BONDAN DAN TUKANG OJEK (47)






Oleh : Oesman Ratmadja

EMPAT PULUH TUJUH


            “Duh, Tuhan. Engkau memang segalanya. Kau telah membuka pintu hati putra suamiku. Aku bersyukur padaMU, Tuhanku, karena engkau telah mengabulkan doaku.”
           Sumirah serasa ingin menangis. Sama se kali tak disangka, justeru di saat lalu lintas yang macet membuat begitu ba nyak orang merasa stress, ia malah sangat ber bahagia. Sebab, tak saja mendengar pengakuan Bondan yang begitu melegakannya dan sama sekali tak pernah diprediksinya.
            Sumirah juga menangkap sebuah momen terindah. Dan itu adalah peluang yang memang paling diinginkan. Peluang yang memang sangat dinantikan, mengingat kedatangannya selain me ngabarkan tentang duka, juga hal lain yang harus diungkapkan sejelasnya. Agar Bondan tak seba tas tahu apa yang sebenarnya terjadi. Juga tahu mengapa ayahnya beristeri lagi, dan bagaimana kondisi keluarga setelah pak Sadewa tiada.
            Itu sebabnya, Sumirah lebih dahulu ber syukur pada Tuhan karena di tengah perjalanan dan di saat macet, Tuhan mengabulkan doanya. Baru kemudian Sumirah menanggapi, dengan tetap bersikap hati-hati.
            “ Ibu mohon maaf ,” ujar Sumirah, yang dengan hati-hati mencoba menangkap peluang dan berharap benar-benar tak ada kesulitan.
            “ Maaf? Untuk apa ? Bukankah kita baru pertama kali bertemu ?” Sahut Bondan, yang menjawab tanpa beban dan tanpa muatan apa pun, kecuali apa adanya.
            Sumirah tahu, Bondan tidak berpura-pura kaget. Makanya, Sumirah bergegas kembali bica ra. Langkah berikut yang diayun Sumirah, jelas sangat menentukan apakah ia membawa Bondan ke suatu kondisi yang jauh lebih terbuka atau sebaliknya. Sumirah akan berusaha mewujudkan nya.
            “ Ya, secara fisik, kita memang baru ber temu. Tapi secara batin, ibu yakin, kita sudah saling tau dan bahkan selalu saling berkomuni kasi, meski isinya hanya praduga. Untuk itu, ibu mohon maaf, baik atas kesalahan bapak maupun kekeliruan ibu secara pribadi “
            “ Bagaimana kalau tentang hal itu kita lu pakan saja,” pinta Bondan, yang bergegas tapi cermat, menjalankan kendaraan yang mulai bisa merayap. 
            “Tapi, ada beberapa hal yang malah tidak akan mungkin bisa saya lupakan. Jika Bondan mau tahu, saya akan menjelaskan. Tapi, jika Bon dan tidak berminat mengetahui, ibu malah takut menanggung dosa “
            “Oh yaa ?”
            “Ibu serius. Terlebih, yang akan ibu sam paikan bukan masalah sepele. Tapi, hal yang me nurut ibu sangat penting. “
            Bondan spontan menoleh dan menatap Sumirah sedemikian rupa. Sama sekali tidak ber maksud nakal, meski Bondan sadar ibu tirinya memang terbilang oke punya. Cantik dan di balik kecantikan wajahnya, ada sesuatu yang dimili kinya, karakter keibuan.
            Akh, tak salah jika ayahnya menikahi Su mirah. Meski ibu kandungnya juga cantik, Bon dan melihat jelas perbedaan Sumirah dengan ibu kandungnya. Selain jauh lebih muda, Sumirah ti dak menampilkan sedikit pun tipikal yang iden tik dengan ibunya. Malah, sangat ke ibuan. Mes ki begitu, Bondan hanya berharap, Sumirah be nar-benar tipikal wanita sholehah


Bersambung………



0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (47)"