BONDAN DAN TUKANG OJEK (45)

oleh : Oesman Ratmadja





EMPAT PULUH LIMA


Setelah menyeka air mata di sudut matanya, Sumirah kembali meneruskan kalimatnya
“Mestinya, kabar itu saya sampaikan ketika bapak wafat atau sebelum dimakamkan. Hanya, tak mungkin saya lakukan, karena saya sendiri baru tahu kalau bapak sudah pergi menjelang almarhum dikebumikan.
Ssetelah mendapat kabar dari rumah sakit, saya tak tak tahu harus berbuat apa. Sebab, pihak rumah sakit yang baru bisa menghubungi saya, menjelaskan, jenazah bapak sudah akan di makamkan, setelah dua hari disemayamkan dan pihak rumah sakit sebelumnya tak tahu kemana harus mengabarkan.
Apa sebab dan mengapa bisa terjadi se perti itu, baru saya ketahui setelah saya tiba di sana. Mereka menjelaskan, tak menemukan tanda pengenal korban. Saya yakin, dokumen bapak seperti ktp dan sim, tak mungkin tertinggal. Lebih mungkin diambil orang saat terjadi kecelakaan, “ tutur Sumirah, meski membiarkan air matanya menetes, tapi berusaha untuk tidak menangis, meski akhirnya ia tetap sesenggukan..
Dan, Sumirah tak mampu lagi menjelaskan lebih banyak, karena setelah itu ia terkulai lemas. Sumirah hanya bisa pasrah. Semisal Bondan menuding ia sengaja tidak mengabarkan karena punya maksud tertentu, Sumirah tak akan tersinggung atau marah. Ia ikhlas, karena tak salah jika Bondan yang sangat kecewa, berpendapat dan lalu dengan kesal atau sambil marah, menilai dirinya sebagai wanita brengsek, yang setelah merebut ayahnya, malah tak segera mengabarkan tentang ayahnya yang telah meninggal dunia
Tapi, sama sekali Sumirah tak menyangka, jika Bondan, yang mendengar dan menyimak penjelasan Sumirah, tak memperlihatkan reaksi yang berlebihan. Malah, melihat Sumirah lunglai, Bondan memanggil Mbok Sinem dan ia meminta tolong kepada mbok Sinem agar mengambilkan obat gosok atau minyak kayu putih
Begitu telatennya Bondan menggosok-gosokkan minyak kayu putih di atas bibir Sumirah. Apa yang dilakukan Bondan, membuat Sumirah yang sesungguhnya sedang dalam keadaan shock, membuat Sumirah tenang dan ia menjadi kuat nenangkannya. karena kepergiaan pak Sadewa yang terjadi dengan begitu saja sangat mengejutkannya, ditinggal pergi oleh pak Sadewa poermukaan membantu Su mirah agar ibu tirinya yang nampak begitu lemas karena keletihan, tidak lantas pingsan
Kenyataan yang nampak begitu jelas di pelupuk mata Sumirah, benar-benar di luar duga annya. Jadinya, tak saja membuat Sumirah lega. Tapi sekaligus membuatnya leluasa untuk bicara banyak hal. Sumirah mencoba memanfaatkan pe luang yang dianggapnya sangat terbuka. Tujuan Sumirah bukan untuk mengambil hati atau mera ih simpati. Sebatas menjelaskan dan berharap Bondan mengerti dan memahami apa yang se sungguhnya telah terjadi.
Boleh jadi, sampai saat ini Bondan masih membenci, tak saja pada ayahnya. Tapi juga membenci dirinya, atas tudingan merebut pak Sadewa dari sisi ibu Bondan. Juga boleh jadi, Bondan pun tidak simpatik pada isteri ketiga ayahnya yang telah tewas bersama pak Sadewa, dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, beberapa hari silam.
“Di mana bapak dimakamkan, tante…eh, maksud saya, bu ?” tanya Bondan, yang tak bisa menyembunyikan kegugupan, karena ia memang baru pertama kali bertemu dan belum tahu, harus memanggil apa pada Sumirah.
Terlebih usia Sumirah, ibu tirinya hanya bertaut sekitar lima tahunan, dengan Bondan. Jadi, bisa dimaklumi jika Bondan gugup.
“Saya lebih suka dipanggil bu. Sebab, saya isteri pak Sadewa. Tapi, terserah Bondan mau memanggil saya dengan sebutan apa. Yang jelas, saya datang bukan sebatas ingin mengabarkan tentang berita duka. Tapi, juga ingin membiarakan banyak hal. Saya akan menjelaskan semua, jika memang diberi kesempatan untuk melakukannya “
Bondan menarik nafas. Memandang sesaat ke Sumirah. Tanpa bermaksud menikmati paras cantik Sumirah, yang meski tertutup rapat namun siapapun akan mengatakan kalau Sumirah cantik. Sebagai wanita, sangat wajahnya dibalut kerudung, me mang sangat menawan, untuk maksud yang tidak baik. Bondan sadar, wanita cantik di depan mata nya, meski masih terbilang muda dan penuh peso na, adalah isteri ayahnya.
“ Bagaimana kalau ibu duduk dulu,” kata Bondan, yang mulai nampak tenang dan kuat..
Bondan sudah tidak gugup lagi. Pipinya pun sudah kering dari air mata yang sempat mem basahi pipinya. Bondan sudah menyeka air mata duka. Dan, Bondan yang sudah melihat Sumirah, ibu tirinya, duduk di sofa sambil sesekali mena tap ke arah Bondan, kembali bersuara
“Saat ini, saya hanya ingin melakukan sa tu hal, pergi berkunjung ke makam ayah. Jika ibu bersedia mengantar, terima kasih. Tapi, jika ibu lelah atau tidak bersedia karena hal lain, tolong berikan alamat makam tempat ayah saya dikebu mikan, karena saya ingin secepatnya ke sana“



Bersambung.............

0 Response to "BONDAN DAN TUKANG OJEK (45)"