PUNGLI DI JEMBATAN TIMBANG

oleh : Oesman Ratmadja


BAGI petugas dishub yang konon lebih pantas dijuluki oknum, selalu memanfaatkan jembatan timbang sebagai peluang untuk mengumpulkan uang. Para supir truk yang membawa muatan dengan tonase berlebihan, yang mestinya dikenakan denda malah diberi isyarat untuk damai, dengan cara memberi uang yang dalam jumlah tidaklah berlebihan tapi dalam peraturan sebenarnya sangat dilarang.
Mengapa? Karena jika truk dengan muatan berlebihan dikenakan denda, hasilnya disetorkan ke kas daerah dan Pemda setempat menerima Pendapatan untuk membiayai pembangunan. Dan, jumlahnya tentu saja jauh lebih besar dari yang disetorkan oleh para knek truk, karena jika didenda harus dibayar menurut perhitungan sah sedangkan jika dalam bentuk pungli, jauh lebih kecil namun uangnya bukan untuk kas daerah tapi untuk kantong para petugas yang dalam bekerja bukan untuk mengabdi tapi berniat memperkaya diri.
Memang, jumlah yang dimasukkan knek ke kotak korek api atau dilipat lipat sampai kecil, tak sesuai dengan jumlah denda yang ditetapkan. Namun, akhirnya menjadi besar karena dalam sehari truk yang masuk ke jembatan timbang bukan hanya atau dua. Tapi, ratusan. Bahkan, bisa mencapai ribuan.Nah, berapa jumlah pungli yang berhasil dikumpulkan?
Tak heran jika Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, saat sidak langsung ke sebuah jembatan timbang di Batang, Jawa Tengah, spontan mengekpresikan sikap berang.  Pasalnya, dalam sidaknya itu Ganjar langsung membuktikan, jika pungli di jembatan timbang tak pernah jadi pecundang. Bahkan, geliatnya semakin nendang dan itu sebabnya para petugas yang bekerja di jembatan timbang - sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak sadar, lebih suka mengaplikasikan sikap dan mental curang timbang sikap disiplin yang menjamin pendapatan daerah dari jembatan timbang tak berkurang.
Kenyataan inilah yang boleh jadi membuat Gubernur Jawa Tengah punya alasan untuk berang.

Yaa.. wajar saja jika Ganjar Pranowo spontan berang. Dia marah karena truk dengan tonase muatan yang berlebih, mempercapat kerusakan jalan. Terlebih, setiap harinya, ratusan atau ribuan truk menikmati fasilitas jalan raya dan jika muatannya yang berlebihan hanya dibiarkan untuk membayar sekedar dalam bentukpungli yang uangnya untuk para oknum, lalu bagaimana mungkin pemda setempat bisa tetap siaga untuk memperbaiki kerusakan jalan, yang utamanya disebabkan oleh truk pengangkut barang dengan tonase yang melebihi kapasitas.

Tak salah jika Ganjar Pranowo lalu mengambil keputusan untuk menutup jembatan timbang yang baru saja disidak dan dia melihat sebuah kenyataan yang memprihatinkan. Sebab, meski reformasi sudah belasan tahun, tapi pungli di jembatan timbang tak pernah dibiarkan tumbang, karena dijaga dan dipelihara dengan apik oleh para oknum petugas yang membangun mental curang.
Apakah mereka tak menyisihkan hasil pungli untuk disetorkan ke atasan?
Jawabnya, budaya pungli di jembatan timbang atau di jalan raya, tak akan tumbuh dan berkembang dengan pesat jika tak mendapat restu dari atasan. Jika atasan tak mengijinkan dengan restu sambil menanti datangnya setoran, anak buah yang jadi oknum di jembatan timbang atau di mana pun yang semangat memerik pungli, maka dalam bentuk apapaun yang namanya pungli tak akan bisa dibudayakan.
Jadi, jika keputusan Gubernur Jawa Tengah yang hanya mengancam akan memecat Kadishub bisa dikatakan masih belum sampai ke tingkat bijaksana. Mestinya, sang atasan diberi sanksi lebih berat dari bawahan yang berani melakukan pungli di jembatan timbang.
Mengapa? Jika hal itu dilakukan, sang pengganti Kadishub akan berpikir seribu kali untuk melakukan hal yang sama. Setidaknya, dalam kurun tertentu dia akan bersikap tegas sehingga yang diintruksikan kepada anak buahnya, bukan memungli dan menyetor hasilnya. Tapi, membebaskan jembatan timbang dari pungli sehingga peristiwa yang tertangkap basah oleh Gubernur Jawa Tengah, membuat pungli di jembatan timbang langsung tumbang.


0 Response to "PUNGLI DI JEMBATAN TIMBANG"