lain benar benar berpuasa dengan ikhlas atau sebatas menahan lapar semata.
        Yang terpenting, sebagai individu yang mengaku beriman dan senantiasa ingin membuktikan bahwa imannya tak sebatas pengakuan, di sepanjang Ramadhan hanya ingin berusaha untuk meningkatkan kualitas puasanya semakin baik, sehingga yang dilapar dan didahagakan bukan hanya lahiriah. Tapi, juga batiniah.
        Jika keinginan sudah sampai ke tahap ini, yang kemudian dilakukan selama Ramadhan adalah mengendalikan hawa nafsu agar geliatnya yang sedemikian liar  menjadi jinak. Dan, upaya menjinakkan hawa nafsu, sangatlah tidak mudah. Sebab, anggota tubuh seperti kedua tangan, misalnya, pastilah mengajak untuk mencari sesuatu yang bisa memuaskan. Manakala kedua tangan selalu menggeliat untuk memukul orang karena emosional, misalnya, mengambil hak orang lain atau mencelakakan orang lain, di situlah setiap individu diuji, apakah mampu mempuasakannya atau justeru membiarkankan kehendak sang tangan untuk melakukannya.
        Begitu pun dengan kedua kaki, yang tak pernah mau berhenti untuk melangkah ke berbagai tempat. Dan di bulan Ramadhan, hasrat kaki untuk menelusuri berbagai tempat, tak akan bisa dipadamkan. Terlebih, jika Ramadhan tiba, istilah ngabuburit, menanti saat Maghrib, terlanjur disalah-tafsirkan. Artinya, secara umum dimanfaatkan untuk pergi ke suatu tempat yang ramai dikunjungi orang. Padahal, di tempat ini, sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, kedua mata yang semestinya juga dipuasakan, malah jadi leluasa dan dibiarkan memandang sesuatu yang semestinya tak layak ditatap kedua mata.
       Begitu pun dengan mulut, karena berada di keramaian dengan dalih ngabuburit, lantas menjadi begitu mudah mengucapkan kata atau kalimat yang semestinya tak perlu diucap atau dikatakan.
       Ngabuburit, memang perlu dilakukan.
       Hanya, bukan melangkahkan kaki ke keramaian, dimana banyak hal nampak dan terjadi dengan begitu saja dan membuat setiap individu spontan bereaksi. Entah karena kagum melihat ulah atau kesal juga karena ulah ulah manusia dikeramaian.
      Ngabuburit bagi yang ikhlas berpuasa karena Allah, tentu bukan menghabiskan waktu di keramaian. Tapi, memanfaatkan waktu dengan pergi ke mesjid. Di mesjid, setelah melaksanakan shalat, waktu yang berlalu tak akan terasa berat, jika digunakan untuk membaca Al Qur'an, berdzikir atau membaca buku bernuansa islam.
      Berada di mesjid dengan aneka kegiatan religi, tak hanya menghindari mata, telinga, mulut dan alat panca indra lain dari hal negatif yang sebenarnya bisa mengurangi nilai puasa. Tapi, sekaligus membuat batin tenang, ilmu bertambah dan kualitas puasa pun makin meningkat karena ngabuburit diisi dengan berbagai kegiatan positif, yang sangat menguntungkan bagi setiap individu yang dengan keimanannya melaksanakan puasa untuk meningkatkan taqwa.
     Jika tak sempat atau sedang malas ke mesjid, kegiatan yang sama tetap dapat dilakukan di rumah. Rumah, tak hanya menjadi rumahku istanaku. Tapi juga jadi tempat untuk membaca Al Quran dan membaca berbagai buku tentang Islam. Selain itu, di rumah pun kita bisa berdzikir dengan khidmat.
     Andai saja puasa yang bakal kita laksanakan sepanjang Ramadhan, adalah puasa yang ikhlas karena Allah dan tidak sebatas menahan haus dan lapar yang hanya mendapatkan lapar dan haus, alangkah indah dan nikmatnya. Alangkah bahagianya, karena menurut para orang shaleh, puasa lahir batin yang diwarnai dengan berbagai kegiatan ibadah lain yang di hari lain biasa dilakukan, adalah puasa yang dilakukan hanya dan untuk ALLAH. Dan, ALLAH pula yang akan langsung memberi ganjaran puasa kepada setiap hambanya yang benar benar dan tulus melaksanakannya.
     Jika sepanjang Ramadhan mampu menjaga ketulusan dalam berpuasa lahir dan batin, di penghujung Ramadhan, yang tumbuh dan berkembang dalam jiwa, bukan ingin membeli baju baru atau rekreasi ke tempat tempat yang dianggap indah. Bukan ikut lomba menyalakan petasan (membakar uang) yang bunyinya sangat mengganggu orang lain - khususnya tetangga yang berpenyakit jantung. Mengapa? karena membakar petasan sangat tidak disarankan mengingat membuang buang uang adalah perbuatan mubazir yang tentu saja tidak diamanahkan oleh Rasulullah SAW
    Jadi, yang kemudian dirancang setelah ramadhan adalah meningkatkan takwa dan membuktikan ketakwaan bukan dengan kalimat. Tapi, dengan perbuatan rill. Shalat semakin berkualitas--tidak tertinggal, membenamkan kepelitan dan mengubah sifat qorun menjadi dermawan, sehingga resah jika sehari hari tidak bersedekah atau menolong orang lain yang susah.
    Menciptakan rasa aman bagi tetangga dan siapa saja, dengan menggunakan tangan untuk menyelamatkan atau menolong orang lain - utamanya fakir miskin dan anak yatim, yang memang perlu ditolong karena selain mereka membutuhkan juga mampu memanfaatkan pemberian orang lain untuk hal yang berguna dan bermanfaat.
   Sanggupkah di bulan Ramadhan kita mencontoh para orang terdahulu yang lewat puasa ramadhan menjadi hamba Allah yang Shaleh dan shalehah. Hanya diri sendiri yang tahu, paham dan bisa menjawabnya.
Selamat menunaikan ibadah puasa. 

0 Response to "MARI KITA IKHLAS BERPUASA"