ORANG PINTAR

oleh : Oesman Ratmadja

BENARKAH jika seseorang yang memiliki banyak gelar akedemisi disebut orang pintar? Tak salah. Hanya, sebutan orang pintar untuk yang bersangkutan bisa berubah dalam sekejap. Mengapa? Karena di Indonesia, banyak orang pintar yang setelah sukses meniti karir dan akhirnya jadi pejabat, melakukan tindakan yang membuat dirinya lebih layak disebut sebagai orang bodoh.
Mengapa? Karena secara sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, dengan kepintarannya yang bersangkutan tidak mengelola kepintarannya untuk menjadi lebih terus pintar. Akibatnya, dirinya malah menjadi orang yang sangat bodoh. Yaa... bodoh. Sebab, setelah berhasil menjadi pejabat yang kemudian dilakukan bukan memanfaatkan dan memaksimalkan kepintarannya untuk mengabdi dengan segenap ketulusan. Jabatannya, justru dimanfaatkan untuk menumpuk kekayaan dengan cara melanggar hukum.
Dan apa yang dilakukan oleh Akil Mochtar adalah sebuah gambaran, betapa gelar akedemisi yang berhasil diraihnya hanya membuat dirinya berubah menjadi orang bodoh. Orang bodoh yang akhirnya menderita lahir dan batin, karena akibat perbuatannya yang yang bersangkutan tak hanya ditangkap oleh KPK dan perbuatan buruknya menjadi obyek pemberitaan oleh berbagai media.
Nama baik Akil Mochtar dan keluarga juga langsung terpuruk ke titik nol, dan di mata masyarakat yang bersangkutan dianggap sebagai sosok tak berguna. Menjadi sampah karena pengaruh sukses dan keberhasilannya meraih jabatan tinggi, menjadi sangat tidak bermanfaat.Jangankan untuk mesyarakat yang rindu pada keadilan dan sangat berharap hukum dapat ditegakkan, untuk mengangkat citra, martabat dan harga dirinya saja menjadi tidak mampu.
Pun demikian dengan Andi Malarangeng, Anas Urbaningrum dan para koruptor yang pada akhirnya hanya menjadi penghuni penjara karena kepentarannya tidak dipersembahkan untuk kemaslahatan, tapi sengaja diarahkan untuk menebarkan hawa nafsunya yang tak terkendali dalam hasratnya untuk memperkaya diri sendiri.
Inilah salah satu bukti, betapa tak berartinya kepandaian (ilmu) yang dimiliki seseorang bila bersama ilmu yang dimilikinya dia tak memperkokohnya dengan keimanan yang paripurna, atau iman yang benar sehingga dirinya menjadi orang pintar yang lengkap karena iman mendorong dirinya untuk meningkatkan taqwa, dan bukan meningkatkan kekayaan dengan cara korupsi

Sebutan orang pintar tak hanya dimonopoli oleh mereka yang berhasil meraih sukses pendidikan formal dan dengan keberhasilannya berhak memasang gelar akedemisi. Tapi, juga menyeruak ke jalur non akedemis. Karena sifatnya yang non akedemis, maka pemberian gelar orang pintar untuk dunia non akedemis, tidak dilakukan melalui acara formal yang jika di dunia akedemisi dikenal dengan wisuda.
Entah berapa banyak sosok yang dijuluki sebagai orang pintar tanpa jalur wisuda.
Aneh ? Justeru sangat jauh dari kesan aneh. Mengapa? Karena julukan tersebut diberikan langsung oleh masyarakat. Kalau pun akhirnya terdapat keanehan, bukan sebutan orang pintar dari masyaraat yang akhirnya melekat pada seseorang yang ditengarai memiliki kemampuan untuk menyembuhkan penyakit atau memberi solusi pada setiap orang yang memiliki masalah pribadi, seperti sulit jodoh atau kepingin agar suami tunduk dan patuh pada isteri dan lain lain, yang tentu saja menjadi tidak rasional karena mereka yang kebanyakan datang ke orang pintar untuk minta pertolongan, sadar atau tidak sadar, seperti sudah kehilangan kayakinan pada Sang Pencipta.
Mengapa? Karena menjadi lebih yakin kalau si orang pintar dapat dengan mud tah membantunya. Dengan keyakinan berlebih itulah, tak lagi berpikir kalau akhirnya akan kecewa karena yang kemudian dirasakan bukan yang diharapkan jadi kenyataan, tapi justru yang tak pernah terpikirkan malah dialaminya. Setelah merasa tertipu, baru sadar kalau sosok orang pintar sesungguhnya bukan orang pintar dalam arti sebenarnya Tapi justerur hanya pintar mensugesti pasiennya dan dengan begitu dapat caranya si orang pintar mampu memperdaya mereka yang kehilangan akal saat mendapatkan masalah, baik karena menderita penyakit maupun karena ingin menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan cara menempuh jalan pintas.
Banyaknya orang pintar yang memanfaatkan julukan yang dilekatkan kepadanya, membuatnya leluasa melakukan praktik praktik yang sesungguhnya berselubung penipuan. Hanya, kebanyakan mereka yang terlanjur datang kepadanya, tak menyadari hal ini lantaran sudah dihinggapi rasa yakin yang sugestif
Akibatnya, baru menyesal setelah mendapatkan kenyataan yang sangat berbeda dengan apa yang diinginkan
Apa yang dialami seorang pasien yang merasa tertipu oleh seorang pintar yang dalam iklannya selalu melekatkan predikat Ustadz, adalah fakta yang tak bisa dibantah. Bukan karena sang pasien yang kecewa berat ini melaporkan masalah yang menimpa dirinya ke Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lebih dari itu, sang pasien baru menyadari kalau dirinya sudah termakan sugesti, mengingat masalah medis yang dideritanya diobati dengan gaya khas si orang pintar, yang dengan begitu mudah mengatakan kalau pasiennya terkena santet, dan untuk menguatkan hal itu, si orang pintar lalu mempraktikkan kiatnya mengeluarkan belatung dari dalam tubuh si pasien setelah melakukan pengobatan dari bagian kepala dengan gaya merafal doa yang tak oleh orang awam dikenal sebagai mantra mantra yang mujarab, karena yang membaca mantra adalah orang pintar.
Padahal, kalau pun benar, tentu si orang pintar tak mematok tarif dan tak meminta sang pasien membayar jutaan rupiah. Sebab, orang pintar yang benar benar pintar hanya mempersembahkan ilmunya untuk kemaslahatan dan bukan untuk mencari uang, karena dia sadar dan paham, jika dia berbuat kemaslahatan dengan ikhlas, yang hanya diharapkan hanya ganjaran dari ALLAH dan bukan bayaran berupa uang berjumlah jutaan rupiah dari sang pasien.
Dari praktik pengobatan yang diagnosanya tak lain dari kena santet dan meminta si pasien untuk membayar sejumlah uang, sudah dapat disimpulkan bahwa yang dipriktikkan sebenarnya hanya mengkomersilkan ayat ayat, dan hal itu mudah dilakukan karena pemerintah tidak pernah mengontrol aktivitas si orang pintar yang beriklan ria di berbagai media, sedangkan si pasien memang tak memahami agama secara mendalam.
Akibatnya, mudah bagi si orang pintar untuk memperdaya siapa saja yang tidak tahu bahwa sesungguhnya setiap praktik pengabdian yang Ikhlas karena Allah, sama sekali tak menyoal bayaran apalagi menentukan jumlah tarif yang sudah ditetapkan. Sebab, bagi orang pintar yang memang pintar karena akhlak mulianya, uang bukan hal penting. Tapi jika sebaliknya, tentu yang jadi tujuan cuma mengeruk uang dari setiap pasien. Sebab, dia harus membayar biaya iklan yang gencar ditayangkan oleh televisi dan juga media lainnya    
Maka, yang terbaik adalah berhentilah berobat ke orang pintar saat mengetahui praktiknya berlangsung dengan syarat setiap pasien harus membayar sejumlah uang sesuai dengan tarif yang sudah ditentukan. Dan yang juga penting, janganlah mengobati penyakit medis ke orang pintar yang mengobati dengan cara non medis, apalagi diawali dengan hasil diagnosa bahwa pasiennya kena santet.
Anda menjadi lebih pintar dari si orang pintar, jika saat menderita penyakit medis segera berobat ke dokter spesial jantung, paru paru dan spesial penyakit berat lainnya.
Akhirnya, marilah kita akhiri menyebut atau memberi gelar kepada seseorang dengan sebutan orang pintar, karena sesungguhnya orang pintar adalah setiap hamba ALLAH, yang tak hanya beriman.Tapi juga mengimplementasikan imannya menjad TAQWA. Tentu, taqwa yang benar benar taqwa dan yang kemudian bersinar dari dirinya : AKHLAK MULIA

0 Response to "ORANG PINTAR"